14 Juni 2012

MURAHNYA KULIAH DI INDIA

Hari ini sejumlah PTN mengumumkan besaran resmi Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) atau banyak yang menyebutnya ‘uang masuk’. Besarannya bervariasi, mulai dari Rp 0 (gratis) hingga di atas Rp 100 juta. ITB mematok antara Rp 0 hingga Rp 55 juta, sedangkan UGM mematok antara Rp 0 hingga Rp 100 juta. Fakultas Kedokteran agaknya masih menjadi fakultas yang biaya pangkalnya paling mahal. Tahun ini saja di beberapa PTN sudah ditetapkan mencapai Rp 125 juta. Dalam kenyataannya, angka-angka tersebut bisa akan berubah, mengingat keterbatasan daya tampung dan tingginya peminat. Saya hendak mengajak pembaca untuk berjalan-jalan atau studi banding ke India untuk mengetahui betapa murahnya kuliah di India. Tentu saja bukan tanpa alasan jika saya memilih studi banding ke India.

Latar Belakang
Satu alasan dipilihnya subyek pembicaraan tentang India, karena negara ini memiliki lebih banyak kesamaan dengan Indonesia. Salah satu kesamaan yang masih bertahan hingga saat ini adalah korupsinya. India hanya berselisih lebih baik daripada Indonesia berdasarkan pemeringkatan International Corruption Watch (ICW) di beberapa tahun belakangan ini. Negara ini pun tengah mengalami masalah pula dengan utang luar negeri, dan pernah masuk ke dalam perangkap utang luar negeri (debt trap) di akhir dekade 1980an. Jika Indonesia baru dihadapkan pada dilema neoliberal pada akhir dekade 1990an, maka India sudah mengalaminya sejak akhir dekade 1980an. Jumlah penduduk mereka pun cukup besar dengan tingkat kemiskinan yang tidak berselisih banyak dengan Indonesia. Mereka pun tidak kalah mengalami kesulitan ketika harus berhadapan dengan kebijakan kesejahteraan. Rata-rata biaya hidup masyarakat India pun tidak berbeda banyak atau nyaris sama dengan rata-rata biaya hidup masyarakat di Indonesia. Kemiripan yang lain tentunya dua negara ini sama-sama didominasi iklim tropis, sekalipun beberapa negara bagian di India didominasi wilayah pegunungan.

Dibalik seluruh masalah-masalah di dalam negeri di India, mereka merupakan bangsa yang bisa dikatakan cukup konsisten dengan kebijakan di bidang pendidikan. Sejak negara itu mendapatkan kemerdekaan dari Inggris, seluruh pihak diajak untuk duduk satu meja membuat satu kesepakatan dan komitmen seumur hidup. Apapun masalah mereka, semua pihak harus berpegang teguh apabila tidak akan mengutak-atik kebijakan maupun program untuk bidang pendidikan, termasuk mengutak-atik kuota dana pendidikan. Apapun yang terjadi dengan mereka di kemudian hari, bahwa rakyat India tanpa terkecuali harus tetap bisa menikmati pendidikan dan segala fasilitas pendukungnya.

Tidak seperti kebanyakan negara di Eropa yang menyelenggarakan sekolah gratis kepada warga negaranya, pemerintah India masih tetap mengutip dana dari masyarakat. Bisa dimaklumi, karena India yang baru saja berkembang dan masih tergolong inferior dalam penguasaan perekonomian global tidak memiliki banyak sumberdaya finansial untuk bisa mendukung pendidikan gratis kepada warga negaranya. Sekalipun demikian, pemerintah India berupaya untuk tetap mewujudkan pendidikan yang murah di hampir segala bidang. Bukan saja murah dalam arti penyelenggaran pendidikan, melainkan pendukungnya pula. Misalnya saja, kebijakan untuk memberikan subsidi buku, subsidi alat tulis, dan lain sebagainya. Mengenai kesejahteraan para pengajar (guru dan dosen) sangat diperhatikan oleh negara, termasuk pula kesejahteraan para penelitinya.

Reputasi Pendidikan dan Ilmuwan dari India
India bukanlah negara yang menjadi tujuan favorit untuk mengambil kuliah bagi mahasiswa internasional. Mereka nampaknya tidak terlalu mengutamakan penilaian yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkatan perguruan tinggi di beberapa negara. Peringkat perguruan tinggi di India ini pun bisa dikatakan masuk ke dalam kelompok inferior, bahkan institut teknik terbaik di India masih di bawah Institut Teknologi Bandung (ITB) maupun Institut Teknologi 10 November (ITS, Surabaya). Begitu pula dengan pemeringkatan fakultas maupun jurusan yang keseluruhannya bisa dikatakan masuk ke dalam kelompok inferior. Jangan heran jika dalam sebuah laporan pemeringkatan, perguruan tinggi di India mungkin masih di bawah peringkat perguruan tinggi swasta di Indonesia.



Sudah sejak lama apabila nama-nama ilmuwan di India cukup disegani di antara kalangan
ilmuwan dunia/internasional. Nama mereka selalu masuk langganan nominasi Nobel di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu yang paling terkenal di antaranya adalah Amartya Sen, tokoh peraih Nobel bidang ekonomi yang sekaligus memperkenalkan konsep “Welfare State” (tahun 1998). Albert Einstein dalam jurnalnya mengakui selalu berkorespondensi dengan salah satu ilmuwan nuklir dari India, yaitu Satyendranath Bose (Kalkuta). Mereka berdua dikenal pula dengan teori statistik kuantum atau disebut teori Bose-Einstein (tahun 1924). Pakar astronomi asal Ahmedabab (India), yaitu Vikram Sarabhai merupakan nama yang cukup disegani di kalangan fisikawan dan astronomi di Cambridge. Hingga saat ini pun, nama-nama ilmuwan dan peneliti India masih cukup banyak pula mendominasi penelitian, riset, ataupun studi keilmuan bertaraf internasional.

Bicara soal reputasi, India sebenarnya sering disebutkan dalam sineas dunia. Sebut saja seperti ilmuwan India yang disebutkan dalam film “2012”. Atau seperti ilmuwan genetika yang dikisahkan dalam film serial “The Hero”. Contoh lain seperti ilmuwan meteorologi yang disebutkan di dalam film kiamat dunia akibat perubahan iklim purba. Tidak hanya dikenal melalui reputasi ilmuwannya, melainkan dikenal pula reputasi pusat penelitian dan laboratorium sains. Bisa dipahami apabila otoritas pendidikan di India tidak ambil pusing dengan pemeringkatan perguruan tinggi, karena reputasi mereka sudah dikenal cukup luas sejak lama.

Lulusan perguruan tinggi di India termasuk yang paling banyak diminati dan dicari oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Sebut saja seperti Microsoft yang memiliki lebih dari 2000 karyawan yang berasal dari India. Atau mungkin seperti Intel Corp yang memiliki sebanyak lebih dari 1200 karyawannya yang berasal dari lulusan perguruan tinggi di India. Mereka pula banyak mengisi tempat di perusahaan-perusahaan teknologi di Korea Selatan ataupun Taiwan. India sendiri termasuk negara yang menghasilkan jumlah lulusan insinyur paling banyak di dunia untuk ukuran Asia yang masih mampu melampaui China.

Gambaran Suasana Perkuliahan di India
Tulisan berikut ini disadur berdasarkan reportase dan wawancara penulis kepada dua narasumber yang pernah mengambil program S3 di India di dua perguran tinggi yang berbeda. Dua narasumber tersebut dipilih dengan alasan mereka cukup paham dengan situasi/kondisi dan sistem perkuliahan di India, termasuk perkuliahan S1 di beberapa fakultas dan jurusan. Satu di antaranya mengambil kuliah di bidang hukum dan administrasi, sedangkan narasumber lain mengambil kuliah di bidang informatika. Mereka berdua telah menyelesaikan studi S3 di tahun 2006 dan 2007. Penulis bertemu dengan keduanya di tahun 2008, tetapi penulis tidak mengetahui nama lengkap mereka, kecuali hanya mengetahui mereka pernah menamatkan S1 di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Wawancara dilakukan begitu penulis bertemu dan mengenal mereka. Penulis berharap, ulasan yang dipaparkan bisa merepresentasikan kondisi perkuliahan di India.

Suasana kuliah di India sangat bertolakbelakang dengan suasana perkuliahan di Indonesia. Kampus di India umumnya terletak jauh dari kota besar, terkadang bisa menempuh perjalanan lebih dari 1 jam dengan menggunakan angkutan umum pedesaan untuk mencapai batas kota. Misalnya saja University of Delhi berlokasi sekitar di pinggiran kota yang membutuhkan waktu tempuh hingga lebih dari 1,5 jam untuk bisa mencapai kota besar yang terdekat. Jarak tempuh bisa lebih lama lagi apabil di musim hujan, karena kondisi jalan di India, terutama di pinggiran kota seringkali mengalami kerusakan, sehingga akan memperlambat kendaraan yang melintas. Melihat gambaran tersebut, rasanya mahasiswa di India lebih jauh berpikir untuk bepergian ke Mall atau pusat perbelanjaan seperti kebanyakan mahasiswa di Indonesia.



Perguruan tinggi di India umumnya menyediakan sendiri asrama bagi mahasiswanya, tanpa
dipungut bayaran tambahan. Siapapun boleh tinggal dan menikmati fasilitas di asrama, termasuk bagi mahasiswa asing. Mahasiswa yang berasal dari India akan lebih memilih untuk tinggal di asrama, karena makanan yang disediakan di asrama bisa lebih murah, ketimbang harus membeli di luar asrama yang jaraknya cukup jauh. Di dalamnya telah tersedia listrik gratis, air bersih, dan saranan hiburan seperti televisi (nonton bareng di ruang utama). Di lingkungan asrama terdapat pembantu yang dapat dipekerjakan oleh mahasiswa untuk mengurusi kamar, seperti mencuci pakaian, selimut, kasur, dan lain-lain, tetapi mahasiswa akan dikutip bayaran. Satu kamar biasanya ditempati 3-4 orang, tergantung ukuran kamar dan peraturan yang berlaku. Siapapun mahasiswa dapat tetap tinggal dan menikmati fasilitas di asrama selama yang bersangkutan masih dianggap memenuhi ketentuan waktu studi yang disyaratkan oleh pihak kampus. Jika tidak, si mahasiswa harus berdesakan dengan penghuni kamar lainnya atau bisa jadi akan tidur di emperan kamar. Pemandangan tersebut jarang terlihat, karena disiplinnya aturan batas waktu perkuliahan di India. Tidak ada pendingin udara, kecuali pendingin alami seperti pada kampus-kampus yang berlokasi di dataran tinggi.

Sepeda adalah transportasi utama kampus, terutama berlaku bagi mahasiswa. Zona merah bagi kendaraan bermotor mendominasi lingkungan kampus hingga ke area asrama mahasiswa. Kebanyakan dosen pun lebih memilih untuk menggunakan sepeda, kecuali untuk beberapa dosen terbang. Misalnya saja seperti salah satu dosen yang pernah menjabat sebagai Presiden India lebih sering terlihat menggunakan mobil. Kendaraan bermotor sepertinya bukanlah kebutuhan pokok bagi mereka, karena mereka jarang sekali menghabiskan waktu untuk bepergian, kecuali di hari Sabtu dan Minggu. Itu pun mereka akan lebih memilih menggunakan angkutan umum. Kehidupan perkuliahan di kampus bisa dikatakan cukup padat. Mahasiswa tidak banyak meluangkan waktu untuk kesenangan (pleasure), kecuali lebih banyak mengisinya untuk kegiatan perkuliahan. Agenda kegiatan mahasiswa di sana lebih banyak diisi untuk kuliah, asistensi (tutorial atau semacam kuliah tambahan), kunjungan ke perpustakaan, laboratorium (untuk mahasiswa eksakta), atau belajar kelompok (biasanya dipandu asisten dosen). Untuk kegiatan tersebut bisa menghabiskan cukup sehari waktu di kampus. Sebagai catatan, setiap kegiatan yang mereka laksanakan selalu ada absensinya, sehingga pihak kampus dapat memantau aktivitas dari si mahasiswa. Malam harinya mereka akan menghabiskan waktu untuk berdiskusi bersama teman-teman di asrama atau mungkin bisa menghabiskan waktu malam menjelang tidur dengan kegiatan belajar. Untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari, mahasiswa bisa berbelanja di kantin asrama dengan harga yang lebih murah. Harga tersebut merupakan bagian dari subsidi nasional pemerintah India untuk bidang pendidikan.

Ada cerita unik dibalik fasilitas asrama yang disediakan dari bantuan para alumni. Mereka para alumni yang telah sukses berkiprah di luar negeri seringkali mendatangkan
fasilitas-fasilitas tempat tinggal seperti televisi, kulkas, komputer, dan lain sebagainya. Seiring dengan berjalannya waktu, fasilitas-fasilitas tersebut jarang yang ditemukan awet. Seringkali tidak sampai setahun sudah tidak bisa difungsikan seperti sediakala. Setelah ditelusuri, ternyata para mahasiswa seringkali melucuti fasilitas-fasilitas tersebut untuk dijadikan sebagai modal atau perlengkapan tambahan untuk melakukan eksperimen. Misalnya dilucuti bagian kabel optik, komponen-komponennya, bahkan termasuk skrup atau baut.

Gambaran Suasana Dalam Perkuliahan
Setiap mahasiswa telah diberikan target untuk menyelesaikan waktu studinya. Beberapa kampus bisa dikatakan tidak memberikan kompromi ataupun kompensasi dalam bentuk apapun. Tidak hanya waktu tempuh studi, termasuk pula untuk tugas dan karya ilmiah. Semua diperlakukan sama, tanpa diskriminasi, bahkan termasuk anak pejabat penting negara. Aturan DO (drop out) pun cukup keras diberlakukan, tanpa sedikit pun kompromi. Tidak jarang apabila ditemukan kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa di India, karena begitu tingginya tuntutan akademik yang harus mereka penuhi.

Kebanyakan pengajar (dosen) merupakan sosok yang memiliki reputasi internasional dengan gelar profesor. Mereka tidak sulit untuk ditemui atau diminta konsultasi. Pada dosen tersebut memiliki sendiri asisten yang biasanya dimanfaatkan untuk menjadi dosen pengganti atau, keperluan asistensi mata kuliah, ataupun untuk keperluan pengganti konsultasi. Para asisten dosen tersebut setidaknya bergelar doktor dan bisa dikatakan cukup berpengalaman. Para asisten itu pula bukan berperan untuk menggantikan dosen utama ketika berada di kelas. Jika dosen utama tidak bisa menghadiri kuliah, karena berhalangan, maka perkuliahan akan digantikan di hari lain, kecuali jika memang tidak bisa memungkinkan akan digantikan dengan dosen pengganti ataupun asisten dosen.



Metode penilaian di sana sangat obyektif, karena dipisahkannya fungsi pengajar dan fungsi kualifikasi. Dosen hanya mengisi tempat pada posisi pengajaran, pengampu mata kuliah, dan pembuatan soal. Tetapi untuk melakukan penilaian dilakukan dan diawasi oleh tim tersendiri. Dengan begitu mahasiswa tidak perlu khawatir untuk berekspresi, termasuk apabila hendak mengkritis cara mengajar dosen yang bersangkutan. Sekalipun demikian, seluruh pihak di kampus mendapatkan perlakuan yang wajar dan obyektif dari pihak perguruan tinggi.

Fasilitas perkuliahan dalam arti tampilan bisa dikatakan cukup kontras dengan kebanyakan fasilitas perkuliahan di Indonesia, terutama kampus-kampus di Pulau Jawa. Perguruan tinggi di India tidak terlalu mengutamakan tampilan, kecuali lebih berorientasi pada progress dan kualitas pendidikannya. Mereka masih menggunakan papan tulis dan kapur sebagai sarana pendukung belajar dan mengajar. Tidak ada yang disebut sarana presentasi seperti OHP (over head projector) di ruang kelas. Para dosen diharuskan untuk membuat sendiri sarana presentasi jika hendak digunakan di ruang kelas (untuk keperluan pengajaran). Sekalipun demikian, mereka pun menyediakan sarana internet yang sudah menjadi sarana standar dalam mendukung kegiatan pengajaran.

Fasilitas lain yang tidak kalah pentingnya dan menjadi standar tinggi di perguruan tinggi di India adalah fasiltias referensi (perpustakaan). Mereka memiliki koleksi buku yang cukup lengkap dalam edisi dwi bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa India. Pemerintah India begitu memperhatikan kebutuhan akan referensi yang berasal dari buku-buku berbahasa asing. Pemerintah India bekerjasama dengan pihak penerbit di luar negeri untuk menerbitkan ulang buku-buku tersebut ke dalam bahasa nasional India. Aspek pendukung lainnya seperti kertas diberikan subsidi, sehingga publikasi jurnal ataupun artikel ilmiah menjadi lebih mudah untuk diperluas bagi seluruh jurusan. Perguruan tinggi mengkoleksi jurnal ataupun artikel tersendiri ataupun publikasi dari perguruan tinggi lain, termasuk dalam bentuk koleksi digital maupun online.

Pada dosen di India diharuskan membuat sendiri buku panduan untuk keperluan pengajaran ataupun buku yang dipublikasikan untuk umum (international edition). Buku panduan pengajaran tersebut akan senantiasa mendapatkan revisi dan pengembangan ke dalam beberapa edisi ataupun cetakan. Mahasiswa tidak dipaksakan atau diharuskan untuk memiliki buku panduan mata kuliah tertentu, akan tetapi mereka diharuskan untuk memiliki sendiri buku panduan untuk nantinya dijadikan bahan diskusi di ruang kuliah. India termasuk salah satu negara yang bisa dikatakan cukup produktif menghasilkan karya ilmiah ke dalam bentuk jurnal, working paper, atau bentuk publikasi ilmiah lainnya.

Biaya Perkuliahan
Ada dua bentuk biaya perkuliahan untuk diinterpretasikan, yaitu biaya untuk penyelenggaraan aktivitas perkuliahan (termasuk biaya pendukung kuliah) dan biaya hidup (living cost). Sebagai catatan, rata-rata biaya hidup untuk tinggal di India sebenarnya tidak berselisih banyak dengan rata-rata biaya hidup di Indonesia. Harga makanan olahan maupun makanan mentah di India pun tidak banyak berbeda dengan Indonesia. Dalam hal biaya hidup, mahasiswa mungkin hanya cukup mengeluarkan ongkos untuk biaya makan dan biaya perlengkapan kebutuhan hidup lainnya. Jadi di sini kita hanya akan membahas mengeni ongkos perkuliahan, termasuk ongkos pendukung perkuliahan.

Besarnya ongkos kuliah berupa uang semester disesuaikan berdasarkan strata pendidikan (S1, S2, S3, magister, dan paska sarjana) dan jurusan. Mahasiswa asing dikenakan biaya yang sama dengan mahasiswa lokal. Sekalipun demikian, pembedaannya hanya terletak pada beasiswa. Berdasarkan dari penuturan narasumber, penulis akan memberikan gambaran biaya perkuliahan untuk kondisi di tahun 2006 di India.

Rata-rata ongkos per semester untuk mahasiswa S1 berada pada rentang antara Rp 60.000 hingga Rp 80.000 per semester. Jika saja diambil rujukan untuk bisa ditarik dengan inflasi di masa sekarang pun, biaya per semesternya tidak mengalami banyak perubahan. Inflasi di India relatif masih lebih rendah daripada di Indonesia. Di masa saya kuliah dulu, uang kuliah sekitar Rp 140.000 per semester di tahun 1994. Kemudian di tahun 2006 telah melonjak menjadi Rp 1.400.000 per semester. Bisa dibayangkan betapa tingginya kenaikan inflasi di negeri ini untuk bidang pendidikan. Adapun uang semester yang dibayarkan dan ditulis tadi berlaku untuk program non beasiswa dan sudah termasuk ke dalam uang mata kuliah.

Untuk program magister dan paska sarjana di India masih jauh lebih rendah biaya perkuliahannya dibandingkan di Indonesia. Disebutkan oleh pihak narasumber yang mengambil magister hukum bidang notariat menghabiskan total biaya semesteran mencapai Rp 4,8 juta (tahun 2004 untuk program non beasiswa). Bandingkan saja dengan program magister di Indonesia pada beberapa PTN bisa menembus di atas Rp 10 juta. Ongkosnya bisa jauh lebih murah apabila mengikuti program beasiswa.

Bagaimana dengan biaya pendukung perkuliahan?

Harga buku maupun perlengkapan tulis (stasioneri) relatif lebih murah untuk kalangan pelajar dan mahasiswa. Pemerintah India dalam hal ini memberikan insentif yang cukup besar untuk meringankan beban (ongkos) belajar dan mengajar di negeri mereka. Sebagai ilustrasi saja, salah satu narasumber menghabiskan sebesar Rp 440 ribu setiap semesternya. Ongkos tersebut untuk membeli sebanyak 5 buah buku panduan kuliah, 3 buah buku non perkuliahan, biaya berlangganan 3 majalan, 3 surat kabar, dan ongkos pembelian alat tulis. Besarnya kenaikan ongkos tersebut relatif lebih rendah untuk setiap tahunnya.

Mahasiswa di India diberikan kesempatan untuk mencari pendapatan dengan memanfaatkan
aktivitas perkuliahan di kampus. Misalnya saja mereka bisa bekerja kepada dosen untuk proyek penelitian. Pekerjaan lain di kampus yang bisa mereka isi dapat berupa membantu pihak kampus untuk melakukan administrasi ataupun kearsipan.

Bagi Anda yang mungkin tertarik atau berminat kuliah di India sebaiknya perlu diperhatikan kampus yang hendak dipilih. Tidak semua kampus di India menggunakan bahasa pengantar berupa bahasa Inggris, kecuali untuk kelas internasional. Sekalipun bahasa Inggris merupakan bahasa kedua mereka, tetapi kecintaan mereka terhadap bahasa lokal cukup tinggi. Beberapa kampus di India malah lebih membudayakan untuk menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa pengantar. Sebaiknya dipastikan pula, jika sekalipun murah, di sana hanyalah untuk mereka yang serius ingin disebut kuliah, karena budaya/kebiasaan kuliahnya sangat bertolak belakang dengan Indonesia.

0 comments:

Posting Komentar