
Penolakan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP)
Setelah mengkaji dan mempelajari RUU BHP dan kasus penolakan mahasiswa terhadap RUU BHP (tulisan sebelumnya), saya mulai bertanya, ‘Ada apakah sesungguhnya yang terjadi di institusi negeri selama ini dan apakah sesungguhnya motif yang membuat mereka menolak RUU BHP?’. Saya yakin sekali jika mereka tentu sudah mempelajari dengan baik isi draft ataupun susunan lengkap (final) dari RUU BHP. Saya menduga, nampaknya ada pihak yang tidak senang dengan istilah pengawasan keuangan dalam UU BHP. Jika UU BHP diberlakukan, maka setiap perguruan tinggi yang berstatus BHP diharuskan untuk mempublikasikan laporan keuangan konsolidasi tahunan di media cetak (dalam Bahasa Indonesia).
Sejak status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terbentuk hingga menjadi status BHMN, tidak sekalipun di antara mereka yang pernah mempublikasikan laporan keuangannya. Tentunya publikasi laporan keuangan tahunan (konsolidasi) dapat dijadikan acuan bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan secara langsung. Bisa dipastikan di kemudian hari akan banyak di antara mereka yang mungkin akan diciduk oleh KPK. Mereka tidak akan bisa dengan mudah melakukan praktek pendanaan ilegal yang hasilnya tidak dilaporkan ke institusi terkait. Sekalipun penetapan angka 2/3 ditanggung oleh pemerintah dan sisanya oleh anak didik masih belum jelas, akan tetapi ada dugaan jika angka-angka itu akan merugikan pihak-pihak pengelola di perguruan tinggi negeri yang selama ini melakukan praktek pendanaan ilegal.
Menyoroti Aspek Moral
Suatu kenyataan apabila mereka yang menempuh di PTN adalah mereka yang umumnya berstatus ekonomi menengah ke atas. Mahasiswa PTN tidak lagi seperti sebelum dekade 2000an yang umumnya masih didominasi oleh mereka yang berstatus ekonomi menengah ke bawah. Sekalipun mereka saat ini memiliki lebih banyak sumberdaya, akan tetapi kontribusi kepada masyarakat jauh lebih rendah dibandingkan masa sebelum dekade 2000an. Dengan diperlengkapi fasilitas lab penelitian moderen ditambah literatur yang selalu terbaharui, mereka bahkan tidak terpikirkan untuk mencari solusi atas mahalnya harga BBM. Sebaliknya, Joko Sutrisno yang hanya lulusan SD saja masih bisa memikirkan ide alat penghemat BBM yang disebut electrolizer. Temuan Pak Joko bahkan seperti tidak mengilhami mereka untuk mencari penemuan-penemuan baru yang lebih baik.
Ketika terjadi krisis beras beberapa waktu yang lalu, pihak PTN bahkan tidak banyak bersuara untuk memberikan solusi kecuali hanya menyampaikan paradigma dan wacana-wacana kosong. Pihak PTN seharusnya bisa menyuarakan untuk memberikan solusi dengan menciptakan sumber pangan alternatif. Ketika terjadi banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) pada tahun 1998 dan 1999, pihak PTN tidak terpikirkan jika ketika itu sektor usaha mikro yang menjadi penopang perekonomian. Pihak PTN baru menyadarinya setelah usaha mikro mulai berkembang cepat secara kuantitas di lingkup regional. Kita lihat saja bagaimana sikap dari PTN menghadapi tantangan krisis di tahun 2009. Perlu diketahui, jika berpedoman pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka tugas pokok dari pendidikan tinggi seperti PTN ini salah satunya adalah menciptakan suatu karya kepada masyarakat. Pada kenyataannya, mereka lebih berorientasi untuk mengikuti program akademik, lalu menunggu kelulusan dan bekerja kepada para pemilik modal dan investor asing yang tidak berpihak kepada kepentingan buruh.
Peran dari pengajar (dosen) juga perlu mendapatkan sorotan. Selain mereka jarang untuk membuat buku panduan dan buku-buku lainnya, mereka justru memaksakan anak didiknya untuk lebih tergantung pada literatur dan buku yang berbahasa asing. Sejauh ini, para pendidik juga hampir tidak pernah memberikan kontribusi penulisan ilmiah berupa jurnal dan sejenisnya untuk tingkat internasional. Dana dari proyek-proyek penelitian yang mereka terima pun seringkali tidak pernah dilaporkan secara transparan. Seringkali pula, para pengajar bukannya berada pada posisi yang memberikan pelayanan pendidikan, akan tetapi justru menjadi pihak yang harus dilayani oleh anak didik. Karena mereka ini juga memberikan kuliah di PTS, maka praktis budaya untuk dilayani pun dialami di hampir semua lingkungan PTS.
Penutup
Fakta ataupun kenyataan yang diungkapkan dalam tulisan ini bukan bermaksud untuk mengeneralisasikan, akan tetapi memang demikianlah yang ditemukan penulis di lingkungan PTN maupun PTS di Indonesia. Sudah saatnya PTN harus mengembalikan uang rakyat yang selama ini digunakan untuk membiayai fasilitas dan pembangunan infrastruktur. Sudah saatnya pula PTN berpihak kepada kepentingan rakyat dengan berasaskan pada norma dan kaidah keilmuan yang dimilikinya dengan berasaskan pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (bukan kepada pemilik kapital dan investor asing yang tidak berpihak pada kepentingan buruh).
Masyarakat sekarang mulai harus menyadari haknya jika selama ini PTN telah menggunakan uang rakyat. Dalam UU BHP ditegaskan kembali jika uang rakyat yang dipergunakan adalah sebesar 2/3 dari total biaya operasional. Masyarakat berhak untuk mengawasi penggunaan uangnya yang dimanfaatkan oleh pihak PTN. Tidak hanya itu, masyarakat pun berhak untuk menuntut kontribusi dari PTN sesuai dengan kaidah keilmuannya.
thanks gan artikelnya.
BalasHapus