19 Januari 2009

PERLUKAH KEDEPANKAN ETIKA DALAM KAMPANYE POLITIK?

Masa kampanye menjelang Pemilu 2009 menjadi masa yang akan lebih banyak diisi oleh pesan-pesan partai maupun tokoh politik. Iklan dan media yang digunakan terbukti efektif menarik mempengaruhi minat calon pemilih pada Pemilu 2004. Pada prinsipnya, apapun pesan yang disampaikan memiliki satu tujuan, yaitu mempopulerkan subyek pesan, bisa berupa tokoh ataupun partai politik. Pesan iklan dianggap tersampaikan secara efektif apabila mampu menyentuh emosi seperti rasa haru, bangga, keresahan, ataupun kemarahan. Perancang iklan (advertiser) menggunakan segala cara untuk membangkitkan emosi, sekalipun harus dengan menggunakan pembodohan ataupun kebohongan.

Etika Pariwara
Peraturan atau ketentuan baku mengenai periklanan selama ini hanya mengatur aspek organisasi dan pelaksanaan secara teknis. Mengenai kualitas konten ataupun isi pesan yang disampaikan diserahkan kepada pihak pengelola/pembuat iklan (advertiser). Batasan-batasan isi ataupun kualitas disesuaikan mengikuti norma hukum dan moral yang berlaku. Sekalipun tidak memiliki aturan baku yang mengatur kualitas konten/isi, terdapat etika yang menjelaskan tata krama periklanan yang dipublikasikan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Etika periklanan tersebut dirangkum ke dalam baku pedoman yang disebut Etika Pariwara Indonesia (EPI 2005).

Jika dilihat dari ragam/jenis iklan, iklan kampanye politik belum dimasukkan ke dalam daftar EPI 2005 (lihat Bagian III.A.2). Sementara itu, iklan kampanye politik di Indonesia sudah mulai diperkenalkan sejak Pemilu 1999. Sekalipun wacana mengenai kode etik sudah disampaikan sejak 2005 lalu, akan tetapi wacana tersebut masih belum tertuang ke dalam rumusan kode etik baku. Usulan mengenai perancangan etika iklan kampanye politik baru mulai diajukan kembali sekitar bulan Sepember 2008 lalu oleh Serikat Pengacara Rakyat (SPR) kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
(Okezone, 3 September 2008).

Masyarakat masih bisa menilai etika periklanan kampanye politik hanya berpedoman pada EPI 2005. Beberapa ketentuan berupa tata krama periklanan dalam EPI 2005 yang dapat dikaitkan dengan iklan kampanye politik seperti:

Penggunaan kata-kata ‘Satu-satunya’ (Bagian III.A.1.1.4)
“Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata ‘Satu-satunya’ atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan”.

Garansi (Bagian III.A.1.1.7)
“Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggungjawabkan”.

Rasa Takut dan Takhayul (Bagian III.A.1.1.9)
“Iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif”.

Kekerasan (Bagian III.A.1.1.10)
“Iklan tidak boleh langsung maupun tidak langsung menampilkan adegan kekerasan yang merangsang atau memberikan kesan membenarkan terjadinya tindak kekerasan”.

Keselamatan (Bagian III.A.1.1.11)
“Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengabaikan segi-segi keselamatan, utamanya jika ia tidak berkaitan dengan produk yang diiklankan”.

Perlindungan Hak-hak Pribadi (Bagian III.A.1.1.12)
“Iklan tidak boleh menampilkan atau melibatkan seseorang tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari yang bersangkutan, kecuali dalam penampilan yang bersifat massal, atau sekedar sebagai latar, sepanjang penampilan tersebut tidak merugikan yang bersangkutan”.

Hiperbolisasi (Bagian III.A.1.1.13)
“Boleh dilakukan sepanjang ia semata-mata dimaksudkan sebagai penarik perhatian atau humor yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak masuk akal, sehingga tidak menimbulkan salah persepsi dari khalayak yang disasarnya”.

Kemudian pada Bagian III.A.3 tentang ‘Pemeran Iklan’ disebutkan pada 3.1.1, ‘Anak-anak tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa’. Pada 3.1.3, ‘Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai penganjur bagi penggunaan suatu produk yang bukan untuk anak-anak.

Mengenai tokoh animasi atau sosok/figur dijelaskan pada Bagian III.A.3.7 tentang Tokoh Animasi sebagai berikut:
3.7.1. Penggunaan tokoh animasi sebagai peniruan seorang tokoh atau sesuatu karakter yang populer, harus atas ijin yang bersangkutan atau pemilik hak atas karakter tersebut.
3.7.3. Penokohan sosok animasi harus tetap sesuai dengan nilai-nilai sosial dan budaya bangsa.

Etika Periklanan Dalam Kampanye Politik
Pada prinsipnya, periklanan apapun bentuknya memiliki fungsi yang sama, yaitu mengkomunikasikan pesan kepada publik tentang suatu produk melalui media tertentu. Perbedaannya terletak pada aspek penyelenggaraan. Jika iklan pariwara umumnya diprakarsai oleh organisasi/perusahaan perdagangan, maka iklan kampanye politik diprakarsai oleh partai politik. Permasalahannya, apabila sudah memasuki ranah politik, persepsi atas produk bisa sangat berbeda. Oleh karenanya, sudah seharusnya jauh sebelum pelaksanaan Pemilu 2009, pihak KPU bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait sudah merancang ketentuan berupa pedoman etika periklanan dalam kampanye politik.

Secara umum, prinsip etika dalam periklanan mengatur tentang perbedaan kepentingan (conflict of interest) dalam mengakses suatu manfaat ataupun keuntungan. Seperti diketahui, iklan politik menjadi salah satu sarana strategis bagi partai politik ataupun kandidat untuk meraup suara mayoritas. Seperti halnya periklanan pada umumnya, realisasi atau pencapaian harapan baru bisa diperlihatkan setelah kandidat yang terpilih menjalankan tugas dan kewajibannya. Di sinilah kemudian diperlukan suatu rambu-rambu yang membatasi taktik ataupun cara untuk mengkomodasikan manfaat/keuntungan. Iklan kampanye politik tidak bisa dihindarkan lagi turut menjadi bagian dari pendewasaan kehidupan demokrasi.

Rasanya sudah cukup banyak aturan-aturan dasar yang sudah diterapkan di negeri ini. Permasalahannya, penegakan seringkali terbentur dengan pertimbangan kepentingan yang mengatasnamakan proses pembelajaran. Pelanggaran-pelanggaran kampanye misalnya sudah terlihat jelas sejak Pemilu 1999 seperti kampanye yang mengganggu ketertiban dan mobilisasi massa ilegal. Banyaknya sanksi yang diterapkan masih jauh lebih sedikit dibandingkan banyaknya pelanggaran yang tidak jelas penindakannya. Disamping pembentukan aturan atau pedoman baku, perlu dipikirkan pula upaya untuk menegakkannya.

Referensi
Banker, Steve, 1992, “The Ethics of Political Marketing Practices, The Rhetorical Perspective”, Journal of Business Ethics (Springer Netherlands), Volume 11, Number 11 (843-848).
Denton, Robert E., 2000, Political Communication Ethics: An Oxymoron?, First Edition, Greenwood Publishing Group Inc.,
Nadler, Judy and Miriam Schulman, 2006, “Campaign Ethics”, Markkula Center for Applied Ethics, Santa Clara University, Articles of May 2006.
Dewan Periklanan Indonesia, 2005, Etika Pariwara Indonesia: Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, Cetakan Ketiga, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Jakarta.

Unduh (download) Etika Pariwara Indonesia (EPI) 2005

Klik kanan, pilih 'Save link/target as'

Unduh (download) artikel

Klik kanan, pilih 'Save link/target as'

0 comments:

Posting Komentar