Nampaknya sudah menjadi kebiasaan, apabila menjelang rencana kenaikan harga BBM akan diikuti wacana untuk menghapus subsidi. Kesan negatif dilekatkan pada subsidi yang dianggap sebagai bentuk pemborosan anggaran negara. Tulisan ini tidak sekedar membahas mengenai subsidi BBM, melainkan subsidi dalam arti yang sesungguhnya. Tentunya pokok pikiran pada tulisan ini pula untuk meluruskan pertanyaan kepada siapa subsidi diberikan.
Sekilas Mengenai Subsidi
Perlu sekiranya dipersempit pembahasan di sini apabila definisi subsidi yang akan dibahas adalah definisi berdasarkan terminologi anggaran (APBN). Subsidi didefinisikan sebagai sejumlah pengeluaran anggaran dengan mekanismenya bertujuan untuk mempengaruhi harga atau tarif suatu komoditi tertentu. Sehubungan dengan alokasi anggaran terdapat pula istilah transfer pemerintah. Memiliki kemiripan dengan subsidi, akan tetapi subsidi memiliki sasaran pada harga/tarif komoditi. Lain halnya dengan transfer yang sasarannya pada aspek kesejahteraan, seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, dan bentuk alokasi kesejahteraan lainnya. Sekalipun demikian, subsidi masih digolongkan ke dalam bentuk alokasi transfer pemerintah.
Pada awalnya, subsidi hanya dikenal dan diterapkan dalam pendekatan model perekonomian sosialis dan komunis. Model kapitalisme melalui pendekatan Adam Smith sangat mengharamkan subsidi, karena dianggap akan mengganggu keseimbangan pasar. Harga harus terbentuk bebas, tanpa campur tangan pemerintah. Depresi besar di Amerika Serikat (great depression) pada periode 1929-1939 menjadi titik balik berubahnya pendekatan klasik menuju Keynesian (dicetuskan oleh John Maynard Keynes). Kegagalan pasar (kapitalisme) mendorong masuknya campur tangan pemerintah yang selama ini menjadi ciri khas paham sosialis. Di sinilah kemudian mulai masuk peran pemerintah dalam bentuk transfer dan subsidi. Subsidi (transfer pemerintah) sesungguhnya sudah ada sejak masa abad pertengahan pada masa kerajaan-kerajaan di Eropa. Para penguasa (raja) mengeluarkan kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola permintaan dan penawaran dalam perdagangan.
Pandangan para ekonom mengenai masalah subsidi terbagi ke dalam dua kubu, yaitu kubu yang pro dengan teori klasik dan kubu pro pandangan Keynesian. Saat ini seluruh negara tidak ada lagi yang menggunakan sistem perekonomian dengan kutub sosialis/komunis ataupun kapitalias. Sistem yang berkembang sejak berakhirnya PD II merupakan sistem perekonomian campuran. Negara dengan keunggulan ekonominya tentu akan lebih banyak mengalokasikan transfer anggarannya untuk masyarakat. Hampir tidak berbeda dengan masa abad pertengahan di mana para raja dan bangsawan memberikan insentif komoditi bagi rakyatnya.
Sasaran dan Orientasi Subsidi
Di negara manapun, subsidi diberikan berdasarkan pertimbangan ekonomi, bukan diberikan atas dasar sasaran individu berdasarkan kemampuan ekonominya. Misalnya, subsidi pupuk yang diberikan oleh pemerintah akan dinikmati oleh siapapun individu yang bermatapencaharian sebagai petani. Tidak peduli apakah individu petani termasuk golongan kaya atau petani miskin. Contoh lain seperti subsidi kertas yang diberikan oleh pemerintah India memiliki siapapun yang nantinya akan menjadi konsumen kertas akhir setelah diolah menjadi buku. Demikian pula halnya dengan subsidi di sektor perikanan yang diberikan oleh pemerintah di negara Norwegia. Sasaran subsidi adalah untuk mendorong sisi permintaan yang nantinya akan turut menjadi dinamika penggerak pertumbuhan ekonomi. Sekalipun termasuk ke dalam bentuk transfer pemerintah, akan tetapi sasaran dan orientasi subsidi berbeda dengan kebanyakan pengertian transfer pemerintah.
Pengertian transfer merupakan alokasi anggaran pemerintah yang diberikan dalam rangka untuk mendukung program jaring pengaman sosial. Contohnya seperti kartu sehat yang diterima oleh masyarakat dalam bentuk Askes, bantuan operasional pendidikan (BOS), beasiswa pendidikan untuk anak usia sekolah dari pemerintah, dan lain sebagainya. Bentuk pinjaman lunak dalam program kredit usaha rakyat atau KUR tidak bisa dimasukkan ke dalam transfer, karena masih adanya tuntutan pengembalian. Pemberian tranfer pemerintah tidak ada keterkaitannya dengan upaya untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, pemberian transfer dari pemerintah masih dapat ditentukan sasarannya dengan cara mempersempit cakupan sasarannya.
Subsidi akan bekaitan langsung dengan upaya kebijakan untuk membentuk harga keseimbangan (price equilibrium). Sasaran subsidi adalah siapapun yang disebut konsumen komoditi tertentu yang diberikan subsidi. Misalnya pemberian untuk subsidi BBM untuk premium (RON88), maka sasarannya adalah seluruh anggota masyarakat pengguna kendaraan bermotor. Jika sasarannya mulai ditentukan, maka tidak lagi bisa disebut subsidi, tetapi dikategorikan transfer. Misalnya untuk kasus penjualan solar murah kepada para nelayan. Dalam hal ini, pemerintah membeli solar dengan harga pasaran, kemudian menjual kepada nelayan dengan harga di bawah pasaran. Solar dengan harga murah kepada nelayan tersebut diberikan secara terbatas dan tidak akan mempengaruhi harga pasar.
Orientasi pemberian subsidi oleh pemerintah harus dilandasi oleh pertimbangan ekonomi. Misalnya, subsidi pupuk diberikan untuk mendorong produktivitas di sektor pertanian, termasuk mendorong dinamika produksi dalam industri pupuk di dalam negeri. Pemberian subsidi pupuk tadi akan memberikan dampak penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian maupun dalam industri pupuk. Demikian halnya dengan bentuk pemberian subsidi lainnya.
Bagaimana dengan subsidi BBM?
Subsidi BBM yang berlaku saat ini memiliki sasaran konsumen pengguna moda transportasi darat dan industri otomotif. Harga energi untuk transportasi yang murah akan mendorong peningkatan kurva permintaan atas kendaraan bermotor dan meningkatnya pula penggunaan transportasi. Efek secara ekonomi dari penggunaan transportasi darat termasuk sangat luas. Perputaran ekonomi akan lebih cepat terjadi pada kawasan yang sering dilalui oleh kendaraan bermotor. Dinamika permintaan dan penawaran menjadi semakin luas karena efek subsidi BBM akan mendorong munculnya dinamika perekonomian yang lain, seperti industri pariwisata, industri jasa makanan dan minuman, dan lain sebagainya yang saling mendukung adanya mobilitas tinggi. Ledakan kemakmuran pernah dialami oleh Amerika Serikat di era 1960an yang hanya dipicu oleh sarana transportasi darat.
Penghapusan subsidi BBM nantinya akan dialokasikan untuk program-program yang lebih tepat seperti program pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Pernyataan semacam ini yang dilontarkan oleh pemerintah adalah bentuk PEMBODOHAN!
Kwik Kian Gie pernah mempertanyakan alokasi subsidi BBM di tahun 2005 untuk program bantuan langsung tunai (BLT) yang ternyata hanya berjalan selama masa 2 periode. Saya katakan sebagai ‘pembodohan’, karena program pembangunan dirancang dengan menggunakan cukup banyak pertimbangan. Misalnya saja, seperti yang dikatakan oleh Wamen ESDM, apabila kebijakan pembatasan BBM akan menghemat anggaran sebesar Rp 50 triliun. Besarnya Rp 50 triliun tadi tidak kemudian otomatis akan dialokasikan ke program kesejahteraan atau pembangunan. Masalah akuntabilitas pemerintah yang rendah seperti yang dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie akan menjadi keraguan besar akan alokasi Rp 50 triliun tersebut.
Pengendalian Konsumsi Energi
Permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam setiap membuat desain kebijakan terletak pada lemahnya kemampuan untuk mengidentifikasi masalah. Setiap kebijakan yang dibuat tidak banyak memberikan solusi, melainkan menciptakan lebih banyak masalah baru. Misalnya, pemerintah beralasan apabila kebijakan pembatasan BBM dilatarbelakangi semakin membengkaknya pos alokasi anggaran untuk subsidi BBM. Terminologi berpikir tidak bisa kemudian harus berujung pada keputusan untuk melaukan pengurangan ataupun pembatasan subsidi BBM. Dalam hal ini, pernyataan membengkaknya subsidi BBM harus mendapatkan kajian secara komprehensif untuk diketahui penyebabnya, sehingga nantinya akan dibuatkan solusi kebijakan yang tepat. Bisa jadi pembengkakan subsidi tersebuat bukan berasal dari bensin premium (RON88) atau dapat pula karena adanya faktor penyimpangan penggunaan anggaran.
Jika dibuatkan asumsi apabila subsidi BBM membengkak dari sisi bensin premium, maka pengendaliannya bukan dilakukan dengan menghapuskan subsidi ataupun membatasi. Istilah pembatasan BBM sendiri akan menjadi rancu dengan pengertian subsidi atau lebih tepatnya sudah tidak ada lagi alokasi pos subsidi BBM. Apabila hasil identifikasi diketahui pembengkakan subsidi berasal dari konsumen bensin premium, maka untuk membatasinya dapat dilakukan dengan mensosialisasikan penggunaan bahan bakar gas (BBG) yang saat ini harganya lebih murah dan lebih bersih. BBG memiliki keunggulan teknis yang diharapkan akan mendorong terjadinya migrasi konsumsi dari bensin premium ke BBG. Untuk saat ini saja, stasiun pengisian BBG hanya tersedia di Jakarta, yaitu terdapat sebanyak 8 stasiun aktif dari total 16 stasiun yang tersedia. Pemerintah berkewajiban untuk membantu penyediaan infrastruktur bagi stasiun pengisian BBG di setiap daerah dan mengoptimalkan jumlah dan penggunaannya. Dengan demikian, masyarakat akan diberikan pilihan tanpa harus dipaksakan. Setidaknya butuh waktu minimal hingga 3 tahun agar nantinya pemakaian BBG bisa meluas. Dari pihak masyarakat sendiri akan diberikan kesempatan (waktu) untuk mempersiapkan konversi ke BBG bagi dirinya sendiri sebagai pilihan konsumsi energi.
Ada banyak cara untuk mengendalikan konsumsi energi (BBM) yang disesuaikan dengan permasalahan dan tujuan lain yang dikehendaki. Anggota Komisi VII DPR RI, Effendy Simbolon ketika berdialog dengan MetroTV (MHI) sempat berujar apabila tindakan pembatasan BBM yang hanya dilatarbelakangi alasan membengkaknya subsidi BBM dianggap bukan suatu tindakan yang bijaksana. Pemerintah seharusnya melakukan audit energi untuk menginvestigasi penyebab pembengkakan subsidi BBM. Data statistik produksi minyak dan konsumsi energi dari Buku “Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2010” memperlihatkan apabila Indonesia termasuk negara yang memproduksi minyak yang hasilnya digunakan untuk keperluan konsumsi sendiri dan ekspor. Setiap tahunnya Indonesia memproduksi minyak rata-rata mencapai 300 juta barel dengan rata-rata produksi sekitar 945.000 barel/hari. Pengendalian subsidi BBM harus dilandasi pada identifikasi permasalahan yang transparan. Masyarakat Indonesia berhak atas anugerah kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya mencapai kesejahteraan rakyat.
15 Januari 2012
SUBSIDI UNTUK SIAPA?
02.52
Leo Kusuma
0 comments:
Posting Komentar