Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama kali mengenal tata kelola administrasi. Pada kebanyakan kasus korupsi yang dipublikasikan media, seringkali perbuatan korupsi tidak lepas dari kekuasaan, birokrasi, ataupun pemerintahan. Korupsi juga sering dikatikan pemaknaannya dengan politik. Sekalipun sudah dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hukum/kriminal, pengertian korupsi dipisahkan dari bentuk pelanggaran hukum lainnya. Selain mengkaitkan korupsi dengan politik, korupsi juga dikatikan dengan perekonomian, kebijakan publik, internasional, kesejahteraan sosial, dan pembangunan nasional. Begitu luasnya aspek-aspek yang terkait dengan korupsi hingga badan dunia seperti PPB memiliki badan khusus yang memantau korupsi dunia. Sebagai landasan untuk memberantas dan menanggulangi korupsi adalah memahami pengertian korupsi itu sendiri. Tulisan bagian pertama membahas mengenai pengertian korupsi berdasarkan definisi-definisi umum ataupun definisi yang berlaku secara internasional.
(Disertai dengan buku panduan pemberantasan korupsi dari KPK)
Definisi Berdasarkan Produk Hukum Nasional
Menurut Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bab II, Pasal 2, Ayat 1 disebutkan:“Perbuatan korup diartikan sebagai tindakan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
Pasal 3 menyebutkan:“Perbuatan 'Korup' dilakukan oleh setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara”
Berdasarkan kedua pasal tersebut, perbuatan ‘Korup’ adalah perbuatan yang dilakukan dengan memanfaatkan jabatan/kedudukan/kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan negara dan pereknomian negara. Menurut kedua pasal tersebut, perbuatan ‘Korup’ adalah tindakan yang melanggar hukum.
Jika bersandar pada UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka tindak pidana ‘Korupsi’ berlaku tidak hanya pada institusi pemerintahan, akan tetapi bisa berlaku pula untuk institusi di luar pemerintahan. Seperti kasus BLBI yang melibatkan sejumlah pengusaha (perbankan) yang diduga menyuap pejabat pemerintah baik di tingkat departemen maupun pejabat Bank Indonesia. Dari kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagian besar di antaranya adalah kasus yang menyalahgunakan jabatan/kekuasaan. Kasus-kasus seperti ini terdapat di tingkat pemerintahan pusat maupun daerah, termasuk di tingkat legislatif pusat dan daerah.
Definisi Secara Umum dan Internasional
Kata ‘Korupsi’ berasal dari kata asing, yaitu ‘Corrupt’ yang merupakan paduan dari dua kata dalam bahasa latin com (bersama-sama) dan rumpere (pecah/jebol). Pengertian bersama-sama mengarah pada suatu bentuk kerjasama atau suatu perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang kekuasaan. Konotasi bersama-sama bisa dimaksudkan lebih dari 1 orang atau dapat pula dilakukan oleh satu orang yang memiliki kekuatan untuk menggerakkan orang lain. Tentunya kekuatan atau kekuasaan yang dimaksudkan adalah untuk kepentingan dirinya sendiri. Mengenai konotasi dari rumpere yang berarti pecah atau jebol merujuk pada pengertian dampak atau akibat dari perbuatan korupsi (bahasa latin lain adalah corruptus). Artinya, tindakan korupsi dapat mengakibatkan kehancuran atau kerugian besar. Inilah yang membedakan pengertian tindak korupsi dengan tindak kriminal biasa seperti pencurian. Tindak pidana pencurian hanya mengakibatkan kerugian sepihak, yaitu kerugian bagi korban, sedangkan korupsi dapat merugikan tidak hanya banyak orang akan tetapi juga negara dalam jumlah besar.
Dari sekian banyak definisi tentang ‘Korupsi’ selalu menganalogkan atau mengkaitkan sebagai bentuk tindakan ilegal atau melanggar hukum, tidak bermoral, dan tidak loyal dari seseorang yang memiliki kekuatan untuk melakukannya. Kekuasaan berupa jabatan atau kedudukan merupakan sarana dan sekaligus alat untuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi negara. Defini terkini tentang ‘Korupsi’ saat ini sudah mulai meluas pada cakupan moral. Tindak ‘Korupsi’ bukan hanya sekedar kesempatan untuk memanfaatkan jabatan/posisi, akan tetapi juga peluang untuk mendorong terjadinya tindak ‘Korupsi’.
Apabila definisi tradisional tentang ‘Korupsi’ lebih banyak menyorot aspek pemegang kekuasaan atau seseorang yang memiliki jabatan, maka definisi moderen menyoroti keseluruhan aspek dalam suatu negara yang menyebabkan terjadinya tindak ‘Korupsi’ (Kurer, 2005). Indeks persepsi korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) hanya mengukur tindak ‘Korupsi’ satu arah, yaitu persepsi/penilaian berdasarkan instansi ataupun pejabat yang berwenang. Definisi moderen mengukur dari dua arah, yaitu dari instansi dan masyarakatnya sendiri. Tindak ‘Korupsi’ tidak hanya terjadi karena adanya kesempatan berupa jabatan ataupun kewenangan, akan tetapi juga karena adanya kebutuhan. Pelaku perbuatan yang berakibat dilakukannya tindak ‘Korupsi’ adalah mereka yang mendorong pihak lain yang dapat memanfaatkan jabatan ataupun kewenangannya untuk kepentingan dirinya sendiri. Hingga sejauh ini, pengawasan ataupun pemantauan terhadap tindak ‘Korupsi’ masih difokuskan pada pihak yang memiliki jabatan atau kewenangan.
Jenis Tindak Korupsi Politik (Political Corruption)
Tindak korupsi secara umum dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis, seperti korupsi secara politik (political corruption), korupsi data (data corruption), korupsi dalam penerjemahan atau pendefinisian (liguistic corruption), dan berbagai bentuk manipulasi lainnya. Dari beberapa jenis korupsi, jenis korupsi politik atau political corruption adalah yang paling banyak mendapatkan perhatian baik dalam bentuk kelembagaan, studi komprehensif, maupun di bidang kebijakan.
Tindak korupsi secara politik adalah suatu perbuatan yang menggunakan atau memanfaatkan kekuasaan pemerintah yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang secara tidak sah untuk menguntungkan dirinya sendiri (Heidenheimer, et al, 1989). Jabatan memiliki wewenang yang berupa kekuasaan dengan membuat kebijakan atau keputusan yang tujuannya secara sepihak menguntungkan secara materi si pemegang jabatan tersebut. Pengertian materi di sini adalah keuntungan secara ekonomi berupa tambahan kekayaan secara tidak sah. Jika tindak penyalahgunaan wewenang tidak memberikan manfaat secara ekonomi, maka penyalahgunaan wewenang tersebut bukan termasuk jenis korupsi politik (Lambsdorff, 2007). Pada umumnya, tindak korupsi politik dilakukan di tingkat eksekutif (pemerintahan pusat/daerah) dan tingkat legislatif (kongres, senat, DPR/DPRD).
Berdasarkan kajian dari Bank Dunia yang salah satunya dilakukan oleh Kaufmann and Kraay (2008), ada beberapa kondisi yang memberikan peluang atau kemungkinan dilakukannya jenis korupsi politik, yaitu
1. Keterbatasan informasi (transparansi)
2. Rendahnya akuntabilitas berupa rendahnya akses untuk mengawasi
3. Terbukanya kesempatan seperti rendahnya gaji, insentif, dan tingginya akses untuk melakukan penyalahgunaan wewenang
4. Kondisi sosial seperti kebiasaan pemberian hadiah, nepotisme kekuasaan, rendahnya kualitas pendidikan masyarakat, ketidakpedulian sosial, dan kemiskinan.
Beberapa faktor lainnya seperti besarnya potensi sumberdaya ekonomi yang dapat dikelola dan dioptimalkan di suatu daerah/negara juga turut mendorong terjadinya tindak korupsi secara politik. Misalnya di daerah yang kaya sumber alam atau strategis memiliki kecenderungan lebih mampu untuk mendorong terjadinya korupsi secara politik.
Sekilas Latar Belakang Korupsi Dunia
Diduga tindak korupsi sudah lama ada sejak manusia pertama kali menggunakan kekuasaan secara administratif. Di masa-masa periode awal Masehi, pengawasan korupsi secara institusi belum ada. Kekayaan pejabat/abdi kerajaan begitu terbuka sehingga siapapun dapat mengetahui dan mengukurnya sendiri. Mata uang yang sudah dikenal dan digunakan ketika itu masih difungsikan sebagai alat pembayaran yang sifatnya lokal. Mata uang lokal hanya dapat diterima di wilayah kerajaan. Sekalipun kekayaan masih bisa disimpan dalam bentuk emas, akan tetapi sangat beresiko apabila menyimpan emas di luar wilayah kekuasaan kerajaan, kecuali apabila pejabat yang bersangkutan menjadi sekutu dengan kerajaan lain. Pada umumnya, pejabat kerajaan tidak pernah menyimpan kekayaannya dalam bentuk apapun di luar wilayah kerajaan atau kekuasaan karena tindakan ini akan dianggap tidak loyal. Bentuk korupsi pada masa kerajaan-kerajaan Masehi yang dikaitkan dengan loyalitas adalah bentuk korupsi tradisional.
Sejalan dengan berkembangnya administrasi, dikenalnya pola birokrasi, pelayanan publik, dan pencatatan keuangan, bentuk tindak korupsi pun mengalami perkembangan. Sejalan pula dengan semakin berkembangnya demokrasi dan politik menjelang berakhirnya era monarki. Penyalahgunaan wewenang mulai ditunjukkan dengan tindakan untuk memanipulasi pajak (pungutan), menerima suap untuk dapat diberikan keistimewaan secara ekonomi, politik, maupun hukum, dan tindakan persekongkolan (terutama dengan pihak musuh). Pejabat negara sudah mulai berani untuk menyembunyikan kekayaannya di luar wilayah kekuasaan negara. Mereka para pejabat pemerintah ataupun anggota legislatif yang diketahui melakukan pelanggaran-pelanggaran (korup) dianggap sebagai pengkhianat. Satu-satunya hukum ketika itu adalah hukuman mati. Hingga sejauh ini belum ada tulisan yang menguatkan dugaan tentang bentuk korupsi yang paling mendekati pengertian korupsi seperti sekarang ini. Ensiklopedi dunia seperti Britanica hanya menggambarkan kondisi korupsi di masa kerajaan Cina yang dianggap paling mendekati kondisi yang digambarkan seperti sekarang ini.
Tindak ‘Korupsi’ seperti pengertian umum yang digunakan oleh badan-badan dunia sesungguhnya belum lama dikenal, yaitu setelah abad kebangkitan Eropa atau abad pertengahan (middle age). Di Eropa, tindak korupsi diidentifikasikan sudah berjalan bersama dengan keberadaan kelompok mafia yang mampu mempengaruhi kekuatan politik pejabat-pejabat publik mulai dari kepala pemerintahan, kepala daerah, anggota parlemen, maupun pihak kepolisian. Untuk mengamankan operasinya (ilegal), pihak mafia cenderung bekerjasama dengan pihak penguasa setempat. Di Italia, kondisi seperti ini sudah berlangsung sejak awal abad pertengahan hingga akhirnya mulai meluas pada dekade 1700an. Istilah korupsi sendiri sesungguhnya baru mulai dibahas dan ditindaklanjuti ke dalam perangkat hukum pada awal dekade 1990an. Pade dekade 1990an ini pula tindak ‘Korupsi’ menjadi sub studi dalam studi politik pemerintahan maupun studi politik ekonomi.
Referensi
Heidenheimer, Arnold J., Michael Johnston, and Victor T. LeVine, 1989, Political Corruption: A Handbook, New Brunswick, New Jersey.
Kaufmann, Daniel and Aart Kraay, 2008, “Government Indicators: Where Are We, Where Should Be Going?”, World Bank Research Observer, January 2008.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2006, Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Penerbit KPK, Jakarta.
Kurer, Oskar, 2005, “Corruption: An Alternatif Approach to Its Definition and Measurement”, Journal of Political Studies, Volume 53, Issues 1, pp 222-239 (March 22nd, 2005).
Lambsdorff, Johann Graf, 2007, The Institutional Economics of Corruption and Reform: Theory, Evidence, and Policy, Cambridge University Press, New York.
Buku Panduan dari KPK (2006) - 626.99 Kb
UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999
25 Desember 2008
TENTANG KORUPSI (1/3): MENGENAL DEFINISI KORUPSI
07.43
Anonim
0 comments:
Posting Komentar