16 Desember 2008

HARGA BBM TURUN LAGI: Kajian Kritis Terhadap Manajemen Energi Pemerintah

Bicara soal popularitas, keputusan untuk menurunkan kembali harga premium yang selanjutnya diikuti dengan penurunan harga solar adalah sesuatu yang patut untuk dipertanyakan. Bukan karena kita tidak terbiasa dengan kebiijakan untuk menurunkan harga, akan tetapi ada beberapa kejanggalan yang perlu dicermati di sini. Ketika harga BBM turun pada awal Desember 2008, pemerintah mengumumkan rencananya pada bulan Oktober 2008. Kemudian harga BBM untuk premium dan solar turun pada tanggal 15 Desember 2008 di mana pemerintah mengumumkan rencananya kurang dari 1 minggu. Di sini kita akan mencoba membuat suatu penilaian terhadap cara pemerintah mengambil kebijakan dan melaksanakannya.

Tekanan Politik
Faktor politik tentunya tidak dapat dihindarkan lagi bagi pemerintah yang berkuasa untuk mengambil suatu kebijakan yang dapat menyelamatkan reputasi politiknya. Setelah harga premium turun dari Rp 6.000/liter menjadi Rp 5.500/liter, kalangan di DPR menilai jika pemerintah semestinya bisa menurunkan lagi harga BBM untuk premium hingga di bawah Rp 5.000/liter. Sebelumnya, pakar migas Indonesia Kurtubi sudah melakukan perhitungan terhadap harga premium yang relevan dapat diturunkan di mana angka perhitungannya juga di bawah Rp 5.000/liter. Sikap anggota dewan selanjutnya diekspos oleh berbagai media cetak ataupun elektronik mengenai harga BBM yang realistis dapat diturunkan oleh pemerintah. Tentunya publikasi ini akan semakin menekan popularitas politik pemerintah (SBY-Kalla).

Belum lama setelah harga premium resmi diturunkan, terjadi kelangkaan gas elpiji di sebagian besar daerah terutama di Propinsi Jawa Barat. Kinerja pemerintah paling banyak disorot di kasus ini karena pemerintah dianggap tidak dapat memberikan jawaban yang diinginkan oleh masyarakat. Sebut saja pihak YLKI menilai pemerintah tidak siap dengan rencana kebijakannya sendiri untuk melaksanakan konversi energi. Kasus kelangkaan elpiji dan minyak tanah semakin membuka sikap kritis dari lawan-lawan politiknya dengan mengkaitkan kinerja pemerintah terhadap upaya politik (kampanye) di tahun 2009. Kekhawatiran muncul karena sikap dari lawan-lawan politik ini semakin mudah untuk diterima atau diserap oleh masyarakat sehingga beresiko akan menjatuhkan popularitas politik di tahun 2009. Pemerintah (SBY-Kalla) tidak memiliki banyak pilihan kecuali mengambil langkah untuk menyelamatkan popularitas politiknya sendiri.

Dugaan mengenai adanya tekanan politik semakin kuat setelah Ketua DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum memberikan pernyataan jika penurunan harga BBM bukan kampanye atau mendongkrak popularitas SBY (DetikCom, 14 Desember 2008). Pihak Partai Demokrat yang mengusung SBY sebagai capres pada tahun 2004 lalu dan sekaligus pendukung nomor satu SBY berupaya untuk menegaskan popularitas dan citra SBY sebagai capres di tahun 2009 nanti. Tentunya Partai Demokrat di sini akan menggunakan kebijakan SBY yang menurunkan harga premium hingga dua kali dan solar untuk pertama kali sebagai slogan untuk pra kampanye capres.

Buruknya Manajemen Energi dari Pemerintah
Semula pemerintah berniat akan menurunkan lagi harga premium dan ditambah menurunkan harga solar pada bulan Januari 2009 nanti. Di luar kebiasaan manajemen pemerintah, harga premium diturunkan lagi setelah dua minggu sebelumnya sudah diturunkan. Apalagi kali ini ditambahkan dengan menurunkan harga solar. Dalam situasi mendadak seperti ini, perlu kembali dipertanyakan bagaimana cara kerja dan pola manajemen energi yang dilakukan oleh pemerintah. Ketika menurunkan harga premium di awal bulan Desember 2008, pihak pemerintah sesungguhnya dapat langsung menurunkan menjadi Rp 5.000/liter ditambahkan dengan menurunkan harga solar. Dalam dua minggu ada selisih Rp 500/liter untuk harga premium. Jika dikalikan dengan banyaknya premium yang terjual, bisa dibayangkan seberapa besar pemerintah mendapatkan keuntungan dari selisih harga tadi.

Bisa jadi jika harga premium Rp 5.000/liter adalah harga untuk opsi kedua. Dalam rapat dengar pendapat antara Dirjen Migas dan DPR tanggal 10 Desember 2008, pemerintah mengakui apabila harga premium bisa diturunkan hingga Rp 4.830/liter. Sementara itu, hasil perhitungan dari DPR sendiri untuk harga premium bisa di bawah Rp 4.000/liter (DetikCom, 15 Desember 2008). Dalam hal ini, pemerintah mencoba untuk tetap mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari rakyatnya sendiri dengan menjalankan opsi harga bertingkat. Jika pilihan harga pertama tidak memungkinkan atau ditolak, maka masih ada rencana harga kedua. Permasalahannya sekarang ini yang sama sekali tidak disorot oleh DPR adalah pertanggungjawaban dari selisih harga dari Rp 5.500/liter menjadi Rp 5.000/liter. Cara pemerintah dalam mengelola atau memanajemen harga inilah yang sesungguhnya perlu mendapat sorotan kritis dari kalangan DPR. Jika selisih harga tadi tidak bisa dijelaskan, maka dapat diambil kesimpulan apabila pemerintah tidak becus dalam mengelola energi sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat.




0 comments:

Posting Komentar