31 Desember 2011

LABEL GAYA HIDUP BERNAMA BLACKBERRY

Jangan salah sangka, apabila tulisan ini sama sekali tidak disponsori oleh pihak manapun. Tulisan ini pula bukan bermaksud hendak turut mempromosikan nama produk Blackberry. Penulis mencoba untuk melihat dari sudut pandang sosial perihal perilaku konsumsi masyarakat terhadap teknologi. Suka atau tidak, setuju atau tidak, apabila nama BlackBerry (BB) sudah menjadi simbol gaya hidup masyarakat Indonesia dan hanya di Indonesia.

Seorang anak usia sekolah dasar di sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Klaten terlihat sibuk membalas pesan messenger (BBM). Tidak main-main, jenis BB yang dimiliki anak tadi adalah Torch terbaru dengan fitur layar sentuh. Di Jakarta sendiri hampir sebagian besar anak-anak golongan ekonomi menengah ke atas sudah membekalkan anak-anaknya dengan BB. Gaya hidup sejak usia dini yang saling menular satu dengan yang lainnya.

Seorang karyawan rela untuk menahan pengeluaran di akhir minggu untuk ditabung demi untuk bisa mendapatkan BB. Karyawan tadi bahkan rela pula untuk menahan sebagian pengeluarannya agar dapat mengaktifkan layanan online. Mereka adalah golongan menengah yang paling banyak mengkompensasikan sebagian pengeluarannya hanya untuk dapat mengaktifkan layanan internet BB.

Kalangan mahasiswa? Jangan ditanya. Mereka di kalangan mahasiswa dikenal cukup aktif untuk mencari informasi. Sayangnya, status mahasiswa atau terpelajar sekalipun tidak selalu signifikan dalam pengambilan keputusan pembelian produk teknologi. Jika faktor finansial dianggap telah mencukupi, maka pertimbangan pertama untuk memilih produk teknologi berdasarkan referensi dari pihak lain. Singkat kata, gaya hidup masih menjadi pertimbangan utama di kalangan mahasiswa.

Gaya hidup (life style) memiliki definisi yang cukup beragam. Secara umum, pengertian gaya hidup menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “Pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia di dalam masyarakat. Gaya hidup menunjukkan bagaimana orang mengatur kehidupan pribadinya, kehidupan masyarakat, perilaku di depan umum, dan upaya membedakan statusnya dari orang lain melalui lambang-lambang sosial”. Gaya hidup dapat diartikan juga sebagai segala sesuatu yang memiliki karakteristik, kekhususan, dan tata cara dalam kehidupan suatu masyarakat tertentu. Pokok pikirannya cukup jelas, apabila gaya hidup akan senantiasa berhubungan dengan status sosial.

Status sosial bagi masyarakat Indonesia masih dianggap sebagai bagian dari cara hidup dan cara berpikir. Seseorang bersekolah hingga perguruan tinggi tentunya akan lebih bangga apabila memperoleh gelar kesarjanaan. Status sosial bahkan dikejar dan diperlihatkan selama masa mudik lebaran. Suatu simbolisasi yang berdasarkan keyakinan individunya sebagai wujud atas pencapaian sesuatu.

“Anda boleh saja terlihat tidak menarik, tetapi akan menjadi berbeda ketika Anda menggunakan BlackBerry”

Dalam sebuah kerumunan arisan ibu-ibu di suatu komplek perumahan, terdapat 2 orang dari total 18 orang ibu yang menggunakan BlackBerry. Selama arisan, gadget tersebut senantiasa diperlihatkan, sambil sibuk memperhatikan pesan di layar. Nada messenger khas BlackBerry pun terdengar menghiasi perckapan mereka. Spontan seluruh mata memelototi gadget kedua orang tersebut. Tidak lama berselang, sekitar 2 bulan kemudian, seluruh ibu-ibu yang kumpul kembali untuk arisan sudah menenteng BlackBerry dengan tipe yang berbeda-beda. Dua orang ibu tadi tidak lagi istimewa menjadi buah bibir, karena seluruh ibu-ibu dalam kelompok arisan tersebut telah menenteng BlackBerry.

Di suatu tempat kerja, seorang karyawan gelisah memandangi rekannya yang sibuk membalas pesan pada Facebook dan BBM. Kebanyakan rekan-rekannya mulai melontarkan pertanyaan, “Berapa nomor PIN punyamu?”. Pertanyaan inilah yang nampaknya menjadi kegelisahannya. Dalam pembicaraan telpon, rekan-rekannya selalu sibuk membalas pesan dan membicarakan status rekannya di BBM. Tidak berapa lama kemudian, akhirnya si karyawan tadi telah membeli BlackBerry dan kemudian terlihat sibuk menanyakan nomor PIN rekan-rekannya.

Sekitar 10 tahun yang lalu, gadget BlackBerry keluaran RIM merupakan ponsel yang paling unik. Dengan tombol khas jenis QWERTY yang ketika itu belum ada tersemat di ponsel manapun yang beredar di Indonesia. Harganya pun cukup mahal. Untuk seri BOLD dengan koneksi GPRS ketika itu masih seharga sekitar Rp 4 jutaan, bahkan bisa mencapai Rp 5 jutaan. Ponsel yang umumnya beredar di Indonesia hanya seharga di bawah Rp 3 juta, kecuali untuk jenis ponsel dengan fitur layar sentuh. Muncul anggapan, apabila hanya kalangan tertentu yang mampu membeli dan memiliki BlackBerry.

Cukup lama para pengecer di Indonesia membanderol BB dengan harga di atas Rp 4 juta. Harga ponsel pada masa itu justru sedang berlomba turun. Perang harga yang memakan korban di mana divisi telelkomunikasi Ericsson diakuisisi oleh Sony, kemudian Siemens diakuisisi oleh BenQ. Nokia ketika itu menjadi jawara atas perang harga. Sekalipun demikian, produk BlackBerry yang belum lama masuk ke Indonesia tidak terpengaruh perang harga. Seolah hendak menunjukkan apabila gadget tersebut memiliki kelas/segmen tersediri. Samsung dan Sony-Ericsson yang sudah menyematkan fitur 3G dengan harga di bawah Rp 3 juta tidak membuat gadget dari Kanada bergeming turut menurunkan harga.

Kesan ekslusif pun semakin lama kian melekat. Kalangan artis maupun politis beramai-ramai menenteng gadget impor yang dirakit di Amerika Latin maupun Kanada. Di setiap tayangan sinetron senantiasa diperlihatkan artis-artis yang beradegan sambil menenteng gadget BlackBerry. Demam sinetron menularkan gaya hidup di kalangan para pejabat dan keluarganya. Citra eksklusif yang diyakini menciptakan kelas sosial tersendiri mampu menyingkirkan gadget pesaingnya di kelas internet mobile phone. Sampai suatu ketika, di tahun 2004 ditemukan selundupan BB asal Kanada oleh Bea Cukai Indonesia yang berjumlah ratusan unit. Animo konsumen yang begitu tinggi, sehingga membuka peluang untuk celah penyelundupan, bahkan hingga saat ini.

Masih ingat dengan kasus Nazaruddin dan ‘nyanyiannya’ di BBM? BlackBerry seringkali mendapatkan promosi gratis dan cukup strategis. Mungkin termasuk pula tulisan saya di sini. Kasus Nazaruddin cukup menghebohkan dan menjadi perbincangan nasional bersama BlackBerry dan fitur BBM. Kemudian dihubungkan nilai korupsi yang dituduhkan kepada Nazaruddin yang mencapai triliunan Rupiah. Persepsi seseorang akan membentuk citra eksklusif pada gadget buatan RIM sebagai ponsel ‘kalangan tertentu’. Citra eksklusif tersebut kemudian akan membentuk persepsi tentang status sosial. Tidak mengherankan apabila dengan provokasi penjualan mampu mendorong sebagaian masyarakat rela mengantri demi mendapatkan keluaran terbaru Bellagio.

Dari uraian yang disampaikan di atas, saya mencoba untuk menggunakan pendekatan filosofi kebudayaan yang menjadi cara pandang masyarakat Indonesia. Faktor fundamental dari aspek sosial yang sesungguhnya menciptakan analog status sosial dan gaya hidup, terkait dengan kasus produk BlackBerry. Sejak lama, masyarakat Indonesia memang dikenal masyarakat yang mudah kaget (terkejut). Dalam ungkapan Jawa disebutkan ‘gumunan’ atau mudah terkagum-kagum atas sesuatu. Cara berpikir semacam ini tidak terlepas dari tatanan berpikir yang telah terbentuk di masa lalu. Sifat mudah kaget dan mudah kagum dikarenakan secara psikologis bangsa Indonesia mengalami semacam lompatan teknologi. Dalam bahasa sains dikenal dengan istilah psychological shock.

Ekses dari perilaku psychological shock menyebabkan seseorang melakukan sesuatu berdasarkan keyakinannya, bukan berdasarkan akal sehat dan logika. Ketika mulai menjamurnya ponsel di tahun 2000, harga kartu perdana bisa mencapai Rp 250.000. Tidak sedikit masyarakat yang rela mengantri untuk mendapati potongan harga yang semula dijual seharga Rp 400.000. Masyarakat bahkan rela untuk membayar uang muka pemesanan kartu perdana hingga Rp 150.000. Padahal, dalam satu hari belum tentu seseorang akan selalu tergantung dari ponsel. Mungkin ketika itu hanya ada 2 dari 10 orang yang tergantung (membutuhkan) dengan ponsel setiap harinya. Tarif telepon masih sangat mahal ketika itu di mana layanan SMS masih belum disediakan. Faktor alat telekomunikasi genggam dan bergerak itulah yang kemudian mendorong seseorang untuk memilikinya.

Analog yang sama bisa diterapkan pada kasus produk BlackBerry, terutama untuk menerangkan keputusan konsumen membeli perangkat telekomunikasi. Kesan eksklusif membuat seseorang menjadi kagum. Kemudian, fitur layanan yang khas pada BlackBerry (seperti BBM) membuat orang menjadi terkejut. Terciptalah yang disebut psychological shock yang selanjutnya mendorong seseorang untuk ingin memilikinya. Ada yang menyebutkan perilaku semcam ini dengan sebutan ‘using without utilization’ atau penggunaan tanpa memperdulikan fungsinya.

Referensi
Adnan, Ajie, 2010, “BlackBerry: Antara Kebutuhan dan Status Sosial”, dipublikasikan di Kompasiana, 29 September 2010, diakses tanggal 21 Desember 2011 (http://teknologi.kompasiana.com/gadget/2010/09/29/blackberry-antara-kebutuhan-dan-status-sosial/)
Hindarto, Dicky E., 2008, “Ojo Gumunan, Ojo Kagetan, Lan Ojo Dumeh”, diakses pada tanggal 22 Desember 2011, 01.15 (http://www.selamatkan-indonesia.net/index.php?option=com_content&task=view&id=347&Itemid=2)
Ja’far, Marwan, 2011, “Di Balik Demam BlackBerry”, Suara Pembaharuan, Tanggal 2 Desember 2011.
Mahendro, AM Anggoro Bayu, 2011, “Analisis Pengaruh Gaya Hidup Terhadap Keputusan Pembelian Handphone BlackBerry di Kalangan Mahasiswa Atma Jaya”, Thesis Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya, Jakarta (tidak dipublikasikan).
Soedjatmiko, Haryanto, 2008, Saya Berbelanja, Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup, Penerbit Jalasutra, Jakarta.
Sulistyawati, Vivi, 2011, “Analisis Atribut Produk Yang Dipertimbangkan Konsumen Dalam Pembelian BlackBerry”, Skripsi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
Sulistyono, 2011, “Analisis Pengaruh Kegunaan Produk, Kemudahan Penggunaan, dan Pergaulan Sosial Terhadap Minat Mereferensikan Pada Produk BlackBerry di Kota Semarang”, Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang (tidak dipublikasikan).

0 comments:

Posting Komentar