10 Februari 2009

PERTAMINA MEMBUTUHKAN TOKOH REFORMIS: SPEKULASI TINGGI DIPILIHNYA DIRUT PT PERTAMINA (PERSERO) 2009

Pemerintah akhirnya menetapkan pilihannya kepada Galaila Karen Agustiawan untuk menjabat posisi Dirut Pertamina yang baru menggantikan Ari Soemarno (Kompas, 5 Pebruari 2009). Satu hal yang istimewa dari posisi Dirut Pertamina yang baru ini, Karen adalah wanita pertama di Indonesia yang menjabat sebagai Dirut Pertamina. Apakah sosok seperti Karen Agustiawan dibutuhkan oleh Pertamina untuk mengelola energi untuk rakyat? Ketimbang calon lainnya, mengapa pemerintah lebih memilih sosok seperti Karen (mantan Direktur Hulu Pertamina)? Sejauh manakah Rakyat Indonesia masih berharap dari penggantian Dirut Pertamina yang baru ini? Apakah dipilihnya wanita untuk menjabat posisi paling strategis dalam jajaran BUMN adalah suatu kebetulan semata?

Sekilas Tentang Profil BUMN PT Pertamina (Persero)
PT Pertamina (Persero) adalah salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola penambangan minyak dan gas bumi di Indonesia. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), BUMN Pertamina dirubah menjadi perusahaan perseroan dengan pemerintah (Pasal 60). Pada Pasal 61(a), ‘Pertamina tetap melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan pengawasan pengusahaan kontraktor Eksplorasi dan Eksploitasi termasuk Kontraktor Kontrak Bagi Hasil sampai terbentuknya Badan Pelaksana’. Kedudukan Pertamina berdasarkan UU No 22 Tahun 2001 Tentang Migas dianggap kontroversial karena dianggap lebih menjadikan institusi Pertamina berpihak kepada kepentingan korporasi asing. Selain UU No 22 Tahun 2001 Tentang Migas, PT Pertamina (Persero) termasuk bagian dari agenda yang diusulkan untuk dibahas dalam Hak Angket BBM.

Kegiatan PT Pertamina (Persero) dalam penyelenggaraan usaha di bidang energi dan petrokimia terbagi ke dalam dua bagian, yaitu sektor hulu dan sektor hilir. Sektor hulu Pertamina menangani tugas eksplorasi dan produksi minyak, gas bumi, dan panas bumi. Sesuai dengan ketentuan pada UU No 22 Tahun 2001 Tentang Migas, Pertamina hulu tidak bekerja sendirian mengeksplorasi sumber-sumber energi, akan tetapi bermitra dengan perusahaan-perusahaan migas asing. Dirut PT Pertamina (Persero) yang baru dilantik 5 Pebruari 2009 kemarin, Karen Agustiawan adalah mantan Direktur Hulu Pertamina yang menjabat sejak Maret 2004. Di sinilah kemudian UU No 22 Tahun 2001 Tentang Migas menjadi sorotan karena dianggap tidak menjadikan PT Pertamina (Persero) sebagai perusahaan yang mandiri. Di sektor hilir, PT Pertamina (Persero) memiliki tugas pengolahan, pemasaran dan niaga, perkapalan, dan mendistribusikan produk hilir yang masuk dari luar maupun dalam negeri. Di sektor ini pula, PT Pertamina (Persero) mengusahakan ataupun melakukan kegiatan ekspor maupun impor yang mengusahakan melalui transportasi darat dan laut.

(Sejarah lengkap PT Pertamina (Persero) dapat dilihat di sini)

Beberapa Sorotan Publik atas PT Pertamina (Persero)
Sorotan publik sebenarnya sudah terjadi sejak berkuasanya rejim Orde Baru di tahun 1968. Badan usaha yang termasuk memegang peran hajat hidup orang banyak ini seringkali dijadikan sebagai mesin politik atau kekuasaan. Ketika Indonesia memasuki masa keemasan minyak atau ‘Bonanza Minyak’ pada dekade 1970an, Pertamina menjadi sumber utama penerimaan negara yang selanjutnya menggerakkan program Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Dengan sumber minyak dan gas bumi yang melimpah ketika itu, pemerintah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghutang. Bahkan dengan ketersediaan minyak di rumah sendiri pun masih belum bisa menyelamatkan perekonomian Indonesia pada krisis moneter tahun 1998. Pada masa itu pula, Kwik Kian Gie sempat mengeluarkan pendapat tentang adanya inefisiensi di dalam pengelolaan minyak dan gas bumi oleh Pertamina (pemerintah).

Memasuki masa reformasi tahun 1999, perubahan bentuk menjadi PT Pertamina (Persero) tidak banyak membawa perubahan yang berarti. Setelah dikeluarkannya UU No 22 Tahun 2001 Tentang Migas, PT Pertamina (Persero) semakin jauh fungsinya penyedia energi untuk rakyat dan sekaligus memberikan sebesar-sebesarnya kemakmuran bagi segenap rakyat Indonesia. Dengan alasan untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi, rejim pemerintahan reformasi pun melanjutkan kebijakan rejim pemerintahan sebelumnya untuk mengurangi subsidi untuk BBM. Pada pemerintahan SBY, harga produk BBM dari PT Pertamina (Persero) secara resmi disesuaikan berdasarkan harga pasar perdagangan minyak dunia di New York. Selama pemerintahan SBY pula, fungsi ataupun peran PT Pertamina (Persero) mendapatkan sorotan tajam mengenai penetapan mekanisme penentuan harga jual BBM, keamanan, dan distribusi energi di dalam negeri.

Sekalipun Indonesia termasuk salah satu negara penghasil (produsen) minyak mentah, akan tetapi PT Pertamina (Persero) masih memberlakukan penetapan biaya-biaya produksi berdasarkan standar biaya internasional. Inilah yang kemudian menuai kritikan tajam dari kalangan pengamat seperti Kurtubi, Kwik Kian Gie, dan Rizal Ramli. Salah satunya paska kunjungan Menlu AS, Condoliza Rize yang akhirnya memaksa Pemerintah Indonesia (SBY-Kalla) untuk memberikan kesempatan kepada AS mengeksplorasi Blok Cepu. Kelangkaan gas elpiji medio Nopember hingga Desember 2008 dan BBM (premium) lalu menjadi puncak seluruh sorotan (kritikan) yang ditujukan kepada BUMN migas ini. Puncaknya terjadi setelah terbakarnya Depo BBM Pertamina di Plumpang yang seolah-olah mengindikasikan betapa kuatnya praktik mafia minyak di Indonesia. Akibat dari insiden yang masih misterius penyebabnya ini kemudian memaksa Ari Soemarno (Dirut Pertamina lama) untuk mengundurkan diri. Sorotan publik tentunya tidak terlepas setelah diperoleh ketidakjelasan kelanjutan Hak Angket BBM yang disetujui oleh DPR pada bulan Juli 2008 lalu.

Sekilas Mengenai Profil Dirut Pertamina
Jabatan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) termasuk jabatan yang paling strategis di dalam jajaran pemerintahan eksekutif. Di antara BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak, hanya posisi Dirut Pertamina yang mampu memberikan pengaruh politik paling strategis. Di masa pemerintahan Soekarno, institusi perminyakan seperti Pertamina dikelola khusus oleh kalangan militer di era 1957. Ketika dipimpin oleh Ibnu Soetowo, Pertamina mengalami cukup banyak kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Perusahaan milik negara ini adalah satu-satunya organisasi yang terlebih dahulu mempelopori teknologi termutakhir, terutama yang diusung dari Amerika Serikat.

Posisi pimpinan Pertamina atau sekarang ini dikenal direktur utama memiliki peranan yang sangat strategis. Keberhasilan upaya untuk menjatuhkan kekuasaan Presiden Soekarno ketika itu tidak terlepas dari peran Ibnu Soetowo selaku Pimpinan PN Pertamina. Kepiawaian secara politik dan pengelolaan sumber daya memaksa penguasa Orde Baru tidak mengusik sedikit pun posisi Ibnu Soetowo. Sebagai orang nomor satu di perminyakan Indonesia, Ibnu Soetowo yang juga didukung oleh Amerika Serikat memberikan sumbangan besar terhadap suksesi pergantian kekuasaan dari Soekarno menuju Orde Baru. Melalui beliau pula yang selama ini mendukung (membiayai) demo mahasiswa berjubah ‘Kuning’ atau dikenal dengan Almamater 1966. Selain membawa kasus dugaan korupsi yang belum terungkap hingga saat ini, Ibnu Soetowo pula yang secara politik mampu menciptakan merger antara Permina dan Pertamina. Kekuatan politik Ibnu Soetowon sebagai orang nomor satu di Pertamina ketika itu pula mampu menjadikan perusahaan perminyakan ini jauh lebih mandiri dibandingkan sekarang ini. Sungguh ironis, Indonesia ketika itu yang dikenal sebagai produsen minyak justru menjadikan Pertamina berhutung hingga 10,5 milyar Dolar.

Memasuki masa reformasi, kekuatan politik pimpinan Pertamina mulai terbagi dengan keberadaan institusi perminyakan lain, yaitu Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau disingkat BP Migas. Nampaknya, ada pihak yang tidak menginginkan tokoh reformis menguasai sepenuhnya institusi Pertamina yang sejak lama dikenal sebagai agen perminyakan asing. Di sisi lain, keberadaan BP Migas sendiri dimaksudkan pula menjamin kekuatan politik pemerintah untuk mengintervensi fungsi maupun tugas Pertamina. Seperti diketahui sejak dikeluarkannya UU No 22 Tahun 2001 Tentang Migas, posisi Dirut PT Pertamina (Persero) tidak memiliki banyak kekuatan politik seperti pada era Ibnu Soetowo. Perusahaan seperti PT Pertamina (Persero) bahkan bisa dikatakan hanyalah ‘Sapi Perahan’ politik. Fakta seperti ini masih tetap melekat dan belum bisa dihindarkan. Predikat institusi terkorup bahkan hingga saat ini belum mampu untuk dibongkar, sekalipun setelah didirikannya kelembagaan anti korupsi seperti KPK. Predikat institusi korup sudah lama terjadi sejak dipimpin oleh Ibnu Soetowo (MTI, Majalah Transparansi Indonesia, Edisi 7, 1999).

Tentang Dirut PT Pertamina (Persero) Yang Baru
Sosok seperti Galaila Karen Agustiawan memang cukup dikenal di kalangan perminyakan, terutama di lingkungan BP Migas dan Pertamina. Di antara kandidat-kandidat lainnya, sosok seperti Karen justru tidak banyak memiliki keistimewaan. Jika di susun semacam daftar riwayat hidup, maka profil Karen justru paling singkat di antara profil kandidat-kandidat lainnya. Latar belakang karir dari Karen sendiri bisa dikatakan tidak ada yang menonjol, kecuali dirinya adalah wanita pertama yang memegang Hulu Pertamina (2008). Itu pun tidak terlalu istimewa karena BP Migas lebih banyak berperan di sektor hulu perminyakan dan gas bumi. Profil yang sangat singkat, dari karyawan Halliburton, kemudian pindah menjabat Direktur Hulu Pertamina (2004). Artinya, Karen Agustiawan belum lama mengenal institusi migas Pertamina.

Jika hendak berbicara tentang reformasi di tubuh migas seperti Pertamina, ada nama kandidat yang seharusnya bisa dipertimbangkan seperti Sudirman Said. Beliau cukup dikenal sebagai penggerak LSM dan sempat menjabat sebagai Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI). Sekalipun beliau tidak memiliki latar belakang sebagai orang Pertamina asli, atau orang yang sudah lama bekerja di Pertamina, akan tetapi kebijakan untuk merestrukturisasi organisasi besar diakui oleh banyak pihak/kalangan politik.

Jika hendak dipilih kandidat yang berasal dari kalangan Pertamina sendiri, masih ada beberapa nama yang memiliki reputasi cukup menonjol seperti Rukmi Hadihartini (Kepala Divisi SDM Pertamina), atau nama lain yang diusulkan oleh Kurtubi seperti Hari Purnomo (mantan Direktur Bidang Pemasaran dan Perdagangan Pertamina). Sekalipun belum menjalani uji kelayakan (fit and proper test), kedua nama ini dianggap cukup mampu memenuhi tugas pokok Pertamina di kemudian hari yang lebih menitikberatkan pada aspek pembaharuan sumber daya manusia dan pengembangannya menjadi perusahaan yang berbasis bisnis global. Selain kedua nama tadi, Kurtubi juga mengusulkan nama Martiono Hadianto yang sebelumnya juga pernah menjabat sebagai Dirut Pertamina 1998-2000).

Mengapa pemerintah lebih memilih Karen?

Sorotan (kritikan) publik sesungguhnya tidak hanya ditujukan pada institusi Pertamina, akan tetapi juga pemerintah. Sejak Juli 2008, atau sejak disetujuinya pembahasan mengenai Hak Angket BBM, organisasi migas seperti BP Migas maupun PT Pertamina (Persero) sudah menjadi sorotan publik. Menjelang akhir tahun 2008 lalu, kalangan politik sempat pula menyoroti UU No 22 Tahun 2001 Tentang Migas yang dianggap lebih berpihak kepada kepentingan asing. Cara dan mekanisme pemerintah SBY menurunkan harga BBM (premium dan solar) semakin menambah tajam kritikan yang secara politik mengancam kewibawaan pemerintah sendiri. Belum lagi ditambah dengan tudingan ketidakbecusan pemerintah yang menjadi penyebab kelangkaan energi di dalam energi menjelang akhir tahun 2008 dan awal Januari 2009 lalu.

Wacana mengenai gender dalam politik kembali diangkat setelah diusulkannya penggunaan Zipper System (lihat di sini). Usulan diterapkannya Zipper System atau sistem zebra untuk jumlah caleg yang terpilih menuai banyak kritikan baik dari kalangan parpol maupun non parpol. Sekalipun demikian, usulan yang disampaikan oleh Meuthia Hatta dianggap sudah cukup untuk memunculkan kembali wacana gender di dalam politik praktis. Belum juga usai pembahasan mengenai wacana tersebut, pihak KPU langsung menyetujui usulan diterapkannya Zipper System untuk caleg yang terpilih. Tanpa banyak disadari oleh kalangan politik, isu Zipper System sesungguhnya sudah menyoroti diskriminasi politik di dalam negeri. Artinya, tanpa banyak disadari pula, kalangan politik sesungguhnya sedang diuji keberaniannya untuk memberikan kesempatan (secara politik) kepada kelompok wanita.

Secara politik, dengan memberikan kesempatan kepada wanita untuk memimpin, maka sikap tersebut dianggap mencerminkan keberpihakan kepada kaum wanita. Dengan menyertakan isu keberpihakan kepada wanita diharapkan akan mampu meredam kritik-kritik tajam kepada pemerintah. Pada prinsipnya, tim politik di dalam pemerintahan SBY memiliki spekulasi cukup tinggi terkait dipilihnya Karen Agustiawan. Secara politik, SBY membutuhkan tindakan politik dengan menciptakan situasi (figur) yang tidak terduga untuk mempimpin PT Pertamina (Persero). Nampaknya, dipilihnya Karen Agustiawan selaku Dirut PT Pertamina (Persero) cukup memenuhi harapan politik pemerintahan SBY. Sehari setelah dilantiknya Karen, tidak banyak suara-suara kritis yang menyoroti kebijakan pengelolaan migas oleh pemerintah. Pakar perminyakan yang paling kritis, Kurtubi bahkan merasa terkejut, tidak menduga langkah politik yang diambil pemerintah (Tempointeraktif, 5 Pebruari 2009, 12.04).

Latar belakang Karen Agustiawan sebagai insinyur sains bidang Fisika (alumnus ITB tahun 1978) dinilai kurang ideal untuk mengisi posisi di perminyakan (Kurtubi, Okezone, 5 Pebruari 2009, 13.56). Faktanya berbicara lain, Karen memang mampu bertahan di beberapa perusahaan asing yang pernah dilaluinya. Seluruhnya adalah perusahaan yang berbasis politik luar negeri Amerika Serikat. Permasalahan yang mendasar dari Karen sendiri adalah kemampuannya untuk menyatukan dan mengorganisir orang-orang lama di tubuh organisasi Pertamina. Disamping itu, Karen masih tergolong orang baru di organisasi besar dan mapan secara politik seperti PT Pertamina (Persero). Dipilihnya Karen tidak menutup kemungkinan memunculkan kecemburuan profesi, terutama di kalangan pejabat Pertamina sendiri. Tulisan berikutnya secara khusus membahas perkiraan nasib Pertamina di bawah kepemimpinan Karen. Disamping itu, Karen masih tergolong orang baru di organisasi besar dan mapan secara politik seperti PT Pertamina (Persero). Dipilihnya Karen tidak menutup kemungkinan memunculkan kecemburuan profesi, terutama di kalangan pejabat Pertamina sendiri.

Penutup
Jika ditanya mengenai harapan masyarakat tentang reformasi di organisasi minyak dan gas bumi, maka harapan itu masih terlalu jauh dari realisasi. Karen sendiri tidak menyinggung tentang reformasi struktural yang seharusnya diperlukan untuk membuat institusi Pertamina menjadi bersih dari korupsi. Bisa dimaklumi karena restrukturisasi secara total sama saja dengan melangkahi senior-seniornya sendiri. Sesuatu yang sangat beresiko setelah kejadian terbakarnya Depo BBM di Plumpang (Januari 2009). Langkah pemerintah yang diputuskan oleh Tim Penilai Akhir (TPA) tidak hanya berspekulasi tinggi, akan tetapi juga beresiko tinggi atas keberlanjutan fungsi dan tugas PT Pertamina (Persero).

Tentunya juga bukan suatu kebetulan dipilihnya orang yang sebelumnya mengurusi sektor hulu sebagai Dirut PT Pertamina (Persero). Visi energi dari pemerintah nampaknya tetap mempertahankan negara ini menjadi sapi perahan bagi kepentingan-kepentingan asing. Tentunya Karen pun termasuk pihak yang ikut bertanggungjawab atas pengambilalihan Blok Cepu oleh Exxon Mobile. Seharusnya, Karen yang ketika itu menjabat sebagai Dirut Hulu Pertamina bisa memaksakan BP Migas untuk memberikan kesempatan kepada Pertamina mengolah Blok Cepu. Dari sini saja nampaknya sulit untuk berharap jika Karen mampu menjadikan PT Pertamina (Persero) menjadi lebih baik selama masa kepemimpinannya.

Kecemburuan politik di tingkat struktur internal PT Pertamina (Persero) akan menjadi tantangan terberat yang harus dihadapi oleh Karen. Dari sinilah nantinya Karen selaku Dirut yang baru akan mempu mengamankan terlebih dahulu pasokan energi di dalam negeri. Tidak hanya itu, untuk mengamankan pasokan energi pun, Karen dituntut untuk mampu melepaskan diri dari tekanan politik pemerintah. Sementara itu, pasokan energi tidak sepenuhnya ditentukan oleh PT Pertamina (Persero), akan tetapi juga di atur oleh pemerintah sendiri (Kementrian ESDM). Artinya, tanpa didukung kepiawaian berpolitik, mustahil Karen akan mampu merealisasikan program-program kerjanya. Praktik mafia energi diindikasikan cukup kuat menguasai struktur organisasi migas di Indonesia. Sebagai orang yang tergolong baru di PT Pertamina (Persero), Karen belum banyak mengenal seluk-beluk politik perminyakan di internal organisasi migas. Karen bersama wakil Dirut PT Pertamina (Persero), Omar S. Anwar sama-sama tidak memiliki latar belakang politik yang cukup meyakinkan di bidang Migas.

Unduh (download) artikel

Klik kanan, pilih 'Save link/target as'

0 comments:

Posting Komentar