Perlindungan dan pelestarian satwa liar merupakan bagian dari sikap dan gerakan moral dalam rangka mewujudkan pelestarian lingkungan. Sebagai bangsa yang dianugerahi keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia, bangsa Indonesia berkewajiban untuk menjaganya sebagai wujud rasa syukur. Mengapa mereka perlu untuk dijaga dan dilestarikan? Mengapa pula satwa liar tersebut begitu penting peranannya bagi umat manusia?
Tidak memberikan penjelasan atas pertanyaan mengenai pentingnya pelestarian satwa liar. Pertanyaan tersebut bukanlah semata pertanyaan mengenai ilmu pengetahuan, melainkan pertanyan mengenai moral. Penjelasannya pula tidak bisa hanya berhenti pada aspek pengetahuan, melainkan akan menjadi berarti jika diwujudkan ke dalam bentuk tindakan moral. Setiap individu memiliki tingkat penerimaan yang berbeda atas sesuatu yang menyangkut lingkungan sekitarnya. Di sinilah penulis mencoba untuk membentuk penjelasan sendiri yang sekaligus menjadi opini penulis terhadap segala upaya mengenai pelestarian satwa liar.
Pengalaman Pribadi
Pada tahun 1988, ketika mengunjungi kawasan Sungai Mahakam (Kalimantan Timur), penulis sempat melihat sekawanan ikan pesut (Orcaella brevirostris). Sejenis lumba-lumba air tawar yang mendiami kawasan hulu sungai Mahakam. Dalam periode yang tidak berjauhan, penulis sempat beberapa kali melihat seekor macan dahan (Neofelis nebulusa) di kawasan hutan lindung “Bukit Soeharto” di Kalimantan Timur. Kawasan hutan lindung ini pula yang sekaligus menjadi pusat konservasi dan perawatan orang utan (Pongo pygmaeus). Ironisnya, pada tahun 2006 lalu, penulis mendengar apabila kawanan pesut Mahakam semakin sulit ditemukan. Begitu pula dengan macan dahan.
Sekitar tahun 1998, penulis pernah menjumpai seekor beruang madu dan orang utan yang dipelihara oleh penduduk di satu perkampungan di Yogyakarta. Keduanya ternyata termasuk satwa liar yang dilindungi oleh undang-undang. Kondisinya sangat memprihatinkan. Mereka diberikan kandang yang sempit, serta tidak diberikan kesempatan untuk bersosialisasi secara terbuka. Penulis mengetahui penduduk setempat memeliharanya ketika kedua mamalia tersebut masih berusia belia. Semakin memprihatinkan, karena seiring dengan bertambahnya usia dan ukuran tubuh, mereka nyaris semakin sulit untuk bergerak. Penulis kemudian mencoba berkomunikasi dengan si pemilik hewan liar tadi, setelah satu waktu terlepas, lalu penulis membantu menangkap dan mengembalikan. Ternyata si pemilik pun resah, karena tindakannya termasuk kategori ilegal. Tetapi si pemilik kebingungan untuk mengambil tindakan. Akhirnya penulis menghubungi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sambil berharap mereka bisa meneruskan informasi ke pihak yang berwenang. Sekitar dua minggu kemudian, penulis mendapati kedua kandang tersebut sudah kosong. Menurut si pemilik, ada petugas dari Dinas Kehutanan yang mengambil mereka untuk selanjutnya dibawa ke pusat konservasi.
Sebenarnya masih banyak sekali satwa-satwa liar yang dipelihara secara ilegal di masyarakat. Pemeliharaan secara ilegal seringkali akan membuat mereka menjadi semakin rentan. Para pemiliknya seringkali hanya melakukan perawatan seadanya, seperti satwa peliharaan pada umumnya. Kebanyakan di antaranya memang bisa bertahan hidup di tengah lingkungan sosial manusia. Tetapi mereka akan menjadi sangat rentan, ketika lepas dari lingkungan sosial manusia. Misalnya saja seperti seekor uwak-uwak (sejenis kera asal Kalimantan) yang terlepas dari rantai pengikat ditemukan mati di pemukiman penduduk akibat kelaparan dan keracunan. Memang menyenangkan memelihara, ketika mereka masih kecil. Tetapi akan menjadi masalah besar ketika mereka tumbuh menjadi dewasa.
Mengapa Satwa Liar Perlu Dijaga dan Dilestarikan?
Jawaban atas pertanyaan tersebut sebenarnya merupakan bentuk penjelasan keilmuan yang berisikan bahasa sains sehubungan dengan rumpun ilmu pengetahuan alam. Tetapi bentuk penjelasannya tidak terbatas hanya pada aspek sains, melainkan bisa berdasarkan pendekatan moral ataupun norma tertentu yang berlaku. Cerita rakyat berupa legenda merupakan bentuk penjelasan mengenai nilai-nilai atau norma yang berlaku di daerah setempat. Adapula yang menggunakan bentuk pendekatan hukum. Apapun jawabannya akan bermuara pada satu pandangan yang sama, yaitu mewujudkan keseimbangan alam dengan mengikuti harmoni atau keselarasan bagi seluruh makhluk hidup.
Pada prinsipnya, manusia merupakan elemen yang menjadi bagian utuh dari sebuah semesta yang disebut lingkungan hidup. Ada sebanyak 4 elemen penting yang sangat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan alam, yaitu elemen air, tanah, udara, dan api. Hutan merupakan penyedian oksigen dunia yang nantinya akan membentuk lapisan ozon yang melindungi Bumi dari radiasi berbahaya sinar matahari. Selain sebagai produsen oksigen, hutan memiliki peran penting untuk menjaga suplai air tanah maupun air di permukaan (sungai ataupun danau). Dalam hal ini, hutan bukanlah suatu elemental yang berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari seluruh elemen di dalam lingkungan ataupun ekosistem. Mereka akan saling kait-mengkait dan hidup saling berdampingan satu dengan yang lainnya ke dalam suatu sistem ketergantungan melalui rantai makanan.
Sayangnya, tidak semua jenis hutan mampu menjadikan dirinya sebagai pensuplai oksigen dan penopang lapisan ozon. Hanya hutan yang tergolong hutan alami atau hutan purba yang secara khas mampu mensuplai oksigen ke lapisan ozon untuk didistribusikan ke seluruh permukaan Bumi. Pada tahun 1980an, ada dua kawasan (negara) yang menjadi produsen oksigen dunia, yaitu hutan Amazonia (Brasil) dan hutan di Kalimantan dan Papua (Indonesia). Memasuki dekade 1990an, WWF melaporkan apabila hutan Amazonia sudah musnah digantikan hutan buatan. Otomatis ketika itu hanya tersisa Indonesia yang menjadi satu-satunya produsen oksigen di dunia. Ciri khas dari hutan purba memiliki diameter yang mencapai lebih dari 3 meter dengan tinggi yang bisa setara dengan gedung berlantai 6.
Satwa maupun tumbuhan liar di dalam hutan atau disekitarnya termasuk elemental yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan alam. Ular Sanca Hijau (Chondropython viridis) yang hidup di belantara Papua punya peran menjaga keseimbangan populasi hewan-hewan kecil di dalam hutan. Jika tidak seimbang, maka hewan-hewan tersebut akan menghabiskan sumber makanan hewan-hewan lainnya. Keberadaan mereka satwa maupun tumbuhan liar berada dalam satu garis yang sama disebut rantai makanan. Keseluruhan keterkaitan antar makhluk hidup tadi akan membentuk ekosistem yang berwujud lingkungan hidup yang akan didiami oleh umat manusia. Jika saja rantai makanan tadi terganggu, maka akan berpotensi mengganggu keseimbangan alam. Seekor reptil berukuran ujung jari manusia mungkin terlihat sederhana, tetapi keberadaannya akan sangat menentukan keseimbangan ekosistem di sekitarnya.
Kasus keseimbangan ekosistem yang kemudian berdampak pada perusakan lingkungan sudah berulangkali terjadi. Salah satu bukti yang nyata adalah tragedi di Taman Nasional Coyote (Amerika Serikat). Atas restu federal, pemerintah negara bagian mengeluarkan perintah untuk menghabisi kawanan serigala yang bermukim di TN Coyote. Aksi perburuan besar-besaran pun berlangsung cukup lama dan baru berakhir di tahun 1940. Akibatnya sangat fatal, karena selama hampir 50 tahun lamanya telah terjadi perubahan drastis yang tidak diinginkan di TN Coyote. Padang rumput semakin sulit ditemukan, sehingga kondisinya mirip dengan kawasan bekas kebakaran. Hutan di taman nasional ditemukan banyak yang layu atau tidak sehijau yang sebelumnya. Sungai-sungai kecil mulai sering ditemukan mengering di beberapa tempat. Akhirnya pada tahun 1990an, pemerintah federal mengeluarkan upaya pencarian kembali serigala liar yang masih tersisa untuk diselamatkan dan dikembangbiakkan. Cukup beruntung, karena serigala Coyote termasuk yang paling tahan terhadap perubahan lingkungan. Dalam waktu kurang dari 10 tahun kemudian mulai tampak perubahan di taman nasional. Inilah salah satu bukti pentingnya menjaga kelestarian satwa liar ataupun tetumbuhan di dalamnya sebagai bagian untuk menjaga ekosistem dan lingkungan.
Begitu pula dengan satwa-satwa liar di Indonesia merupakan bagian dari elemental untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Filosofi dari negeri China menyebutkan terbentuknya keseimbangan yang berasal dari 4 unsur utama, yaitu udara, air, tanah, dan api. Filosofi tersebut sebenarnya dapat pula ditafsirkan sebagai bentuk sumber terciptanya keseimbangan ekosistem yang akan menghasilkan elemen-elemen kehidupan. Kepercayaan-kepercayaan kuno sengaja dibangun untuk memberikan penghargaan atas keseimbangan alam, serta menjadi pesan bagi generasi berikutnya untuk turut menjaga dan melestarikannya. Manusia dengan superioritasnya merupakan spesies dan elemental yang paling penting untuk menjaga keseimbangan alam.
Bukan Memilih Kenaifan, Tetapi Kearifan
Penulis hendak mengajak pembaca untuk melihat suatu ilustrasi yang sebenarnya menjadi dilema sikap manusia terhadap lingkungan hidup. Suatu kawasan alami yang kaya akan keanekaragaman hayati kemudian ditemukan memiliki kandungan mineral yang cukup tinggi. Bukan hanya jenis mineral yang memiliki nilai ekonomi tinggi, tetapi depositnya pun cukup besar. Jika dilakukan penambangan, maka akan mengorbankan kekayaan hayati di dalamnya. Namun, permintaan dunia akan kandungan mineralnya sangat tinggi, sehingga akan cukup mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut. Manakah sikap yang akan dipilih?
Jika melihat kasus dan paradigma pembangunan (developmentalism) yang diterapkan di negara-negara berkembang dan dunia ketiga, hampir bisa dipastikan akan memilih untuk mengorbankan kekayaan hayati demi meningkatkan kesejahteraan. Apalagi jika kandungan kekayaan alam yang dimaksud memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi untuk diperdagangkan. Dalam waktu singkat, kawasan tadi akan mampu meningkatkan kesejahteraannya. Pusat-pusat pertumbuhan pun bermunculan di seluruh kawasan menjadikannya sebagai negara ekonomi baru. Kerusakan lingkungan tidak lagi pernah diperbincangkan, karena tergantinkan oleh munculnya proyek-proyek kesejahteraan. Hingar bingar perekonomian terus tumbuh di kawasan tersebut hingga mencapai waktu 2 generasi. Kawasan tersebut akhirnya menjadi kawasan yang sangat tergantung dengan hasil sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui kembali.
Apakah terpikirkan yang terjadi selanjutnya apabila kekayaan mineral, hasil tambang, minyak, dan gas bumi akan habis?
Ada dua bentuk kerugian yang diperoleh masyarakat yang secara naif mengorbankan kekayaan hayatinya. Pertama, mereka telah kehilangan kekayaan sumber daya alam yang sangat penting dan dibutuhkan oleh banyak manusia di luar kawasan tersebut. Kedua, mereka tidak lagi punya kesempatan untuk mengembalikan kekayaan hayati yang sudah dikorbankan (musnah/punah). Keturunan mereka di masa yang akan datang tidak akan pernah bisa menyaksikan dan turut memiliki kekayaan hayati yang pernah dianugerahkan di tanah kelahirannya. Identitas diri yang menjadi khas daerah tersebut sudah hilang, sehingga tidak ada sesuatu yang menarik lagi, kecuali hanya bergantung pada kekayaan alam mineral yang sudah habis. Pada akhirnya, mereka harus bersaing keras dengan kawasan-kawasan lain yang sudah lebih dulu mencapai taraf kemakmuran tinggi. Akhir cerita yang kurang menyenangkan, karena hanya akan diisi dengan kemiskinan dan kemerosotan moral.
Negara Bahama dengan kepulauannya menandai dirinya dengan karakter khas ekosistem dan lingkungan hidup. Masyarakat di negara ini sangat bergantung sekali dengan keseimbangan ekosistem sebagai sumber mata pencaharian utama. Jutaan turis manca negara dan puluhan kapal pesiar selalu hadir di kawasan perairan dan kepulauan Bahama. Jutaan dolar mengalir setiap harinya hanya dari aktivitas wisata alam. Negara Bahama tidak memiliki kekayaan sumber daya alam seperti mineral, pertambangan, minyak ataupun gas alam. Mereka sepenuhnya hanya bergantung pada taman nasional dan taman laut yang menjadi ciri khas negara tersebut. Padahal, Indonesia memiliki lebih banyak kawasan yang mirip seperti Bahama. Indonesia pula memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang paling besar di dunia.
Tidak semua satwa liar di negeri ini mampu bertahan hidup di lingkungan buatan. Sebagian besar di antaranya justru sangat rentan dan tergantung dengan habitat asalnya. Satwa liar akan tetap menjadi binatang liar di manapun mereka hidup dalam sistem sosial manusia. Mereka satwa liar bisa menjadi identitas nasional, seperti halnya kebudayaan dan adat istiadat yang menjadi ciri khas dari suatu wilayah (negara). Kearifan dalam kehidupan tidaklah begitu saja menerima paradigma usang tentang pembangunan. Kita bukan hidup untuk hanya hari ini atau masa kita sekarang, melainkan untuk masa mendatang dan untuk keturunan dan generasi selanjutnya.
Pendekatan Religius
Sebagai umat beragama yang kebetulan beragama Islam, penulis mencoba untuk menelusuri berbagai sumber yang menjelaskan sikap moral atas pelestarian satwa liar. Perlunya pendekatan religius, karena Indonesia merupakan negara yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia. Penulis patut bersyukur bisa menemukan beberapa cuplikan penjelasan mengenai pelestarian satwa liar dengan pendekatan religius. Salah satu sumber yang penulis ingat adalah hadist Rasul yang dituliskan sebagai berikut:
“Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Ketika seorang laki-laki berjalan ia mengalami dahaga yang sangat luar biasa. Lalu ia turun ke dalam sumur, minum airnya, lalu naik keluar. Tiba-tiba ia dapati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya karena kehausan. Ia berkata (dalam hati): anjing ini telah kehausan seperti kehausan yang aku alami. Lalu ia kembali turun ke dalam sumur, ia penuhi sepatunya dengan air, ia pegang dengan mulutnya, lalu diberikan minum untuk anjing itu. Allah membalasnya dan mengampuni dosanya. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah apakah kita mendapatkan pahala dari hewan-hewan ternak kita? Jawab Nabi: Dalam setiap hati yang basah terdapat pahala”
(HR Al Bukhari)
Suatu kejadian yang sangat sederhana tentang suatu kasih sayang kepada sesama makhluk ciptaan Allah Swt. Apapun makhluk tersebut, bahkan seekor anjing sekalipun, bahwa Allah Swt sangat menyukai perbuatan kasih sayang sesama makhluk dan sikap yang bisa menghargai suatu kehidupan. Seekor anjing bisa dianalogkan sebagai seekor satwa. Dalam kejadian tersebut dikisahkan anjing tersebut tengah kehausan, serta membutuhkan pertolongan (air). Kejadian tersebut dapat diilustrasikan sebagai satwa liar yang terancam kepunahan atau berada dalam ambang bahaya kelestariannya (endangered). Air yang digunakan untuk memberikan minum seekor anjing dapat diilustrasikan sebagai sikap moral untuk memberikan perlindungan dan menjaga kelestariannya.
Beberapa hadist berikut ini memberikan pesan moral pula mengenai larangan untuk berbuat keji terhadap satwa.
“Ketika Rasulullah melihat orang-orang menjadikan burung sebagai sasaran anak panah, beliau bersabda: Allah melaknat siapa saja yang menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai sasaran”
(Diriwayatkan Abu Daud dengan sanad shahih)
Pembaca mungkin masih ingat dengan kejadian pembantaian orang utan di Kalimantan Timur dan beberapa lokasi konservasi alam lain oleh perusahaan pengelola perkebunan kelapa sawit. Perbuatan keji tersebut dilakukan pula oleh satwa-satwa liar di sejumlah daerah. Organ tubuhnya akan dijual atau diperdagangkan dengan harga tinggi. Beberapa hewan tersebut malah ditangkap hidup-hidup untuk dikirim ke retoran penjual daging satwa liar. Jika menemukan anaknya, biasanya anak satwa tersebut pun akan dijual dengan harga yang cukup tinggi di pasaran gelap (illegal market). Dari hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud terpapar dengan jelas, apabila Allah Swt melaknat perbuatan keji atas satwa-satwa liar, dan sesungguhnya Alla Swt adalah Maha Pembalas.
Rasulullah Saw menganjurkan umatnya dengan melarang untuk menahan (menangkap) hewan untuk keperluan apapun. Adapun sabda Rasulullah dituliskan sebagai berikut:
“Barangsiapa yang menyakiti ini (burung) dengan anaknya; kembalikan anaknya padanya”
(Diriwayatkan Muslim)
Sabda Rasulullah Saw tersebut muncul, setelah beliau melihat burung yang terbang mencari anak-anaknya yang diambil oleh salah seorang sahabat dari sarangnya. Kejadian yang dijumpai oleh Rasulullah sangat mirip dengan kejadian perburuan satwa-satwa liar yang dilindungi dan rawan kepunahan. Para pemburu akan lebih menyukai mencari induk satwa liar yang biasanya tidak berjauhan dari anak-anaknya. Satu manfaat, si induk bisa diperjualbelikan untuk diambil organ-organ tubuhnya, kemudian manfaat lain diperoleh dengan menjual anak-anak satwa liar tadi. Tentu saja perbuatan tersebut bukan dimaksudkan untuk memberikan manfaat, melainkan demi mendapatkan keserakahan semata. Harga hati seekor Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) bisa dihargai dengan nilai lebih dari 3 kali lipat harga emas. Tentu tidak seberapa pendapatan yang mereka peroleh dari menjual hati seekor kambing atau sapi. Anak-anak beruang madu misalnya akan dihargai jauh lebih tinggi, ketimbang menjual anak-anak kucing atau hewan peliharaan lain.
20 Juli 2012
PENTINGNYA PELESTARIAN SATWA LIAR: PENDEKATAN SAINS DAN RELIGIUS
22.23
Leo Kusuma
1 comments:
Terimakasih atas penjelasan nya 👍😊
Posting Komentar