10 Februari 2009

KETERWAKILAN WANITA DI PARLEMEN HARUS FAIR

Zipper System untuk untuk wakil yang terpilih dianggap tidak ‘Fair’, bahkan bisa semakin menyudutkan posisi wanita di parlemen. Banyaknya calon legislatif sejauh ini sudah menggunakan pola Zipper System, yaitu untuk setiap 3 caleg, terdapat setidaknya 1 caleg wanita. Keterwakilan wanita pantas untuk dipertahankan mengingat jumlah pemilih wanita jauh lebih besar dibandingkan jumlah pemilih pria. Aspirasi golongan mayoritas perlu mendapatkan perhatian dengan mempertimbangkan jumlah keterwakilan di parlemen. Namun, apakah sejauh ini keterwakilan wanita sudah memberikan yang terbaik untuk aspirasi yang diwakilkannya? Sejauh ini, untuk masa bhakti 2004-2009, hanya Menteri Kesehatan Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) yang dianggap paling vokal. 

Zipper System
Zipper System merupakan suatu pola pengaturan kuota wanita di dalam suatu parlemen. Sistem yang dikenal dengan pola Zebra atau pola berselang-seling menentukan besarnya perbandingan jumlah keterwakilan antara jenis kelamin pria dan wanita. Sistem Zipper seperti yang diusulkan oleh Meuthia Hatta mengharuskan proporsi banyaknya caleg wanita yang terpilih satu untuk banyaknya 3 caleg pria yang terpilih. Sistem Zipper merupakan perluasan dari ketentuan kuota wanita terhadap kuota pria yang dinyatakan dalam persen. Seperti yang sebelumnya diterapkan di dalam hasil Pemilu 2004, banyaknya jumlah wanita adalah 30% di mana sisanya 70% adalah pria. 

Di beberapa negara, sistem Zipper cukup efektif menaikkan kuota wanita di parlemen hingga nyaris menyamai persentase kuota pria terhadap total keseluruhan banyaknya anggota parlemen. Batas kritis (critical mass) kuota wanita seperti yang diharapkan Women’s Environment and Development Organization (WEDO) adalah 30% dari total jumlah anggota parlemen atau kabinet. Sistem Zipper ini pula diterapkan di negara-negara yang tatanan politiknya termasuk bermasalah seperti Rwanda dan Brasil. Sebagian besar banyak diterapkan di negara-negara Uni Eropa. Sistem kuota Zipper yang diterapkan di Eropa tidak seperti yang dimaksudkan oleh Meuthia Hatta. Pola zebra tetap diterapkan untuk calon anggota legislatif, bukan paska terpilih.

Memanfaatkan Celah: Tidak Harus Mengkebiri Demokrasi
Ada cukup banyak celah yang bisa diperjuangkan oleh kaum wanita di parlemen maupun pemerintahan. Jika melihat berdasarkan keterwakilan golongan, ada ribuan tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri yang keselamatannya perlu diperhatikan. Kekerasan rumah tangga dan perlindungan anak masih menjadi agenda yang bisa dimanfaatkan sebagai sasaran pergerakan. Berawal dari pergerakan inilah selanjutnya akan membuka peluang politik kaum wanita untuk masuk ke bidang-bidang pergerakan politik lainnya. 

Realita yang ada di lapangan memang tidak mudah. Pergerakan politik kaum wanita moderen di Indonesia masih banyak yang bersifat pergerakan independen, atau terlepas dari pengaruh partai politik maupun pemerintah. Kita bisa melihat contohnya seperti Ratna Sarumpaet (aktivis, seniman), Saur Mariana (Butet) Manurung (aktivis pendidikan), dan masih banyak aktivis-aktivis lain berada di luar partai politik. Selain dikarenakan keinginan untuk mewujudkan independensi, keinginan untuk berada di luar parpol dikarenakan pula sebagai wujud ketidakpercayaan aktivis kepada parpol. 

Tokoh wanita Indonesia yang bisa dikatakan vokal justru seringkali berada di luar kepentingan politik, seperti di kelembagaan semacam LSM atau lembaga-lembaga non pemerintah lain. Selama periode 2004-2009, hanya Menteri Kesehatan, yaitu Siti Fadilah yang dianggap paling vokal sebagai pejabat negara. Mengenai perlindungan TKI jarang mendapatkan perhatian serius di kalangan anggota dewan. Sementara itu, jumlah TKI didominasi oleh tenaga kerja dengan jenis kelamin wanita. Masih banyak lagi kesempatan bagi kaum wanita baik di parlemen maupun di tingkat pemerintahan untuk dijadikan sebagai landasan pergerakan moral. 

Penutup: Membangun Kesetaraan di Masa Depan
Perlu digarisbawahi di sini jika isu gender di Indonesia tidak bisa disamakan dengan isu gender yang berkembang di Eropa. Pergerakan politik kaum wanita di Eropa membutuhkan waktu hingga ratusan tahun untuk bisa mendapatkan kesetaraan hak dan kedudukan politik, baik di parlemen maupun pemerintahan. Latar belakang budaya ataupun struktur sosial yang menjadi pertimbangan dalam membentuk kesetaraan gender. Disamping itu, kondisi geografis, struktur permasalahan, dan cara pandang di antara bangsa-bangsa Eropa pencetus kesetaraan gender sangat berbeda dengan kondisi-kondisi di Indonesia maupun negara-negara berkembang lainnya. 

Sekalipun demikian, isu mengenai kesetaraan gender perlu dikembangkan lebih lanjut untuk menjadi suatu pilihan. Adapun pilihan yang dimaksudkan bukan berupa proporsi jumlah keterwakilan wanita di parlemen ataupun pemerintahan, akan tetapi keterwakilan atas hak dan kewajiban. Emansipasi kaum wanita bukanlah diartikan sebagai persamaan hak dan kedudukan, akan tetapi kesetaraan. Membangun kesetaraan gender perlu dipahami tidak hanya membutuhkan waktu, akan tetapi juga akan merubah struktur cara berpikir dan budaya suatu bangsa. Siapapun termasuk organisasi pergerakan wanita seperti WEDO tidak bisa menilai begitu saja keikutsertaan politik kaum wanita Indonesia dengan standar seperti di Eropa. Jika demikian, bisa jadi justru WEDO yang tidak memahami kultur budaya suatu bangsa.

Memberikan kesempatan kepada wanita untuk berpartisipasi di bidang apapun bukan berarti memberikan tempat. Pandangan ini justru hanya akan semakin melecehkan posisi kaum wanita di mana pun mereka hendak berkarya. Memberikan kesempatan berarti menghargai kemauan, niat, itikad, dan kemampuannya untuk bisa berpartisipasi bersama kaum pria di segala bidang. Pemahaman ini bukan berarti mensejajarkan karena secara biologis, antara wanita dan pria diciptakan berbeda secara fisik dan fungsinya.

Unduh (download) artikel:

Klik kanan, pilih 'Save link/target as'

0 comments:

Posting Komentar