Jika jawabannya ‘Mampu’, tentunya Presiden SBY tidak perlu memanggil petinggi-petinggi TNI/Polri di Istana negara beberapa waktu yang lalu. Sementara itu, dalam Undang-Undang No 34 Tahun 2004 Tentang TNI disebutkan apabila institusi TNI tidak diperkenankan untuk terlibat dalam politik praktis. Perlu dicermati kembali, netralitas politik berlaku dalam arti institusi ataukah individu (anggota TNI/Polri)? Secara institusi, TNI bisa dimungkinkan untuk netral, akan tetapi secara individu, sulit memaksakan netral hanya dengan menggunakan rantai komando.
Anggota TNI/Polri bisa dipaksakan (atas perintah) untuk netral, akan tetapi perintah tersebut tidak berlaku bagi keluarga-keluarganya (dari masing-masing individu TNI/Polri). Pada tahun 2007 lalu, jumlah total personil TNI diperkirakan mencapai sekitar 382.236 personil. Sebagian besar di antaranya didominasi oleh TNI-AD dengan jumlah 292.976 personil. Sisanya, sebanyak 60.126 personil TNI-AL dan 29.134 personil TNI-AU. Di antara ketiga matra TNI, hanya organisasi TNI-AD yang paling sering aktif di bidang politik.
Jika hanya separuh dari TNI-AD, maka sudah diperoleh dukungan sekitar 150.000 personil. Jika diinginkan, anggota TNI-AD bisa memobilisasi suara melalui keluarga seperti istri dan anak-anaknya. Apabila dilakukan mobilisasi penuh, anggota TNI-AD bisa memobilisasi suara di lingkungan keluarga ataupun melalui masyarakat di daerah asalnya sehingga bisa diperoleh setidaknya sebanyak 100 suara. Potensi total suara minimal yang bisa diperoleh bisa mencapai 1.500.000 suara. Jumlah ini masih bisa bertambah apabila mobilisasi suara dilakukan secara agresif di lingkungan keluarga besar TNI-AD. Inilah yang sesungguhnya dikhawatirkan oleh Presiden SBY.
Wacana Reformasi di Tubuh TNI
Pada prinsipnya, wacana reformasi di lembaga TNI seperti pada Undang-Undang No 34 Tahun 2004 Tentang TNI masih abstrak, terutama untuk larangan berpolitik praktis (Pasal 39). Secara struktural, tidak dilakukan pembenahan yang mengarah pada upaya untuk mengembalikan fungsi TNI sebagai bagian dari alat pertahanan dan keamanan negara. Di seluruh daerah masih banyak ditemukan pos-pos Komando Rayon Militer (Koramil), Komando Resort Militer (Korem), dan Komando Distrik Militer (Kodim). Hal ini menunjukkan apabila sangat terbuka kesempatan bagi anggota TNI untuk menjadi alat politik seperti halnya yang terjadi pada masa orde baru. Perbedaannya, apabila di masa orde baru, TNI hanya menjadi alat politik dari satu penguasa, maka di masa sekarang ini, tidak tertutup kemungkinan kekuatan politik manapun dapat menjadikannya sebagai alat politik.
Larangan untuk mengikuti Pemilu ataupun Pilkada bagi anggota TNI dianggap menyalahi konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945). Di dalam struktur manapun, seorang prajurit (anggota) TNI adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak pilih atau berhak menentukan pilihan atas demokrasi. Sejak berkuasanya pemerintah Orde Baru, anggota TNI dilarang untuk mengikuti pesta demokrasi. Pihak penguasa ketika itu juga tidak memiliki alasan yang rasional dengan hanya menggantikan hak pilih TNI (ABRI) dengan kursi di MPR/DPR (Fraksi ABRI). Di era reformasi, tidak disertakannya hak pilih TNI ke dalam Pemilu maupun Pilkada dengan alasan untuk menjaga netralitas dianggap masih tidak sesuai dengan konstitusi.
Tidak ada keterkaitan antara netralitas dan fungsi untuk menegakkan pertahanan dan keamanan di dalam doktrin TNI. Di dalam UU No 34 Tahun 2004 Tentang TNI, reformasi TNI dimaksudkan untuk profesionalitas di dalam organisasi TNI. Dalam hal ini, anggota TNI sebagaimana layaknya WNI memiliki hak yang dilindungi konstitusi untuk menentukan nasibnya sendiri. Seperti halnya warga negara sipil lainnya, anggota TNI pun berhak untuk menuntut perbaikan nasib (kesejahteraan) dan masa depannya. Demokrasi tidak memberikan pengecualian kepada siapapun atau dengan status apapun, sipil maupun non sipil untuk menentukan arah dan kebijakan politik dalam suatu negara.
Situasi Politik Pemilu 2009
Sejak Pemilu 1999, setidaknya sudah terdapat tokoh-tokoh yang berlatar belakang militer yang berkiprah di politik. Salah satunya adalah Edi Sudrajat yang sempat mendirikan Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia (PKPI) untuk berpartisipasi pada Pemilu 1999. Sayang sekali, partai yang didukung oleh Jenderal Reformis kurang mampu meraih dukungan minimal sehingga harus tersingkir. Pada Pemilu 2004, beberapa nama mantan petinggi TNI sudah mulai dilibatkan ke dalam politik seperti Jenderal (Purn.) Wiranto dan Letjen (Purn.) Prabowo Soebianto. Beberapa partai politik selain Partai Golkar sudah melibatkan nama-nama mantan petinggi TNI seperti PDIP, PPP, dan Partai Demokrat.
Pada Pemilu 2009 ini, keterlibatan mantan petinggi TNI mulai terlihat nyata dengan didirikannya parpol-parpol baru dengan popularitas yang tidak kalah dengan parpol-parpol sebelumnya. Sebut saja dari dua nama parpol seperti Partai Hanura (Wiranto) ataupun Partai Gerindra (Prabowo Soebianto). Atau nama-nama lain seperti Sutiyoso yang pada Pemilu 2009 belum didukung oleh salah satu parpol. Sekalipun belum terbukti secara politis, akan tetapi popularitas kedua parpol baru ini sudah mampu sejajar dengan popularitas parpol-parpol yang sudah mapan secara politik. Tokoh petinggi TNI seperti Prabowo Soebianto maupun Wiranto tentunya lebih banyak dikenal (populer) di lingkungan keluarga besar TNI-AD.
Kepercayaan diri dari tokoh mantan petinggi militer (TNI-AD) pada Pemilu 2009 cukup tinggi. Partai yang baru didirikan tanpa ragu-ragu mencalonkannya sebagai calon presiden (capres). Tanpa adanya koalisi, tentunya kesempatan untuk mampu meloloskan sebagai calon presiden pada putaran pertama cukup berat. Hingga awal Pebruari 2009 ini, di antara tokoh-tokoh tersebut belum banyak berbicara tentang koalisi. Perlu diketahui jika salah satu faktor kemenangan SBY dan popularitas Partai Demokrat pada Pemilu 2004 lalu karena didukung oleh militer. Hanya mereka yang memiliki latar belakang petinggi militer yang bisa mengakses kekuatan militer untuk mendukung suara mayoritas.
Penutup
Sebagai institusi negara yang sekaligus menjadi alat negara, TNI/Polri memiliki kepentingan untuk menjaga eksistensinya di masa yang akan datang. Jika supremasi sipil dianggap tidak mampu memenuhi ataupun melindungi kepentingan-kepentingan dari kelompok militer, tidak tertutup kemungkinan akan memotivasi kelompok-kelompok militer untuk menguasai kursi kepemimpinan nasional. Oleh karena itu, pihak yang menguasai akses kekuatan sosial politik dari militer akan selalu membuka kesempatan kepada kepentingan politik manapun yang dianggap sejalan dengan kepentingan politik kelompok-kelompok militer. SBY sendiri sesungguhnya sudah memanfaatkan ketika Pemilu 2004 lalu, yaitu ketika beliau mendatangi sejumlah tokoh-tokoh petinggi TNI-AD paska pengunduran dirinya dari Kabinet Megawati. Jika sekarang ini Presiden SBY melempar isu tentang netralitas TNI/Polri, maka ini berarti reformasi TNI yang sudah mulai di susun sejak tahun 2004 lalu dinilai gagal.
Menjauhkan institusi TNI dari hak pilih di dalam pesta demokrasi hanya akan semakin menjadikan institusi TNI tidak profesional menjalankan fungsinya sebagai alat negara. Institusi TNI adalah satu-satunya alat negara yang memiliki akses atas kekuatan nasional. Reformasi TNI seharusnya hanya menyentuh pada aspek institusi, bukan pada individu warga negara. Secara fungsional, institusi TNI maupun Polri adalah alat negara, sedangkan secara individu, maka anggota TNI/Polri adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki hak yang sama dengan warga negara sipil lainnya.
Catatan khusus untuk Presiden SBY, seharusnya beliau sebagai kepala pemerintahan tidak mudah menyatakan suatu isu tanpa dilandasi fakta dan bukti nyata. Tingginya tekanan politik menjelang Pemilu 2009 mendorong beliau sering melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Apalagi jika pernyataan beliau disampaikan menjelang dekatnya pelaksanaan Pemilu, terutama Pemilu Capres. Selain akan semakin memperbesar kecurigaan, tentunya isu tersebut akan semakin menjauhkan militer (TNI) dan Polri dari profesionalitasnya sebagai bagian dari alat keamanan nasional. Isu tersebut juga semakin memojokkan beliau dan semakin dijauhi dari lingkungannya sendiri (keluarga besar TNI-AD).
Referensi
Crough, Harold, 1999, Militer dan Politik Indonesia, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Effendy, Muhadjir, 2008, Profesionalisme Militer, Profesionalisasi TNI, Penerbit UMM Press, Malang.
Janowitz, Morris, 1985, Hubungan-Hubungan Sipil-Militer, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
Nordiliger, N. D., 2003, Militer Dalam Politik, Penerbit Rhineka Cipta, Jakarta.
Unduh (download) artikel
Klik kanan, pilih 'Save link/target as'
10 Februari 2009
MAMPUKAH TNI/POLRI BERSIKAP NETRAL?
05.19
Anonim
1 comments:
terimakasih atas penjelasannya.
sanagt bermanfaat :)
Posting Komentar