08 Desember 2008

PEMBAGIAN DAGING KURBAN RUSUH – MORAL SEMAKIN MISKIN?

Sudah sejak beberapa tahun terakhir ini, konsentrasi masa yang isi pembagian jatah selalu diwarnai keributan atau ricuh. Mulai dari pembagian jatah BLT, pembagian zakat, dan terakhir ini pembagian zakat kurban. Di Bandung, Jawa Barat, mereka yang mendapatkan jatah kurban bahkan menjual kembali jatah kurbannya. Di beberapa tempat di Jawa Timur, pembagian zakat kurban sempat meminta korban nyawa. Ini terutama sejak insiden pembagian zakat fitrah oleh Haji Syaikon tanggal 15 September 2008 lalu. Suatu pemandangan yang sesungguhnya sangat jauh berbeda sebelum SBY-Kalla memimpin negeri ini. Sekalipun kemiskinan di masa pemerintahan Soekarno masih jauh lebih buruk, akan tetapi tidak seburuk gambaran kemiskinan seperti sekarang ini. Di sini saya tidak berbicara ataupun membahas soal angka statistik ataupun definisi, tapi aspek moralitas di negeri ini yang sudah semakin menurun.

Kericuhan seperti pada kejadian pembagian zakat ataupun daging kurban dan sejenisnya seharusnya dikarenakan adanya kesemerawutan pengaturan dalam penyalurannya. Penyebab lain, karena memang sudah terlalu miskin sehingga sudah sulit untuk mengendalikan diri. Kita bisa melihat bagaimana ricuhnya penyaluran bantuan internasional di negera-negara miskin di Afrika pada dekade 1980an. Secara fisik, mereka ketika itu memang sangat miskin akibat kondisi perang dan perebutan kekuasaan. Dalam kondisi miskin seperti ini, sikap moral sudah bukan lagi diutamakan sebagai sikap, akan tetapi hanyalah sebagai pilihan. Sayangnya mereka masyarakat miski di Afrika di dekade 1980an memang tidak lagi memiliki banyak pilihan kecuali harus berebut bantuan.

Indonesia pun pernah mengalami kejadian serupa sejak era pemerintahan Soekarno hingga sekarang ini paska reformasi. Terakhirkali sebelum memasuki abad milenium, antrian sembako terjadi pada tahun 1998 bertepatan dengan krisis moneter internasional. Suasana antrian sembako ketika itu hamir tidak berbeda dengan antrian sembako ketika di era pemerintahan Soekarno. Antrian sembako beberapa tahun terakhir ini sesungguhnya tidak bisa disamakan dengan suasana ketika di era sebelum tahun 2000. Tidak hanya antrian sembako, akan tetapi diikuti pula dengan antrian minyak tanah dan BBM. Permasalahannya kemudian antrian kebutuhan pokok sekarang ini sudah mulai menghitung antrian moral. Jika seseorang sudah menganggap dirinya terlalu miskin, tidak tertutup kemungkinan akan mendorong seseorang tersebut untuk mengesampingkan aspek moral demi mengutamakan terpenuhinya kebutuhan pokok.

Masyarakat sekarang ini sudah tidak lagi malu untuk mengakui dirinya miskin. Tidak sedikit dari mereka yang mengesampingkan harga diri hanya untuk mendapatkan akses pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam kondisi seperti ini, sesuatu yang disebut dengan moral ataupun hati nurani hanyalah sebagai simbol, bukan sebagai sesuatu yang melekat pada diri seseorang. Kebutuhan pokok di sini bukan lagi menjadi ukuran perbuatan, akan tetapi yang menjadi ukuran adalah kebutuhan hidup. Sesuatu yang sesungguhnya jauh lebih berbahaya ketimbang apa yang disebut kemiskinan.

Semenjak pemerintah SBY-Kalla mengeluarkan kebijakan pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT), pemandangan kemiskinan moral mulai terlihat di setiap kejadian pembagian bantuan ataupun pembelian bahan-bahan kebutuhan pokok. Besarnya nominal bantuan yang dibagikan mendorong masyarakat mencari kesempatan dan mengambil celah untuk mendapatkan kartu keluarga miskin (Gakin). Mereka tidak lagi malu mengakui dirinya miskin selama dari pengakuan tersebut didapatkan kompensasi yang sebanding. Kita masih ingat bagaimana masyarakat rela melakukan antrian beras murah (raskin) yang kemudian dijual kembali untuk mendapatkan uang. Ini pula yang terjadi pada antrian pembagian daging kurban yang dijual kembali untuk mendapatkan uang tunai. Kebutuhan uang tunai bukan sekedar untuk menutupi lebih dari sekedar kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan hidup. Sementara itu, urgensi dari kebutuhan hidup adalah lebih utama ketimbang kebutuhan pokok.

Krisis moral tidak semata menjadi persoalan bagi pemerintah. Sudah saatnya seluruh komponen bangsa di negeri ini ambil bagian untuk turut mengentaskannya. Cukuplah hanya dengan perbuatan kecil, yaitu tidak mengumbar gaya hidup yang tidak perlu. Konsumerisme bisa dibenarkan sejauh tidak mengeksploitasi gaya hidup (hedonisme). Tidak perlu berhitung seberapa banyak mereka yang mau melaksanakan. Jika satu orang saja sudah mau melaksanakan, niscaya sudah cukup untuk menahan kejatuhan moral yang lebih dalam lagi.

Penulis

0 comments:

Posting Komentar