19 Desember 2008

TENTANG GOLPUT (3/3): KONSEKUENSI DAN TANGGUNGJAWAB

Dua tulisan sebelumnya sudah menjelaskan mengenai pengertian dasar dari keputusan yang tidak pilihan (no decision vote) atau di Indonesia lebih dikenal golongan putih (golput). Pada tulisan kedua sudah disinggung pula mengenai keterkaitan antara besarnya golput dan legitimasi kekuasaan/jabatan. Legitimasi bukanlah suatu bentuk konsekuensi, akan tetapi barulah menyentuh pada status kekuasaan yang diraih oleh kontestan pemilu. Jika kemudian terjadi legitimasi kekuasaan adalah lemah dikarenakan besarnya suara pemilih yang tidak memberikan pilihan kepada kontestan manapun, di sinilah baru dibicarakan tentang konsekuensinya. Ada dua bentuk konsekuensi, yaitu konsekuensi terhadap legitimasi kekuasaan/jabatan dari kontestan dan konsekuensi yang diterima oleh pemilih. Ini belum lagi ditambahkan apabila konsekuensi yang harus diterima secara kolektif. Lalu, siapa yang sesungguhnya paling bertanggungjawab?

Unduh (download) UU No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
Klik di sini (atau klik kanan, pilih save link as)

Meluruskan Kembali
Perlu diperjelas kembali, jika golput sebagai pilihan adalah tindakan yang diwujudkan secara nyata, yaitu dengan tetap mendatangi ke lokasi/tempat pemungutan suara. Di sinilah pemilih menyatakan keputusan/sikap untuk tidak memberikan pilihan. Belakangan ini keluar anggapan yang keliru apabila golput cukup hanya ditunjukkan dengan tidak mendatangi TPS di hari yang telah ditentukan. Sikap seperti ini sesungguhnya tidak bisa dikatakan golput, akan tetapi sikap yang menunjukkan jika kesadarannya sebagai warga negara dan kecintaannya terhadap negaranya sendiri sangat rendah. Apapun alasan dan penjelasannya, dengan tidak mendatangi TPS, pemilih tadi belum bisa dikatakan golput, sekalipun hasilnya tidak berbeda dengan golput. Permasalahannya, belajar dari kecurangan Pemilu 2004 lalu, tidak sedikit kerta suara yang tidak dipergunakan kemudian dicoblos oleh pihak-pihak yang sengaja menguntungkan salah satu kontestan.

Konsekuensi Atas Legitimasi Kekuasaan/Jabatan
Pada prinsipnya, berapapun besarnya prosentase suara golput (no decision vote) terhadap total suara tetap tidak mempengaruhi hasil perolehan suara akhir. Pemenang adalah kontestan yang memiliki suara terbanyak dibandingkan dengan kontestan-kontestan lain. Dimisalkan saja, persentase suara yang dinyatakan tidak sah (=golput) mencapai separuh dari kontestan dengan persentase suara terbanyak. Menurut ketentuan yang berlaku, kontestan dengan suara terbanyak tadi tetap dianggap sebagai pemenang dan kemudian dilantik untuk memegang suatu jabatan atau kekuasaan. Sekalipun demikian, legitimasi kekuasaan/jabatan dari kontestan tadi dianggap lemah. Legitimasi kekuasaan/jabatan politik menjadi semakin lemah apabila persentase suara yang tidak memilih (golput) mencari setengah dari total perolehan suara.

Bagi lawan politiknya, legitimasi kekuasaan/jabatan yang lemah dapat dimanfaatkan untuk melakukan oposisi selama masa jabatan/kekuasaan. Bila yang dimaksudkan lemah legitimasinya adalah presiden atau gubernur/bupati/walikota, maka tentunya tidak akan mudah pemegang kekuasaan eksekutif untuk menjalankan kekuasaannya seperti membuat undang-undang dan kebijakan. Sekalipun kebijakan tersebut memiliki tujuan yang baik, akan tetapi pemegang kekuasaan eksekutif terkendala pada aspek kepercayaan. Tentunya, opisisi yang dimanfaatkan oleh lawan politiknya hanya akan menguntungkan posisi politiknya sendiri dan hanya sedikit menguntungkan atau memberi manfaat kepada masyarakat.

Konsekuensi Yang Diterima Oleh Pemilih
Permasalahannya di sini, kita tidak mengetahui siapa di antara pemilih yang tidak memberikan pilihan (golput). Konsekuensi yang diterima oleh pemilih adalah konsekuensi secara kolektif kepada masyarakat, selain pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Salah satu prinsip dasar dalam demokrasi bahwa kekuasaan yang sepenuhnya ada di tangan rakyat diberikan kepada perwakilan atau representasinya melalui suatu mekanisme tertentu (pemilihan). Apabila lemahnya legitimasi kekuasaan bersumber dari banyaknya persentase suara golput, maka rakyat tidak dapat menuntut haknya kepada penguasa ataupun perwakilannya.

Selain tidak dapat menyalurkan aspirasinya, rakyat juga tetap harus menjalankan kewajibannya dengan tetap mentaati perturan dan ketentuan yang berlaku. Rakyat masih tetap diperkenankan menyalurkan aspirasinya melalui aksi protes (demo), akan tetapi rakyat tetap tidak dapat menuntut agar aspirasinya bisa dijalankan sesuai dengan keinginan. Kondisi ini pun juga berlaku apabila persentase suara golput terhadap total suara relatif rendah. Mereka boleh saja memprotes dengan cara-cara tertentu, akan tetapi mereka tidak bisa menuntut agar dapat diserap aspirasinya.

Konsekuensi Secara Nasional
Di negara di mana pemerintahnya cukup lemah legitimasinya karena banyaknya suara yang tidak memilih (golput) akan lebih banyak mendapatkan masalah. Ketidakstabilan politik, sosial, dan ekonomi di dalam negeri adalah konsekuensi yang harus diterima selama masa kekuasaan. Di beberapa negara tertentu bahkan situasi seperti ini bisa dimanfaatkan oleh pihak militer untuk melakukan pengambilalihan kekuasaan. Kita bisa melihat contohnya di Philipina, negara-negara Amerika Latin, dan negara-negara di Afrika.

Tidak hanya kepercayaan di dalam negeri, akan tetapi juga kepercayaan dari dunia internasional. Kewibawaan suatu pemerintahan yang lemah legitimasinya tentu tidak akan membuat negara lain akan menghargai dan menghormati negara dari pemerintahan tadi, termasuk pula warga negaranya. Investor asing akan cenderung enggan untuk merealisasikan lebih lanjut investasi yang sudah direncanakan. Bantuan asing berupa program-program sosial juga akan lebih sulit tersalurkan. Hal ini masih belum lagi ditambahkan dengan kemungkinan meningkatnya kasus pelecahan-pelecahan antar warga negara di luar negeri. Tidak tertutup kemungkinan, situasi seperti ini pula yang nantinya dimanfaatkan oleh pihak asing untuk menguasai ataupun melecehkan kedaulatan. Kita bisa melihat kasus seperti ini di negara Somalia, Kenya, dan Irak.

Siapa Yang Paling Bertanggungjawab?
Pada tahun 2002, Partai Republik (Amerika Serikat) pernah membangun kaukus besar-besaran di negara bagian Wisconsin. Dalam jajak pendapat (polling) yang dilakukan oleh Partai Republik, jumlah potensi golput di negara bagian Wisconsin sudah dalam taraf yang memprihatinkan. Kaukus yang dipusatkan di negara bagian Wisconsin diagendakan untuk menekan tingginya angka golput pada pemilu mendatang. Sukarelawan partai dikerahkan turun ke jalan untuk memberikan penerangan langsung kepada masyarakat mengenai rencana kampanye partai politik dan pemilu yang akan diselenggarakan di negara bagian tersebut. Jutaan dolar dihabiskan hanya untuk satu negara bagian ini. Tidak hanya Partai Republik, akan tetapi di kubu Partai Demokrat pun melakukan tindakan yang sama.

Berdasarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, Bab V (Tujuan dan Fungsi), Pasal 10, Ayat 2.a tentang Tujuan Khusus Partai Politik adalah, ‘Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan’. Dalam Pasal 11, Ayat 1.a disebutkan, ‘Partai Politik berfungsi sebagai pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara’. Dari kedua pasal di atas (UU No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik), maka partai politik adalah komponen nasional yang memiliki tanggungjawab utama dalam memberikan kesadaran dan meningkatkan partisipasi politik warga negara.

Keputusan dan sikap masyarakat yang tidak memberikan pilihan (no decision vote) atau golput dikarenakan lebarnya kesenjangan komunikasi antara masyarakat dan parpol. Apapun alasan masyarakat untuk mengambil sikap golput seperti ketidakpuasan, ketidakpercayaan, ataupun kekecewaan sudah semestinya bisa dijawab dengan langkah parpol untuk mendekatkan diri kepada masyarakat. Seperti kaukus yang dilakukan oleh Partai Republik di negara bagian Wisconsin. Padahal, perkiraan terburuk tentang angka golput barulah pada level 15%. Lain halnya dengan parpol di Indonesia. Ketika ancaman/seruan golput mulai meluas, tokoh parpol malah mengajukan untuk membuat fatwa haram. Tokoh dari PDIP, Megawati bahkan sempat mencibir sikap golput yang dianggap bukan sikap warga negara. Semua parpol yang ketika pada Pemilu 2004 berada pada 4 besar memang menyerukan untuk tidak golput, akan tetapi langkah kongkret hanyalah dalam wujud himbauan.

Referensi
Barker, Rodney, 2001, Legitimating Identities: The Self-Presentations of Rules and Subjects, Cambridge University Press, New York.
Czesnik, Mikolaj, 2006, “Voter Turnout and Democratic Legitimacy in Central Europe”, Polish Sociological Review, Volume 4, Number 156, pp.449-470.
Dennis, Jack and Steven H. Chaffee, 1978, “Legitimation in The 1976 U.S. Election Campaign”, Communication Research, Volume 5, Number 4, pp.371-394.
Gelpi, Christopher, 2003, The Power of Legitimacy: Assessing the Role of Norms in Crisis Bargaining, First Edition, Princeton University Press, Princeton.
Levit, Ariel and Sidney Tarrow, 1983, “The Legitimation of Excluded Parties in Dominant Party Systems: A Comparison of Israel and Italy”, Comparative Politics, Volume 15, No 3, pp. 295-327.
Newman, Michael, 2001, “Allegiance, Legitimation, Democracy, and The European Union, EUI Working Paper HEC No 2001/5.

0 comments:

Posting Komentar