Saya sesungguhnya agak malas untuk membahas soal intelejen. Bagi saya, dunia intelejen seperti dunia khayal secara fisik, akan tetapi nyata hasilnya. Belum lama media cetak dan elektronik mulai ramai membicarakan nama Bpk. Adam Malik. Salah satu jurnalis, Tim Weiner dalam bukunya yang berjudul “Legacy of Ashes: History of CIA” menuliskan nama Adam Malik sebagai seorang yang direkrut dan dikendalikan oleh CIA. Saya sendiri belum membaca bukunya, sekalipun di Indonesia sudah beredar dalam edisi dwi bahasa. Hanya beberapa kalimat, atau mungkin beberapa baris kalimat sudah membuat sekelompok orang di negeri ini seperti ada bencana besar. Saya sendiri baru menyadari jika betapa bodohnya masyarakat di negeri ini. Mereka menggugat seorang yang mendedikasikan dirinya pada bidang spionase (khususnya tentang CIA) yang sekaligus peraih penghargaan Pulitzer. Ketimbang ambil pusing mencari kebenaran tentang Adam Malik, saya lebih tertarik untuk mengetahui latar belakang penulisnya sendiri, Tim Weiner.
Di negerinya, nama Tim Weiner ternyata tidak seheboh di Indonesia. Latar belakang tentang penulis juga tidak banyak yang mengulas, sekalipun bukunya yang kontroversi (di Indonesia) sempat memenangkan hadiah Pulitzer tahun 2007. Penelusuran tokoh lewat Wikipedia pun tidak ditemuka, termasuk melalui situs profil tokoh dunia. Nama Tim Weiner bahkan masih jauh di bawah populer ketimbang penulis buku anak-anak, Harry Potter. Padahal, Tim sendiri pernah beberapa kali masuk ke acara perbincangan di televisi lokal membahas mengenai penghargaan Pulitzer 2007. Dari sini bisa diperoleh gambaran jika sosok Tim Weiner bukanlah tergolong figur yang populer.
Soal popularitas seorang penulis buku sesungguhnya berbeda antara penulis buku fiksi dan non-fiksi. Buku non-fiksi umumnya tidak hanya menaikkan popularitas buku yang ditulis, akan tetapi juga penulisnya. Lain halnya dengan buku-buku jenis non-fiksi yang umumnya lebih populer bukunya ketimbang penulisnya. Buku-buku fiksi bisa diterima di hampir semua kalangan ataupun latar belakang sosial. Berbeda dengan buku-buku jenis non-fiksi yang umumnya hanya bisa diterima di kelompok/kalangan tertentu. Lagipula, Tim Weiner baru mulai banyak dibicarakan pada tahun 2007 ketika beliau memenangkan hadiah Pulitzer.
Jika dikatakan kontroversi, tidak demikian halnya yang terjadi di negara-negara lain, terutama di Amerika sendiri. Kontroversi adalah salah satu faktor penting yang bisa mendongkrak popularitas. Hadiah Pulitzer tidak akan diberikan kepada karya masih memiliki kontroversi, baik sumber penulisan, referensi, narasumber, ataupun bukti-bukti kongkrit. Jika bukunya (yang kontroversi di Indonesia) mendapatkan cukup banyak penghargaan, itu karena buku tersebut telah melewati berbagai saringan berupa kritik, pengkajian, dan perdebatan keras. Jangan lupa, institusi yang melakukannya tidak hanya institusi formal seperti akademisi, pakar/ahli, ataupun lembaga pengkajian, akan tetapi juga institusi non-formal yang jumlah bisa mencapai ribuan. Sayangnya, bacaan ataupun informasi bidang kontra-spionasi atau intelejen kurang diminati ketimbang tulisan/reportase tentang observasi lingkungan. Weiner melakukan observasi di lingkup yang kurang banyak dimengerti oleh masyarakat umum, atau hanya dimengerti oleh kalangan terbatas. Cerita spionase atau dunia intelejen hanya menarik apabila menjadi sebuah cerita hiburan, bukan sebagai bahan pengkajian atau referensi umum.
Tim Weiner adalah seorang jurnalis, sekaligus reporter di harian terkenal di Amerika, yaitu The New York Times. Beliau secara khusus mendedikasi tulisannya pada bidang intelejen terutama di program rahasia keamanan nasional (secret national security programs), salah satunya adalah organisasi CIA (Central Intelegent Agency). Selama 20 tahun, Tim Weiner bekerja untuk mengumpulkan referensi ataupun catatan yang berkaitan dengan operasi CIA di seluruh dunia. Tim Weiner sendiri bahkan melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia untuk menemukan bukti operasi CIA, termasuk salah satunya perjalanan beliau ke Afganistan. Dari jerih payahnya itu, Tim Weiner kemudian mendapatkan penghargaan Pulitzer (Bidang Reportase Nasional) pada tahun 1988 atas seri reportasenya mengenai Dana Rahasia Pentagon yang oleh Pemerintah AS digunakan untuk mendukung program pertahanan dan riset militer (Secret Pentagon Budget, Philadelphia Inquirer, 1988). Dana rahasia ini tidak pernah dirilis atau diketahui oleh masyarakat Amerika selaku pembayar pajak. Salah satunya adalah proyek Area 51 yang menghebohkan dan masih misterius.
Usaha Membongkar CIA
Sudah sejak lama, CIA menjadi sorotan publik Amerika. Institusi pemerintah ini dinilai terlalu boros menghabiskan anggaran. Dengan menggunakan alasan keamanan nasional, CIA tidak pernah melewati audit anggaran. Alokasi anggaran pemerintah untuk membiayai operasi CIA juga dirahasiakan dari publik. Masih lebih baik pemborosan anggaran pemerintah untuk membiayai proyek antariksa (NASA), ketimbang membiayai organisasi yang tertutup oleh publik. Anehnya, sekalipun menghabiskan dana yang cukup besar, akan tetapi tidak ada sedikit pun laporan kegiatan dari CIA yang bisa diketahui oleh umum. Anggota kongres pun tidak pernah diberikan ijin untuk melewati gerbang koridor dalam gedung CIA. Sementara itu, selaku pembayar pajak, warga Amerika memiliki hak untuk mengetahui penggunaan pajak oleh pemerintah.
Baru sekitar tahun 2002, kongres Amerika Serikat menindaklanjuti amandemen Freedom of Information Act (FOIA) pada tahun 1974 yang diperluas pada tingkat organisasi intelejen yang selanjutnya disebut The Intelegent Authorization Act of 2002. Menurut amandemen FOIA yang diperluas ini, pihak pemerintah diharuskan untuk membuka semua informasi dalam bentuk laporan tertulis, rekaman, barang bukti, ataupun catatan-catatan bentuk lain kepada publik (masyarakat Amerika). Salah satu institusi yang terkena imbas dari amandemen FOIA itu adalah CIA. Institusi intelejen milik pemerintah Amerika ini diharuskan untuk membuka arsip-arsip, termasuk laporan kegiatan intelejen kepada masyarakat. Tentunya, arsip-arsip yang boleh dilihat hanyalah arsip-arsip lama atau arsip yang sudah dinyatakan selesai (closed reports). Dari Amandemen FOIA inilah selanjutnya Tim Weiner memanfaatkan untuk memperkuat dan sekaligus mendukung temuan-temuan yang dimiliki olehnya.
Mengenai Indonesia, Tim Weiner mendapatkan referensi yang terutama berasal dari dokumen-dokumen CIA (dengan menggunakan FOIA). Tentunya, dokumen-dokument tadi tidak diserap mentah-mentah, akan tetapi oleh Weiner dilakukan pengkajian ulang dan pengecekan silang (cross check). Jika disebutkan Adam Malik direkrut dan dikendalikan, maka pernyataan itu bukanlah dari pendapat ataupun analisa Tim Weiner, akan tetapi berdasarkan narasumbernya sendiri, yaitu kutipan dari pernyataan salah satu pejabat tinggi CIA, Clyde McAvoy (didasarkan wawancara langsung pada tahun 2005). Sebagai seorang pemenang Pulitzer, tentunya pula Tim Weiner tidak serta merta bertanya dan menerima pernyataan dari McAvoy begitu saja. Beliau tentunya tahu jika kesalahan dalam melakukan pengecekan silang ataupun pengujian data akan berakibat adanya kontroversi. Jika ini terjadi dan di sini Tim Weiner tidak bisa membuktikan berdasarkan data-data yang dimilikinya, tentunya akan berpengaruh pada reputasi Pulitzer yang pernah diraihnya pada tahun 1988.
Tentang "Legacy of Ashes" di Indonesia
Dua puluh tahun lamanya, Tim Weiner berkelana di dunia jurnalistik hanya untuk menyingkap informasi yang selama ini selalu dirahasiakan dari publik Amerika. Dimulai dari petualangannya menyingkap dana rahasia Pentagon (Black Budget), hingga membuka tabir operasi rahasia CIA. Sejak institusi pemerintah ini dibentuk pada tahun 18 September 1947, baru pada tahun 2002 membuka diri kepada publik Amerika. Itu pun harus melalui tekanan kongres mengamandemen FOIA 2002. Sejatinya, Tim Weiner hanya melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara untuk menyingkap penyimpangan kekuasaan melalui laporan-laporan rahasia. Apakah di Indonesia ada yang berani melakukan seperti yang dilakukan oleh Tim Weiner?
Satu hal lagi mengeni penerbit buku, yaitu Doubleday. Penerbitan ini pertama kali didirikan pada tahun 1897 yang sebelumnya bernama Doubleday & McClure Company. Pada tahun 1988, perusahaan ini kemudian dibeli oleh Dell Publishing Group yang selanjutnya berganti nama menjadi Random House pada tahun 1998. Dibawah naungan Random House, Doubleday Publishing Group menjadi salah satu penerbit kaliber dunia. Tentunya, reputasi Tim Weiner sebagai pemenang Pulitzer (1988) tidak sedikit pun akan mengurangi obyektivitas tim editor untuk menerima tulisan ataupun ide dari Tim Weiner sendiri. Sedikit saja ada kontroversi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, tentunya akan merugikan nama baik (reputasi) Doubleday Publishing Group.
Referensi
The Philadelphia Inquirer, 1988, “Secret Pentagon Budget (Black Budget)”. Tim Weiner.
The Pulitzer Prizes, “1988 Winners and Finalists”
US Department of Justice, 2002, “FOIA Amended by Intelligence Authorization Act” (link)
Weiner, Tim, 2007, “Legacy of Ashes: History of CIA”, Official Web (link)
04 Desember 2008
SIAPAKAH TIM WEINER? (Mengenal Terlebih Dahulu Sosok Penulis Buku Tentang CIA)
08.53
Anonim
0 comments:
Posting Komentar