10 Februari 2009

DI BALIK FATWA HARAM UNTUK GOLPUT

Setelah MUI melalui desakan dari Hidayat Nur Wahid (PKS) dan didukung oleh PPP, pertanyaannya bagaimana masyarakat (calon pemilih) menyikapinya? Tanggal 26 Jauari 2009, MUI mengeluarkan empat fatwa di mana salah satunya Fatwa Haram untuk Golongan Putih (Golput). Ketiga fatwa lainnya, sepert Fatwa Haram untuk Yoga, Vasektomi, dan Merokok hanya untuk menutupi fatwa yang sesungguhnya, yaitu haram untuk Golput. Parpol dan tokoh-tokohnya tidak bisa lagi menutupi suatu kenyataan apabila masyarakat Indonesia sekarang ini tidak begitu mudah untuk dibodohi. Apakah sesungguhnya yang melatarbelakangi dikeluarkannya fatwa tersebut? Apakah Fatwa Haram untuk Golput merupakan bagian dari agenda politik menjelang Pemilu 2009? 

Jika hendak diperdebatkan, niscaya akan menjadi perdebatan yang panjang. Sementara itu, dengan jadwal Pemilu 2009 yang semakin dekat, tentunya perdebatan panjang soal Fatwa Haram untuk Golput akan mengganggu pelaksanaan pemilu. Tentunya masyarakat tidak akan lupa pertentangan (adu pendapat) tentang Ahmadiyah yang ketika itu juga menggunakan MUI sebagai alat politik untuk menciptakan perdebatan. Hal yang serupa kembali dikeluarkan mengenai tingginya kecenderungan golput menjelang Pemilu 2009. Memperdebatkan fatwa atau segala sesuatu mengenai suatu ajaran agama bisa memunculkan kerawanan baru seperti kesenjangan antar umat beragama yang kemudian berpotensi konflik dan perpecahan.

Mereka tokoh parpol seperti Hidayat Nur Wahid dan PKS tentunya bukanlah tidak mengetahui mengenai demokrasi. Sebaliknya, Hidayat Nur Wahid sangat memahami jika golput adalah fenomena dalam demokrasi (lihat tulisan tetang pengertian Golput di sini). Tidak hanya itu, mereka pun sangat paham dengan konsekuensi besarnya persentase golput bagi kredibilitas partai politik dan kekuasaan (lihat tulisan mengenai konsekuensi golput di sini). Tentunya, Hidayat Nur Wahid dan PKS pun sangat memahami reaksi balik atas usulan fatwa haram untuk Golput. 

Latar Belakang
Pencapaian PKS pada Pemilu 2004 lalu tidaklah terlalu mengesankan dengan 7,24% suara, atau hanya berselisih sedikit di bawah Partai Demokrat (7,46% suara). Koalisi dengan Partai Demokrat, PPP, dan Golkar ternyata tidak banyak memberikan manfaat/keuntungan secara politik selama periode 2004-2009. Hasil survei dari lembaga-lebaga survei bahkan jarang menyebutkan nama PKS ataupun tokohnya seperti Hidayat Nur Wahid. Kepercayaan masyarakat Jawa Barat yang kemudian mendominasi perolehan suara pada Pilkada Jawa Barat 2007 lalu tercoreng setelah warga di Propinsi Jawa Barat mengalami kesulitan ekonomi luar biasa seperti kelangkaan gas elpiji dan buruknya realisasi janji tokoh politik yang didukung oleh PKS.

Momentum politik yang diciptakan oleh PKS malah berbalik menuai kecaman seperti iklan yang menyisipkan tokoh kontroversial Soeharto sebagai sosok guru bangsa. Sebelumnya, di DPR sendiri PKS sempat ditekan soal dukungannya terhadap pengajuan Hak Interpelasi BBM ketimbang Hak Angket BBM. Sekalipun akhirnya FPKS mendukung Hak Angket BBM, dari sini publik sudah mulai mengetahui partai-partai politik yang tidak berpihak kepada rakyat. Permasalahan utama yang dihadapi PKS di 2009 seperti juga dihadapi oleh parpol-parpol lainnya adalah berkurangnya dukungan dari calon pemilih seperti pada tahun 2004. Usulan mem-fatwakan haram bagi golput hanya suatu upaya menciptakan momentum politik yang diharapkan dapat dimanfaatkan pada Pemilu 2009. 

Besarnya perkiraan persentase golput di Pemilu 2009 nanti sesungguhnya tidak hanya menjadi ancaman bagi PKS, akan tetapi juga bagi parpol-parpol lainnya. Tantangan parpol menjelang Pemilu 2009 termasuk cukup berat karena sikap apatisme calon pemilih cenderung semakin besar jumlahnya. Sikap apatis calon pemilih tidak hanya dilatarbelakangi ketidakpercayaan publik yang semakin tinggi, akan tetapi dilatarbelakangi pula kesadaran politik sebagian besar masyarakat Indonesia masih rendah. Tantangan menghadapi Golput bisa dijadikan sebagai salah satu momentum untuk menaikkan citra parpol ataupun tokoh politiknya.

Motif Politik
Pada prinsipnya, sikap untuk tidak memilih (no decision vote) atau di Indonesia dikenal Golput adalah fenomena dalam demokrasi. Seperti diketahui, demokrasi sendiri adalah pemikiran barat, tepatnya berasal dari Yunani Kuno. Sekalipun bukan berasal dari budaya ataupun pemikiran Islam, umat Islam diperbolehkan untuk menggunakan demokrasi sebagai asas berpolitik. Ada beberapa pandangan lain yang justru sebaliknya tidak menganjurkan untuk menggunakan demokrasi karena dianggap tidak sesuai dengan pemikiran Islam. Ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist tidak sedikit pun menyinggung soal politik, kecuali hanya mengatur tata krama dalam memberikan sikap dan tindakan. 

Mengapa PKS atau Hidayat Nur Wahid memaksakan agar dikeluarkan Fatwa Haram untuk Golput? (lihat beritanya di sini)

Desakan dari PKS kepada MUI untuk mengeluarkan Fatwa tersebut sebagai sikap melepaskan diri dari tanggungjawab politik. Kepercayaan sesungguhnya ditunjukkan dari parpol kepada masyarakat, bukan sebaliknya menuntut dan melemparkan tanggungjawab politik kepada masyarakat. Sebagai parpol, PKS tidak menunjukkan kredibilitasnya untuk melakukan pembinaan politik kepada warga negara. Sikap PKS yang mengelak dari tudingan berada di balik Fatwa Haram Golput juga sangat disayangkan karena hanya PKS sendiri yang ketika itu mendorong MUI mengeluarkan Fatwa Haram untuk Golput.

Pada prinsipnya, dikeluarkannya Fatwa Haram untuk Golput tidak banyak memberikan manfaat ataupun keuntungan bagi PKS sendiri. Berposisi sebagai pihak yang mengusulkan fatwa tersebut akan membuat PKS semakin dijauhi oleh calon-calon pemilih, terutama mereka yang sudah merencanakan untuk tidak memilih (Golput). Perlu kiranya untuk dicermati apabila ada kejanggalan terkait antara fatwa haram golput dan masyarakat (calon pemilih) yang tidak hanya terdiri dari umat Islam. Dari sini dapat diketahui apabila sasaran fatwa haram untuk Golput ditujukan kepada calon pemilih yang beragama Islam, terutama yang sekarang ini menjadi basis partai-partai berasaskan Islam. 

Pihak PKS nampaknya mencoba untuk mengantisipasi kemungkinan sikap ‘Golput’ dari pendukung-pendukungnya sendiri. Beberapa waktu yang lalu, Gus Dur sempat menyerukan untuk melakukan ‘Golput’ kepada pendukung-pendukungnya dari PKB versi Muhaimin. Tidak tertutup kemungkinan hal serupa juga dilakukan oleh pendukung-pendukung PKS atau mereka yang pada Pemilu 2004 lalu memberikan pilihan kepada PKS. Dari Fatwa MUI ini PKS mencoba berspekulasi untuk menjaga perkiraan kemerosotan perolehan suara, setidaknya dapat dipertahankan seperti pada Pemilu 2004.

PKS mencoba untuk memperkuat citra sebagai partai politik yang berbasis pada gerakan pemikiran Islam. Hal ini sejalan dengan Misi PKS di mana salah satunya adalah ‘Membangun opini umum yang Islami dan iklim yang mendukung bagi penerapan ajaran Islam yang solutif dan membawa rahmat’. Fatwa Haram untuk Golput diharapkan bisa efektif mempengaruhi setidaknya (minimal) separuh dari total calon pemilih yang jumlah lebih dari 70 persen (data Pemilu 2004). Di kalangan pemilih akar rumput (grassroot), setidaknya pula PKS berharap mendapatkan kepercayaan dari pemilih yang berasal dari golongan pesantren yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara.

Tentang Fatwa
Fatwa dapat diartikan sebagai suatu keputusan atau nasehat resmi yang diambil oleh dewan ulama setempat. Di Indonesia, dewan ulama yang dimaksudkan adalah Majelis Ulama Indonesia atau MUI yang dianggap sebagai rujukan pemerintah. Dewan ulama lainnya bisa berasal dari Muhammadiyah ataupun Nadhlatul Ulamma (NU). Dikeluarkannya fatwa ditujukan untuk menjawab persoalan-persoalan umat terkini yang penjelasannya tidak terdapat di Al-Quran maupun Al-Hadist. Berdasarkan Pedoman Penetapan Fatwa MUI No U-596/MUI/X/1997, Pasal 1, Ayat 7 disebutkan, ‘Fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum’. 

Pada tulisan sebelumnya mengenai Golput, golput atau sikap untuk tidak memilih (no decision vote) adalah sikap yang dibenarkan dan diakui dalam ranah demokrasi. Golput adalah mereka (pemilih) yang terdaftar mendatangi lokasi TPS, akan tetapi tidak memberikan pilihannya dengan benar sehingga menyebabkan kertas suara menjadi tidak sah. Pemilih yang terdaftar, akan tetapi tidak mendatangi TPS tidak bisa dikatakan Golput karena dianggap tidak memberikan sikap, sekalipun suaranya dianggap tidak sah. Mereka (pemilih) yang dengan sengaja bersikap Golput memiliki alasan tidak percaya kepada calon-calon yang akan dipilihnya. Oleh karenanya, Golput atau sikap untuk tidak memilih dikatakan pula sebagai bentuk fenomena dalam demokrasi.

Besarnya persentase golput dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan pembinaan dan pendidikan politik yang diselenggarakan oleh pemerintah. Partai politik merupakan institusi yang sesungguhnya berkewajiban secara langsung untuk melakukan pembinaan politik. Seburuk apapun persepsi calon pemilih, sikap golput dapat dihindarkan apabila partai politik dapat menjalankan fungsinya dengan menciptakan komunikasi yang baik dengan masyarakat. Partai politik tidak sekedar mengkampanyekan kepentingan politiknya, akan tetapi juga disertai dengan memberikan pencerahan politik kepada warga negara. 

Dengan demikian, permasalahan tentang sikap golput sudah terjawab dari penjelasan di atas. Fenomena golput tidak terkait dengan permasalahan agama, kecuali hanya menyentuh sisi moral semata. Sekalipun demikian, fenomena golput pun tidak sekedar tanggungjawab warga negara, akan tetapi yang lebih penting adalah tanggungjawab partai politik. Sikap golput sekalipun merugikan partai politik, akan tetapi harus diakui sebagai hak warga negara dalam berdemokrasi. Jika harus menjadi tanggungjawab moral, maka yang ada bentuk tanggungjawab dua arah. Partai politik tidak bisa melempar kesalahan ataupun tanggungjawab kepada calon pemilih. Konsekuensinya pun akan diterima bersama baik mereka yaang bersikap golput ataupun partai politik.

Penutup
Jika pun harus dikeluarkan fatwa perihal demokrasi, maka fatwa tersebut semestinya ditujukan untuk sesuatu yang masih ada keterkaitannya dengan pengertian fatwa. Misalnya, uang atau harta yang diperolah dari tindakan untuk menjual suara baik pribadi maupun kelompok atau bisa juga fatwa atas penggunaan tempat ibadah maupun atribut agama dalam kampanye politik. Ketua MUI ataupun pihak-pihak yang mendukung Fatwa seharusnya mengetahui jika tidak seorang pun mengetahui kadar keimanan ataupun ketaqwaan seseorang, sekalipun dirinya mengusung nama Islam. Tidak seorang pun di dunia ini yang mengetahui bersih atau tidaknya suatu partai politik, sekalipun partai tersebut mengusung asas-asas Islam.

Agama manapun apabila sudah diikutsertakan ke dalam politik, maka hampir bisa dipastikan akan dimuati lebih banyak kepentingan-kepentingan politik. Sama halnya ketika pihak PKS mengusulkan (memaksakan) MUI untuk mengeluarkan Fatwa Haram untuk Golput. Sikap untuk tidak memberikan pilihan atau kepercayaan kepada peserta pemilu adalah hak yang juga harus dilindungi sebagai bentuk ijtihad. Seharusnya para ulama justru mendorong partai politik untuk lebih aktif/intensif lagi memberikan pembinaan politik kepada calon-calon pemilih. 

Sekalipun fatwa haram tidak memiliki ikatan secara hukum, perlu diwaspadai dampak dari fakta tersebut bagi pencitraan umat Islam di masa yang akan datang. PKS tidak seharusnya berlindung di balik nama MUI sebagai salah satu institusi Islam di Indonesia. PKS hendaknya pula bisa menerima secara realistis apabila pendukung-pendukungnya mulai beralih haluan. Penyaluran sikap ketidakpercayaan adalah suatu hak yang diakui ada di dalam demokrasi. Demikian pula dengan konsekuensinya. Tidak ada ikatan hukum di dalam Fatwa Haram untuk Golput. Namun, fatwa haram ini dikhawatirkan justru akan semakin menambah kuat sikap tidak percaya masyarakat kepada partai politik, terutama parpol-parpol yang mendukung Fatwa Haram untuk Golput.

Perlu diwaspadai di sini adanya upaya-upaya pihak tertentu untuk menciptakan benih perpecahan internal di dalam masyarakat Islam di Indonesia. Fatwa aliran sesat yang mengharamkan aktivitas Jema’ah Ahmadiyah dikeluarkan oleh MUI pada tahun 2008 lalu. Tidak lama setelah fatwa tersebut dikeluarkan, konflik pun mulai tercipta yang selanjutnya mencapai puncaknya pada tanggal 1 Juni 2008 (Peristiwa Monas). Sebelum menjadi Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid mengawali pemikiran untuk terbentuknya negara Islam dengan mengusulkan kembali ke ‘Piagam Djakarta’. Dari sekian banyak gebrakan PKS, parpol ini dianggap sudah tidak mampu lagi untuk mengemban amanat demokrasi setelah desakannya kepada MUI untuk mengeluarkan Fatwa Haram untuk Golput.

Unduh (download) artikel

Klik kanan, pilih 'Save link/target as'

0 comments:

Posting Komentar