17 Februari 2012

MEMPERTANYAKAN NASIONALISME STUDI LANJUT KE LUAR NEGERI

Studi lanjut di luar negeri merupakan impian bagi siapapun insan pendidikan di negeri ini. Kebanggaan, prestis, dan tentunya keinginan untuk menengok negeri lain selain negeri sendiri. Pertanyaannya lagi, perlukah harus mengambil studi di luar negeri? Jika mesti mengkedepankan idealisme, maka hanya ada 3 alasan yang menjadi pertimbangan seseorang harus mengambil studi lanjut di luar negeri. Mengapa dengan nasionalisme?

Satu ketika, Soekarno muda pernah punya keinginan untuk melanjutkan studi di luar negeri, yaitu di negeri Belanda. Keinginan tersebut ditolak oleh ibundanya. “Tidak ada salahnya. Tapi banyak jeleknya ke negeri Belanda. Apakah yang menyebabkan engkau tertarik? Pikiran untuk mencapai gelar universitas ataukah penghargaan akan mendapatkan perempuan kulit putih?”. Soekarno menjawab, “Saya ingin masuk universitas, Bu”. Dilanjutkan oleh ibundanya, “Kalau itu yang kau ingini, kau memasuki yang di sini. Pertama, kita harus mengingat kenyataan pokok yang mengendalikan sesuatu dalam hidup kita, uang. Pergi ke luar negeri memerlukan biaya yang sangat besar. Disamping itu, engkau adalah yang dilahirkan dengan darah Hindia (pribumi). Aku ingin supaya engkau di sini di antara bangsa kita sendiri. Jangan lupa sekali-kali nak, bahwa tempatmu, nasibmu, pusakamu adalah di kepulauan ini” (dikutip dari buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat” yang dituliskan oleh Cindy Adams).

Situasi yang berbeda dengan founding fathers lainnya, yaitu Mohammad Hatta yang menempuh studi lanjut di Belanda. Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga dengan perekonomian yang berkecukupan. Setelah menamatkan sekolahnya di Handel Middlebare School (Jakarta), Hatta langsung bertolak ke Rotterdam untuk mengambil studi lanjut di Nederland Handelshogeschool untuk meneruskan minatnya studi ilmu ekonomi. Satu alasan Hatta menimba ilmu di Belanda, yaitu suatu keyakinan jika bangsanya akan mampu menjadi bangsa yang mandiri suatu saat kelak. Keyakinan tersebut muncul setelah Hatta aktif dalam kegiatan partai politik di tanah air maupun yang berada di Belanda. Ketika ditanya mengapa Indonesia harus merdeka, Hatta muda berujar, jika memang bangsanya tidak bisa mandiri, tentunya tidak akan pernah ada keinginannya untuk mewujudkan kemerdekaan.

Sepenggal cuplikan kisah para pendiri bangsa mengenai pandangannya untuk mengambil studi lanjut. Alasan yang disampaikan oleh ibunda Soekarno benar adanya. Soekarno justru menjadi mahasiswa yang menonjol dan berprestasi, bahkan sempat ditakuti oleh Belanda. Hatta punya alasan tersendiri, yaitu mengembalikan seluruh ilmu yang telah diraihnya untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri. Hatta sebenarnya masih bisa hidup nyaman dengan menjadi pengajar (dosen) perguruan tinggi di Belanda. Tidak perlu bersusah payah kembali ke tanah air di mana konsep berpikirnya masih jauh bisa diimplementasikan di negeri yang masih berstatus Hindia Belanda.

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, praktis Indonesia harus memulainya dari titik nol. Kita harus memiliki engineering, pakar ekonomi, pakar sains, fisika nuklir, dan seluruh ahli teknik yang menjadi modal untuk mencapai kemandirian nasional. Soekarno mengutarakannya dengan pandangan “Berdiri di Atas Kaki Sendiri” yang kemudian dikenal dengan istilah “Berdikari”. Dikirimlah mereka yang berbakat untuk bersekolah dan menimba ilmu ke luar negeri, seperti Eropa, Sovyet (Rusia), dan Amerika Serikat. Puluhan ribu jumlah mereka yang dikirimkan studi lanjut di luar negeri dengan biaya yang cukup besar, sekalipun di dalam negeri sendiri tengah mengalami kesulitan keuangan. Sayangnya, setelah Soekarno digulingkan, tidak sedikit di antara mereka yang tidak kembali ke tanah air, karena alasan takut untuk ditangkap.

Program pengiriman mahasiswa untuk studi lanjut di luar negeri masih terus dijalankan setelah memasuki masa pemerintahan Orde Baru. Mereka umumnya dikirimkan dengan beasiswa dari pemerintah. Sekalipun demikian, tidak sedikit di antara mereka yang dikirim studi lanjut ke luar negeri yang tidak kembali lagi ke tanah air. Berbagai alasan dimunculkan seperti ketiadaan sarana pendukung yang memadai, sesuai dengan bidang yang mereka pelajari. Studi lanjut ke luar negeri saat ini tidak hanya dibiayai oleh beasiswa dari pemerintah, melainkan terdapat alternatif tawaran beasiswa dari luar negeri.

Menelusuri Alasan Studi Ke Luar Negeri
Setelah bertahun-tahun lamanya, bangsa ini masih saja terus mencari pengalaman belajar di luar negeri. Tidak sedikit perguruan tinggi di dalam negeri yang sesungguhnya telah menawarkan program studi yang mereka kehendaki. Sarana maupun fasilitas belajar di dalam negeri pun sebenarnya telah mengikuti standar kualitas pendidikan internasional. Berbagai alasan pun dimunculkan.
Pertama mengenai pemeringkatan universitas. Perguruan tinggi di luar negeri umumnya memiliki peringkat universitas di atas rata-rata perguruan tinggi di Indonesia. Pemeringkatan tersebut kemudian dikonotasikan dengan kualitas pendidikan yang diberikan oleh perguruan tinggi di luar negeri yang lebih baik.
Kedua mengenai fasilitas. Perguruan tinggi di luar negeri menawarkan sarana maupun fasilitas lebih menarik dan memadai, ketimbang perguruan tinggi di dalam negeri. Mereka memiliki sarana berupa perpustakaan yang cukup megah dan dilengkapi dengan arsip/dokumen elektronik. Dukungan penuh atas akses referensi internasional, termasuk jurnal-jurnal ilmiah.
Ketiga mengenai sistem perkuliahannya. Perlu diakui mengenai adanya perbedaan sistem perkuliahan antara perguruan tinggi di dalam negeri dan di luar negeri. Misalnya seperti sistem sesi konsultasi yang langsung ditangani oleh pengajar setingkat doktor atau dukungan tutorial yang dipandu langsung oleh tenaga-tenaga bersertifikasi tinggi. Kebiasaan pemberian pelayanan edukasi memang cukup berbeda.
Keempat mengenai kualitas tenaga pengajar. Seperti diketahui bahwa hampir sebagian besar pemrakarsa paham pemikiran yang berpengaruh di negeri ini berasal di perguruan tinggi di negeri barat. Negara-negara maju yang tergabung di dalam kelompok G-7 itu pun kebanyakan adalah negara barat. Bagi kebanyakan orang Indonesia akan beranggapan apabila pendidikan di barat akan lebih berkualitas daripada pendidikan di dalam negeri.

Jika membaca alasan di atas, saya jadi teringat kehebohan alasan studi banding yang dilakukan oleh pemerintah maupun anggota DPR RI setahun silam. Alasan melakukan studi banding sama sekali tidak rasional dan tidak ada hasil apapun yang berarti dari hasil studi banding yang memakan biaya cukup besar.

Berbagai alasan seperti yang dijelaskan di atas mungkin bisa dikatakan sebagai suatu pembenaran, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan hanyalah mitos. Berikut ini pemaparannya.
Pemeringkatan perguruan tinggi sebenarnya bekerja dengan cara yang kurang obyektif. India merupakan negara yang termasuk cukup besar menghasilkan tenaga engineering yang bekerja di negara-negara barat maupun Asia. Perguruan tinggi di India tidak dipusingkan dengan urusan pemeringkatan internasional. Sekalipun demikian, mereka termasuk paling sering melahirkan kandidat-kandidat peraih penghargaan Nobel di bidang sains.
Persepsi ataupun penilaian mengenai kualitas sarana dan fasilitas perkuliahan sebenarnya sangat relatif. Memang perlu diakui apabila universitas-universitas di luar negeri lebih banyak menjalin hubungan dengan perguruan tinggi ternama, sehingga memiliki akses yang lebih leluasa terhadap referensi internasional. Sekalipun demikian, semua akan berpulang kembali pada masing-masing individu. Pemikir-pemikir besar itu pun dulunya dibesarkan di lingkungan yang sangat terbatas sekali referensi, tetapi mereka mampu untuk menciptakan paham pemikiran sendiri.
Sistem perkuliahan di negeri barat atau di luar negeri perlu diakui lebih baik. Mahasiswa langsung ditangani oleh dosen yang bersertifikasi minimal doktoral. Sekalipun demikian, seorang pengajar di sana tidak akan begitu saja memberikan yang diinginkan mahasiswa, kecuali si mahasiswa yang berusaha menanyakannya. Sebaik apapun pelayanan pendidikannya pada akhirnya pun kembali pada masing-masing individu dapat memanfaatkannya.
Benar adanya, apabila pemikir-pemikir saat ini berasal dari negara-negara barat. Seharusnya kita pun perlu memperhatikan, apabila para pemikir besar itu pun dulunya membesarkan pemikirannya di lingkungan yang sangat terbatas.

Jika saja harus memaksakan idealisme, maka hanya ada 3 alasan jika harus mengambil studi lanjut ke luar negeri. Pertama, bidang studi yang hendak diambil tidak ada di dalam negeri atau setidaknya masih belum banyak berkembang. Bidang studi seperti ini biasanya bisa dijumpai seperti studi teknik mikrobiologi, ilmu mengenai fisika nuklir, dan beberapa bidang lainnya. Kedua, studi lanjut dikaitkan dengan studi kasus pengalaman di negara yang menjadi sasaran studi lanjut. Misalnya, Anda ingin studi ilmu ekonomi di India, karena negara tersebut memiliki karakteristik politik ekonomi yang tidak berbeda dengan Indonesia. India pun pernah memasuki masa-masa terjebak dalam pusaran utang luar negeri. Saat ini, India sudah cukup banyak melahirkan pemikir-pemikir ekonomi, termasuk poros pemikiran mengenai welfare state. Ketiga, alasan apabila pendidikan di luar negeri lebih murah, termasuk memiliki peluang untuk bekerja sambil kuliah.

Sebuah Catatan Pinggir
Seniman Sudjiwo Tedjo pernah berujar, apabila negara ini terlalu bebas mengirimkan orang-orangnya ke luar negeri untuk studi lanjut. Tanpa disadari, bahwa perguruan tinggi di luar negeri mendapatkan informasi yang cukup mudah tentang Indonesia yang seudah dilengkapi dengan analisanya. Tidak hanya itu, mereka pun dengan cukup mudah dapat memanfaatkan orang Indonesia untuk dipekerjakan menjadi sumber analisis informasi bagi mereka yang kemudian nantinya akan menjadi informasi intelijen.

Hampir sebagian besar lulusan terbaik yang dikirimkan ke luar negeri tidak ada yang kembali ke tanah air. Beberapa di antara mereka beralasan apabila ilmu yang mereka terima tidak bisa diterapkan di negerinya sendiri. Fakta yang mungkin tidak bisa dibantah, tetapi terlalu naif jika menggunakan alasan tersebut. Mereka sebenarnya masih bisa mengabdikan ilmunya dengan menjadi pengajar atau dosen. Sayangnya, hanya sedikit di antaranya yang mau mengabdikan ilmunya ke negerinya sendiri.

Beberapa di antara mereka yang lain beralasan apabila iklim studi dan riset di luar negeri sangat mendukung untuk pengembangan diri mereka. Fakta ini tidak bisa dibantah dan benar adanya. Tidak sedikit riset ilmiah sulit mendapatkan pengakuan nasional dalam bentuk paten. Sering pula terdengar apabila hasil riset para ilmuwan tidak bermanfaat di Indonesia. Justru negara-negara asing yang memiliki minat untuk mematenkan dan sekaligus menerapkannya. Sistem berpikir di negeri ini pun kurang cocok atau kurang mampu mendukung sistem berpikir yang selama ini mereka biasakan di luar negeri. Apalagi di luar negeri, seorang peneliti tidak terlalu sulit mendapatkan dana penelitian dari pemerintahnya maupun institusi swasta di negara mereka mengambil studi lanjut. Suatu realita yang tidak terbantahkan pula apabila dana penelitian yang dialokasikan di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga, bahkan hanya mencapai kurang dari 1/3 dari total dana penelitian perusahaan Microsoft setiap tahunnya. Belum lagi apabila membahas mengenai gaji tenaga pengajar dan ilmuwan di Indonesia yang masih sangat rendah. Tentu saja kondisi tersebut sangat bertolak belakang dengan kebanyakan gaya hidup orang Indonesia.

Kita mungkin kurang begitu memperhatikan kasus terbunuhnya anak bangsa di Singapura yang bernama David di tahun 2008. Kasus yang sempat mengganggu hubungan diplomatik di antara kedua negara tersebut seolah sengaja ditutupi agar memang tidak menjadi polemik di masyarakat Indonesia. David merupakan mahasiswa di perguruan tinggi Singapura yang telah menyelesaikan tugas akhir perkuliahannya. Dikabarkan David menghasilkan karya yang tergolong fenomenal di bidang teknik yang hendak diklaim oleh Singapura. Dikabarkan pula David tidak rela karyanya tersebut diklaim oleh Singapura untuk dipatenkan bagi negara tersebut. Perseteruan dengan dosennya kemudian berujung pada kematian David secara misterius. Hingga saat ini kasus kematian David masih misterius. Pihak pemerintah hanya menutup kasus tersebut sebagai kasus bunuh diri.

"Mungkin saya bisa makan enak, tidur enak punya oto, punya rumah besar. Tapi saya berdosa pada bangsa saya, dan buat apa saya hidup bila saya menanggung dosa terhadap masa depan bangsa ini"



Kutipan pernyataan di atas adalah pernyataan Soekarno ketika dirinya menolak tawaran orang pemerintahan Belanda untuk bekerja sebagai pegawai Gupernemen (semacam pegawai khusus pemerintahan). Padahal jika saja diterima tawaran tersebut, Soekarno akan mendapatkan penghasilan ratusan Gulden dari Belanda. Lebih dari cukup untuk bisa mewujudkan impian pribadinya melancong ke negeri-negeri di Eropa. Sikap penolakan atas tawaran tersebut sesungguhnya mencerminkan sikap moral dari diri Soekarno sendiri. Siapapun mungkin bisa mendebatkan, tetapi tidak bisa mendebatkan kata hati seseorang yang pernah membawa nama Indonesia begitu disegani di antara dua nama negara adidaya di masa itu.

Sebagai bangsa yang besar sudah seharusnya dan selayaknya melahirkan lebih banyak poros pemikiran baru di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Berabad-abad yang silam, Nusantara pernah menjadi pusat studi lanjut atau poros kebudayaan di dunia di masa kejayaan Sriwijaya. Demikian pula ketika memasuki kejayaan Majapahit yang menjadi poros kebudayaan Budha yang mampu menciptakan poros pemikiran dari sumbernya di India. Di masa pergerakan nasional, Soekarno misalnya memperkenalkan paradigma ilmu sosial yang disebut Marhaenisme yang sesungguhnya merupakan poros baru dari paham Marxisme. Di masa pergerakan nasional itu pula memunculkan poros baru dari pesantren yang dikelola Haji Misbach yang kemudian dikenal dengan paham “Islam Abangan”. Mungkin sedikit di antara kita yang mengetahui betapa cemerlangnya pendekatan baru dari Marxisme dari Tan Malaka yang saat ini menjadi salah satu referensi pemikiran Marxis di dunia. Mohammad Hatta memperkenalkan gagasan sosialisme yang dikenal dengan sebutan “Koperasi” dan sekaligus membedakan dengan pendekatan serupa yang digunakan di Eropa. Masih ada cukup banyak deretan nama di masa lalu yang sesungguhnya mencerminkan kemampuan bangsa Indonesia untuk menciptakan poros pemikiran baru.

Fakta sejarah mengungkapkan apabila sumberdaya manusia Indonesia dengan peringkat kualitas nomor 1 dan 2 tidak pernah mengabdikan ilmunya di negerinya sendiri. Mereka yang mengabdikan ilmunya sebagian besar dan yang menonjol adalah sumberdaya manusia dengan peringkat kualitas nomor 3 dan 4. Peringkat ke-5 biasanya dikirim ke luar negeri untuk dipekerjakan sebagai TKI/TKW. Mereka yang berada pada peringkat ke-3 dan ke-4 inilah yang saat ini menjabat sebagai pejabat publik maupun bekerja di instansi pemerintahan/swasta. Sungguh ironis sekali, jika bangsa Indonesia harus berhadapan dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang dengan kualitas sumberdaya manusia peringkat 1 dan 2. Ironis pula jika tidak sedikit di antaranya justru terdapat bangsa Indonesia sendiri yang membantu bangsa asing dengan menjadi warga negara di negara tersebut.

Sudah saatnya bangsa ini harus lebih banyak belajar dari pemikiran tokoh-tokoh di masa lalu, bahwa satu saat nanti mampu mengembalikan kejayaan di masa silam sebagai salah satu pusat kebudayaan dunia. Soekarno pernah berucap, “Sediakanlah aku 10 pemuda, maka aku akan mengguncang dunia”. Sekalipun di masa itu bangsa Indonesia sedang mengalami kesusahan, akan tetapi bangsa Indonesia masih memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi. Bangsa Jepang di masa Restorasi Meji mengirimkan putera-putera terbaiknya ke luar negeri untuk menimba ilmu yang nantinya akan digunakan dan diterapkan di negerinya. Begitu pula gagasan para pendiri bangsa ini di masa lalu, bahwa satu saat kelak bangsa ini akan mampu mewujudkan dirinya menjadi bangsa yang mandiri dan berdikari.

1 comments:

Anonim mengatakan...

izin share mas

Posting Komentar