10 Februari 2009

PERTAMINA DI BAWAH KEPEMIMPINAN KAREN: MENELUSURI LATAR BELAKANG KAREN AGUSTIAWAN DAN AGENDA TERSEMBUNYI

Baru sekarang ini setelah tim reportase Kompas melakukan liputan khusus tentang Dirut Pertamina yang baru bisa diperoleh informasi yang cukup. Sekalipun belum bisa dikatakan memadai untuk dijadikan sebagai analisa deskriptif, akan tetapi sudah bisa sekiranya diperoleh gambaran tentang perkiraan Pertamina di masa kepemimpnan Galaila Karen Agustiawan. Sebagian besar informasi yang disampaikan dalam tulisan ini diolah dari hasil liputan khusus Kompas (Minggu, 8 Pebruari 2009). Tulisan ini sekaligus memberikan gambaran kepada pembaca mengenai sebagian dari sekelumit permasalahan nasional yang dihadapi oleh segenap Bangsa Indonesia.

Pada prinsipnya, secara pribadi saya pesimis ketika pemerintah (TPA) memutuskan menunjuk Karen untuk menempati posisi BUMN paling strategis PT Pertamina (Persero). Sesuatu yang semakin menambah pesimis justru berasal dari pernyataan Karen sendiri. Di beberapa media disebutkan jika Karen menegaskan untuk tidak ada intervensi atas tugas yang dipercayakan kepadanya selaku Dirut PT Pertamina (Persero). Kita mulai dulu dari profil beliau hingga akhirnya mencermati konsep pemikiran dan langkah-langkah ke depan. Berikut ini adalah profil singkat beliau yang penulis dapatkan dari harian Kompas (Minggu, 8 Pebruari 2009).



Sekali lagi, pemerintah SBY menunjuk orang yang bukan berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Tidak berbeda ketika SBY-Kalla menunjuk orang-orang yang menempati posisi di kabinetnya. Karen berasal dari keluarga yang bisa dikatakan berkecukupan dan mapan. Tentunya, mereka yang berasal dari kalangan ekonomi yang mapan di Indonesia bisa dikatakan hampir tidak pernah mengalami kesulitan ekonomi. Orang seperti mereka tidak pernah mengalami ataupun setidaknya ikut merasakan sulitnya kehidupan sosial ekonomi di kalangan menengah ke bawah. Dari sini rasanya sulit mengharapkan orang seperti mereka ikut memahami mengapa di negeri yang dikenal dengan produsen minyak, akan tetapi masih ada penduduknya yang busung lapar. Sekalipun hanya sekedar fakta, akan tetapi kenyataan justru lebih banyak yang membenarkan.

Karen berasal dari keluarga terpelajar dan tentunya terbiasa dengan alur kehidupan yang sistematis. Jika hendak menginginkan merubah PT Pertamina (Persero) menjadi lebih baik, lebih bersih, dan lebih berpihak kepada rakyat, maka dibutuhkan seseorang yang memiliki garis pemikiran radikal. Program kerja yang dikemukakan Karen bukanlah sesuatu pemikiran radikal. Kebanyakan dari program kerja tersebut hanyalah meneruskan dan melengkapi program kerja dari Dirut sebelumnya (Ari H. Soemarno). Dalam hal ini, Karen tidak bisa dijadikan subyek pertanggungjawaban karena beliau hanyalah orang yang ditunjuk oleh pemerintah.

Bidang teknik fisika termasuk cabang ilmu murni yang bisa dimanfaatkan di banyak bidang praktis seperti halnya di lingkungan pertambangan dan eksplorasi migas. Saya kurang sependapat dengan Kurtubi yang menyatakan apabila latar belakang Karen ‘Tidak Nyambung’ (Okezone, 5 Pebruari 2009). Cabang ilmu-ilmu pasti yang tergolong ilmu murni memiliki aspek pekerjaan yang lebih luas dari bidang praktis. Permasalahannya, jarang sekali ditemukan seseorang dengan latar belakang ilmu-ilmu murni mampu mencapai posisi puncak di tingkat struktur organisasi. Perkecualian bagi mereka yang secara khusus dibina atau dikaderisasikan agar suatu saat nanti dapat memenuhi kepentingan-kepentingan perusahaan/organisasi. Pada umumnya, orang-orang dengan latar belakang teknis seperti Karen hanya akan menempati posisi penasehat teknis. Nanti saya akan jelaskan mengenai dugaan yang saya kembangkan sendiri terkait dengan karirnya di lingkungan migas.

Sepanjang karir, Karen lebih lama berada di lingkungan perusahaan Mobil Oil (1984-1996), yaitu salah satu anak perusahaan dari kelompok Exxon milik Amerika Serikat. Perusahaan seperti Exxon memiliki kedekatan dengan kepentingan-kepentingan luar negeri Amerika Serikat. Mantan Menteri Luar Negeri AS, Condoliza Rice memiliki kedekatan khusus dengan perusahaan perminyakan seperti Exxon, Chevron, termasuk pula di antaranya Hallliburton. Karen pernah bekerja sekitar 3 tahun di Mobil Oil Dallas. Ada kemungkinan selain beliau bekerja, beliau juga disekolahkan secara khusus oleh Mobil Oil. Total selama 12 tahun Karen bekerja untuk perusahaan yang dekat dengan politik luar negeri Amerika Serikat, Mobil Oil. Secara psikologis, Karen akan lebih dekat dengan kepentingan Amerika Serikat, terutama kepentingan politik luar negeri. Dibandingkan dengan Caltex ataupun Unocal 76, Mobil Oil (Exxon) lebih dekat dengan kepentingan politik luar negeri Amerika Serikat. Exxon selama ini paling banyak memberikan kontribusi politik (selain Chevron) untuk menjamin suplai energi di Amerika Serikat.

Tanpa adanya pengkaderan secara khusus, mustahil bagi orang seperti Karen bisa langsung menempati posisi puncak di BUMN paling strategis di Indonesia. Di PT Pertamina (Persero), Karen langsung ditempatkan ditempatkan sebagai Direktur Hulu Pertamina setelah belum lama menempati posisi Staf Ahli Presdir (2006 - Desember 2008). Belum lama menjalankan tugasnya sebagai Direktur Hulu Pertamina, mendadak Karen dipilih untuk memimpin PT Pertamina (Persero). Dari sinilah sesungguhnya muncul kecurigaan tentang kriteria atau pertimbangan yang digunakan oleh TPA dari pemerintah. Apakah Karen adalah ‘Titipan’ dari kepentingan asing di Indonesia?

Pada tanggal 23 Januari 2009, Menteri BUMN RI, Sofyan Djalil menyatakan jika TPA yang dipimpin oleh Presiden SBY memilih Karen Agustiawan memimpin PT Pertamina (Persero) karena kapasitasnya (Kompas Online, 5 Pebruari 2009, 11.21). Kapasitas yang dimaksudkan di sini adalah pengalamannya di sektor hulu perminyakan. Tentunya TPA juga sangat mempertimbangkan latar belakang Karen yang cukup lama bekerja untuk perusahaan Mobil Oil (ExxonMobil). TPA yang dipimpin oleh SBY nampaknya tidak mempertimbangkan kapasitas Karen sebagai orang baru di Pertamina (2006-2008). Bagaimana mungkin Karen yang belum banyak bekerja sebagai Direktur Hulu Pertamina (sejak Desember 2008) langsung dipromosikan sebagai Dirut Pertamina (Persero)? Disebutkan pula jika pertimbangan TPA yang dipimpin SBY didasarkan pengalaman Karen di sektor hulu migas, terutama setelah sebelumnya bekerja di perusahaan asing (Mobil Oil – Exxon).

Selama republik ini dipimpin oleh SBY, ada dua peristiwa penting di sektor migas terkait dengan Exxon. Pertama, pengambilalihan Blok Cepu oleh ExxonMobil. Kedua, kasus (sengketa) kontrak Exxon di Blok Natuna. Untuk yang kedua, pihak pemerintah bersengketa dengan kontrak ExxonMobil yang masanya berakhir tanggal 9 Januari 2009 (
DetikFinance, 18 Januari 2009, 12.18). Kandungan gas di blok Natuna (Natuna D Alpha) diperkirakan 3 kali lipat dari blok Arun atau mencapai 222 TCF. Permasalahannya, pihak ExxonMobil hanya menginginkan perpanjangan kontrak lama, bukan dengan membuat pembaharuan kontrak melalui Kerjasama Operasi (KSO). Pada kontrak lama, pihak pemerintah hanya memperoleh bagian dari pajak atau hanya mendapatkan 0% dari bagian keuntungan pengelolaan Blok Natuna D Alpha. Sekalipun saat ini pemerintah telah menyerahkan sepenuhnya pengelolaan Blok Natuna kepada PT Pertamina (Persero), akan tetapi hanya ExxonMobil yang dinilai saat ini mampu untuk mengoptimalkannya dalam waktu dekat ini. Selain didukung oleh sumber dana, pihak ExxonMobil memiliki data dan pengalaman paling memadai untuk mengoptimalkan Blok Natuna.

Dilihat dari sejarah karir, nampaknya ada kecenderungan jika Karen sudah diproyeksikan mengambilalih sektor hulu pengelolaan migas di Indonesia. Setelah dari Mobil Oil, Karen tidak sepenuhnya lepas dari kepentingan Amerika Serikat. Pada tahun 1998 hingga 2002, Karen bekerja sebagai Business Development Manager (BDM) di Landmark Concurrent Solusi Indonesia. Di sinilah Karen tetap menghubungkan kepentingan kliennya seperti ExxonMobil, PT Pertamina (Persero), dan BP Migas. Landmark sendiri adalah salah satu afiliasi politik untuk memenuhi kepentingan penguasaan jalur pengelolaan migas. Untuk menguatkan jalur menuju sektor hulu, Karen kemudian bergabung bersama Halliburton untuk menempati posisi sebagai Commercial Manager for Consulting and Project Management. Di Halliburton ini, Karen masih menjadi penghubung Amerika Serikat dengan diberikan tanggungjawab pembinaan hubungannya atas institusi perminyakan dan gas bumi di Indonesia seperti Departemen ESDM, BP Migas, Ditjen Migas, dan tentunya PT Pertamina (Persero). Artinya, selama empat tahun di Halliburton, Karen diarahkan untuk didekatkan kepada institusi pemerintah, terutama di bidang migas.

Nampaknya, upaya Karen untuk masuk ke dalam organisasi besar seperti Pertamina mulai menunjukkan hasil. Pada tahun 2006, Pertamina merekrut Karen untuk dijadikan sebagai staf ahli Presdir. Tentunya perekrutan ini sesungguhnya hanyalah untuk mempermudah akses Pertamina bekerja sama dengan kepentingan-kepentingan Amerika Serikat. Sebagai catatan, Halliburton merupakan perusahaan pemasok tunggal peralatan konstruksi perminyakan yang beroperasi di Indonesia, disamping jasa konsultan pengelolaan perminyakan dan gas bumi. Seluruh perusahaan minyak dan gas dari Amerika Serikat berafiliasi sepenuhnya dengan Halliburton, Schlumberger, dan Mc Dermot. Di antara ketiga perusahaan konsultan minyak dan gas bumi, Halliburton dianggap paling dekat dengan kepentingan politik luar negeri Amerika Serikat. Kantor PT Halliburton Indonesia pernah menjadi sasaran unjuk rasa dari kelompok Federasi Serikat Petani Indonesia, HMI, dan Koalisi Anti Utang (KAU) pada tanggal 17 Nopember 2006. Bersama perusahaan-perusahaan lainnya, Hallliburton dikenal paling banyak disorot dan diawasi terkait dengan praktik konspirasi penguasaan sumberdaya alam (Halliburton Watch).

Agenda Tersembunyi
SBY sesunggunya membawa misi untuk mempertahankan kepentingan Amerika Serikat di Indonesia. Setelah sebelumnya melepaskan penguasaan Blok Cepu kepada ExxonMobil, maka langkah selanjutnya adalah mengamankan kepentingan-kepentingan Amerika di Indonesia. Salah satunya adalah mengamankan penguasaan atas institusi perminyakan dan gas bumi seperti PT Pertamina (Persero). Sebelum Condoliza Rice tiba di Indonesia, SBY melalui Menteri BUMN dan Kementrian ESDM terlebih dahulu meloloskan penguasaan ExxonMobil atas Blok Cepu. Dalam waktu dekat ini, Menlu AS yang baru, Hillary Clinton akan tiba di Indonesia. Tentunya SBY berusaha untuk sekali lagi mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat seperti pada tahun 2004 lalu.

Di bawah kepemimpinan Karen selaku Dirut PT Pertamina (Persero), tentunya sudah cukup meyakinkan untuk menjadi jalan pembuka menguasai sumberdaya alam (migas) di Indonesia untuk kepentingan asing (Amerika Serikat). Melihat dari latar belakang Karen sendiri, nampaknya agenda (tugas) dari Karen adalah mengamankan penguasaan ExxonMobil atas Blok Cepu dan mempersiapkan pengambilalihan Blok Natuna D Alpha. Dalam jangka panjang, tentunya keberadaan Karen dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan-kepentingan Amerika Serikat di Indonesia. Di depan anggota kongres, Hillary selaku Menlu AS pernah mengatakan jika Indonesia termasuk negara yang paling penting di kawasan Asia selain Jepang dan RRC. Secara politis, dengan menempatkan orang-orang yang menjadi alat bagi kepentingan luar negeri Amerika Serikat di organisasi strategis seperti PT Pertamina (Persero), tentunya akan memberikan harapan dukungan politik dari Amerika Serikat.

Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, dari dalam negeri, dipilihnya wanita untuk menempati posisi sebagai Dirut PT Pertamina (Persero) bukanlah suatu kebetulan semata. SBY berusaha untuk memanfaatkan dukungan suara dari kaum wanita di Indonesia dengan menciptakan citra keberpihakan kepada gender. Dalam hal ini, SBY berusaha untuk menjaga kemungkinan untuk mempertahankan kekuatan politik apabila nantinya tidak memperoleh dukungan dari Amerika Serikat pada Pemilu 2009.

Apa yang saya tulis di sini setidaknya bisa menjadi pembuka jalan untuk menelusuri lebih lanjut agenda tersembunyi terkait dengan dipilihnya Karen Agustiawan menjadi Dirut Pertamina (Persero). Jenjang karir Karen sejak di Mobil Oil (1984-1996), kemudian perpindahan ke Landmark dan Halliburton perlu untuk dicermati lebih lanjut. Saya mengkoreksi kembali pernyataan dalam tulisan sebelumnya apabila Karen tidak memiliki kapasitas politik yang memadai. Kedekatannya dengan organisasi minyak Amerika Serikat perlu diwaspadai. Bisa jadi Karen adalah agen asing seperti halnya keberadaan kelompok Mafia Barkeley. Pernyataan Karen sendiri kepada Kompas juga tidak realistis dengan menjadikan Pertamina setidaknya sama dengan Petronas. Bagaimana mungkin bisa menyamakan dengan Petronas (Malaysia) apabila visi Pertamina masih saja difokuskan pada pengembangan sektor hulu. Sementara itu, sektor hulu justru lebih banyak merugikan kepentingan Indonesia dengan memberikan keberpihakan kepada kepentingan asing.

Catatan:
Biodata Galaila Karen Agustiawan dapat dilihat lengkap di situs Tokoh Indonesia (klik di sini).

Unduh (download) artikel

Klik kanan, pilih 'Save link/target as'

6 comments:

Anonim mengatakan...

ini nih karakter orang indonesia, selalu mencurigai keberhasilan seseorang

susah lihat orang seneng & seneng lihat orang susah

Go ahead bu karen

Anonim mengatakan...

Wah...
payah nih..
jangan ngomong tanpa data om/tante..
kan banyak perusahaan service lain di Indonesia selain halliburton, bahkan perusahaan asli Indonesia juga ada..
jangan sembarangan ah..
malu..

Anonim mengatakan...

Kpd Anonim #1:
Mungkin bukan curiga, tapi tepatnya waspada. Itu adalah suatu keharusan sebagai bentuk kecil dari fungsi kepengawasan warga negara. Saya sudah jelaskan alasannya pada tulisan ini dan tulisan sebelumnya. Berhasil? Nanti dulu, Karen baru saja menjabat Dirut PT Pertamina (Persero).

Kpd Anonim #2:
Ada dua lainnya perusahaan konsultan migas dari Amerika spt Schlumberger dan McDermot. Halliburton yg paling populer dan paling kuat relasinya dengan pemerintah. Namun, Halliburton jg plg byk disorot karena seringkali melakukan kegiatan yang keluar dari batas politik. Anda bisa membaca lebih lengkap di situs:
http://halliburtonwatch.com
Coba Anda sendiri sebutkan perusahaan jasa konsultan migas dari Indonesia. Setahu saya tidak ada, kecuali perusahaan kerjasama dengan negara lain. Saya mendapatkan data ini dari Kompas, Detikcom, Okezone, TokohIndonesia, Halliburtonwatch, Aliansi Anti Utang, dan masih banyak lainnya. Jadi saya tdk menuliskan sembarangan. Terima kasih atas partisipasinya.

Anonim mengatakan...

eksplorasi sumber daya alam dalam negeri besar-besaran nih bisa2

Forum Perpustakaan Kampung Solo Surakarta mengatakan...

kira-kira Karen pernah punya tetangga miskin nggak yaa...???? bukan apa2 ,cuma takut kalo dia nggak pernah liat orang susah...jadi nggak pernah benar2 ngerti penderitaan rakyat.

Unknown mengatakan...

Saya menghargai usaha anda yg telah berusaha mencari data tentang Karen dan berbagi infomasi. Sebagai warga negara yg baik kita harus peduli dan mewaspadai jalannya pemerintahan ini untuk Indonesia ke depan

Posting Komentar