Segala cara dan upaya akan dilakukan oleh pihak penguasa untuk mendukung kebijakannya yang sama sekali tidak berpihak pada kepentingan nasional. Mereka tidak hanya merekrut para tokoh, melainkan pula mengajak sejumlah akademisi di perguruan tinggi untuk mendukung propaganda anti subsidi BBM. Di tahun 2005 lalu, terdapat sebanyak 36 tokoh masyarakat yang dilibatkan ke dalam suatu iklan anti subsidi BBM yang dimuat di media massa maupun media elektronik. Tidak hanya itu, LPEM FEUI pun dilibatkan untuk membuat narasi ilmiah untuk mendukung kebijakan liberalisasi anti subsidi. Siapakah para tokoh tersebut, penulis di sini menyadur ulang dari tulisan yang pernah dimuatkan oleh blogger.
Iklan yang diduga berbiaya sangat mahal tersebut resmi dimuatkan di media massa pada tanggal 26 Februari 2005. Penayangan beberapa hari sebelum dilaksanakannya kenaikan harga BBM yang sekaligus menjadi tonggak untuk menghapus subsidi BBM dan subsidi non BBM di masa mendatang. Para tokoh yang direkrut untuk mendukung kebijakan anti subsidi tersebut berasal dari kalangan akademisi, peneliti, pemerhati sosial, rohaniawan, seniman, pengusaha, advokat, ekonom, politikus, dan wartawan (jurnalis). Iklan ditayangkan oleh Freedom Institute yang sekarang ini sudah dihapuskan tautannya. Berikut ini adalah nama-nama para pendukung kebijakan anti subsidi di tahun 2005:
1. Agus Sudibyo (praktisi pers, sekarang anggota dewan pers)
2. Andi Mallarangeng (politikus Partai Demokrat)
3. Anggito Abimanyu (ekonom)
4. Anton Gunawan (ekonom)
5. Ayu Utami (seniman)
6. Bimo Nugroho (penulis)
7. Dana Iswara (presenter, jurnalis)
8. Dino Patti Djalal (politikus)
9. Dodi Anbardi (pengamat politik)
10. Fikri Jufrie (praktisi pers)
11. Franz Magnis Suseno (rohaniawan, pemerhati masalah sosial)
12. Gunawan Muhammad (pengamat sosial dan politik)
13. Hadi Soesastro (ekonom)
14. Hamid Basyaib (jurnalis, praktisi pers)
15. Ichsan Loulembah (anggota DPD dari Sulawesi Tengah)
16. Jeannette Sdjunadi (kemungkinan seorang ekonom)
17. Jeffrie Geovanie (politikus Partai Golkar, dulu jurkam Amien Rais)
18. Lin Che Wei (ekonom)
19. Luthfi Assyaukanie (salah satu tokoh pendiri JIL)
20. M. Ikhsan (ekonom)
21. M. Sadli (ekonom)
22. M. Chatib Basri (ekonom, pangamat pasar modal)
23. Mohammad S. Hidayat (pengusaha, ketua KADIN)
24. Nirwan Dewanto (pengusaha)
25. Nong Darol Mahmada (salah satu pendiri JIL)
26. Nono Anwar Makarim (advokat senior)
27. Raden Pardede (ekonom CSIS)
28. Rahman Tolleng (politikus Partai Golkar asal Bandung)
29. Rizal Mallarangeng (politikus Partai Demokrat, sekarang Golkar)
30. Rustam F. Mandayun (jurnalis dan praktisi pers)
31. Saiful Mujani (peneliti pada sejumlah institusi survei)
32. Sofyan Wanandi (pengusaha)
33. Sugiarto Chandra (pengusaha)
34. Thee Kian Wie (ekonom senior)
35. Todung Mulya Lubis (advokat)
36. Ulil Abshar-Abdalla (salah satu tokoh pendiri JIL, politikus Partai Demokrat)
Jika memang kebijakan tersebut bermaksud baik atau punya itikad baik kepada rakyat, rasanya tidak perlu terlalu berlebihan menggunakan (membayar) para tokoh untuk ditampilkan ke dalam iklan anti subsidi BBM. Beberapa tokoh mungkin tidak mengetahui motif terselubung, ketika mereka direkrut, akan tetapi apa daya ‘nasi sudah menjadi bubur’ harus dijadikan sebagai pelajaran yang berharga. Kemudian, siapa tokoh masyarakat yang di tahun 2011/2012 mendukung upaya untuk menghapuskan subsidi BBM?
Jusuf Kalla (Capres 2009): “RI Butuh Pemimpin yang Berani Naikkan BBM”
(Vivanews.com, Minggu, 16 November 2011, 11:24)
Jusuf Kalla (Capres 2009): “Harga BBM Idealnya Naik Rp 2 Ribu”
(Detik.com, Minggu, 26 Februari 2012, 00:21)
Anggito Abimanyu: “Kalau Ikut Saran Kami, Pemerintah Tak Ribet Batasi BBM Subsidi”
(Detik.com, Sabtu, 14 Januari 2012, 15:45)
Nampaknya tidak akan ada para tokoh masyarakat yang secara terbuka mendukung kebijakan anti subsidi BBM. Sofyan Wanadi (pimpinan APINDO) sebenarnya tidak terlalu jelas sikapnya. Di satu sisi, Sofyan masih mentoleransi kebijakan kenaikan harga BBM hingga Rp 6.500, tetapi di sisi lain tidak menghendaki apabila tarif dasar listrik (TDL) ikut naik di tahun yang sama. Padahal pemerintah sudah beritikad akan menghapus subsidi BBM dan listrik di tahun 2012, disusul dengan dihapuskannya lebih banyak subsidi-subsidi non BBM lainnya. Segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak akan diserahkan kepada mekanisme pasar dengan menggunakan istilah harga keekononomian ataupun harga persaingan yang sehat.
Jika saja seperti bensin jenis premium dinaikkan hingga Rp 2.000, itu berarti harganya akan menjadi Rp 6.500. Menurut Menteri ESDM, Jero Wacik, harga keekonomian bensin premium saat ini sudah mencapai sekitar Rp 7.500 atau selisih sekitar Rp 1000 dengan bensin jenis Pertamax (oktan di atas 88). Harga bensin premium sebesar Rp 7.500 tentu sangat tidak bermasalah bagi mereka yang mendukung (pro) anti subsidi yang rata-rata memiliki tingkat kesejahteraan jauh lebih tinggi. Namun, harga tersebut akan sangat memukul kelompok pekerja yang berpendapatan kurang dari Rp 2 juta/bulan, terutama mereka yang sudah berkeluarga.
Jusuf Kalla (JK) yang cukup populis pada Capres 2009 lalu sempat mengunggulkan dirinya yang memiliki ketegasan mengambil sikap kenaikan harga BBM di tahun 2005. Tokoh yang saat ini namanya masih digadang untuk diunggulkan sebagai Capres 2014 ternyata tidak berubah pula sikapnya. JK berujar apabila pos subsidi BBM jika dihapus akan sangat membantu alokasi pembiayaan infrastruktur. Realitanya, beberapa tahun terakhir ini pembangunan infrastruktur melambat bukan dikarenakan faktor kekurangan anggaran, melainkan karena perencanaan yang kurang efektif, serta terlalu banyaknya korupsi. JK nampaknya mencoba untuk menutupi fakta mengenai kebobrokan dalam pengelolaan APBN yang terlaul banyak diwarnai nuansa ‘mark-up’ dan penyimpangan penggunaan anggaran.
Dahlan Iskan (Menteri BUMN) bisa dikatakan tokoh masyarakat yang dianggap oleh sebagaian masyarakat ‘merakyat’. Tetapi ‘merakyat’ belum tentu pro rakyat. Beberapa bulan yang lalu, setelah terpilih menjabat sebagai Menteri BUMN, Dahlan Iskan cukup banyak mendapatkan sorotan media. Aksi pencitraannya cukup berhasil menarik simpati sebagaian kalangan masyarakat. Sayangnya, Dahlan Iskan termasuk tokoh yang paling pertama ‘pasang badan’ turut mendukung penghapusan subsidi BBM.
Jika disebutkan pro rakyat, lalu siapa yang disebut rakyat?
Pertanyaan di atas senantiasa diangkat untuk menciptakan suatu polemik yang sesungguhnya tidak perlu. Istilah pro rakyat memiliki kesamaan makna dengan pengertian ‘kepentingan nasional’. Mereka yang disebut rakyat di sini adalah:
1. Seluruh rakyat Indonesia mulai dari Sabang hingga ujung barat Papua
2. Mereka yang bermatapencaharian mulai dari buruh tani hingga pejabat publik
3. Mereka yang berprofesi mulai dari tukang sapi hingga direktur/manajer
4. Mereka yang tinggal di pesisir, wilayah pelosok, hingga ibukota
Kepentingan nasional berarti memprioritaskan pada bangunan piramida kelompok pendapatan dan tingkat kesejahteraan yang paling besar. Siapakah mereka?
Penduduk Indonesia yang termasuk usia kerja dan bekerja, serta memiliki pendapatan rata-rata kurang dari Rp 2 juta/bulan diperkirakan teralokasi pada beberapa kelompok status pekerjaan utama menurut statistik kependudukan yang dirilis oleh BPS. Dari berbagai kajian dan studi yang dihimpun oleh penulis, diperkirakan mereka terdistribusi ke dalam kelompok status pekerjaan utama pada nomor 1, 4, 5, dan 7 pada tabel di atas. Pada kelompok inilah yang sesungguhnya paling banyak menerima manfaat dari subsidi BBM dan yang paling besar pula terkena imbasnya apabila dilakukan penghapusan subsidi BBM. Kebanyakan dari mereka bukanlah masuk ke dalam kategori keluarga miskin, sehingga tidak akan mendapatkan kompensasi tunai dari pemerintah. Pada tabel di atas, total persentase mereka setiap tahunnya diperlihatkan senantiasa di atas 70% dari total mereka yang bekerja.
Untuk apa saja mereka manfaatkan subsidi BBM?
Penggunaannya bisa bermacam aktivitas, mulai dari aktivitas pendukung sarana transportasi, termasuk angkutan umum atau dapat pula digunakan untuk sarana pendukung usaha. Jika diperhatikan dari banyaknya jumlah mereka yang bekerja, maka diperlihatkan apabila terjadi kenaikan jumlah penduduk yang bekerja setiap tahunnya dari tahun 2007 hingga 2011. Artinya, fakta statistik tersebut sekaligus menepis anggapan relatif apabila subsidi BBM dikatakan ‘salah sasaran’. Persentase penduduk yang bekerja dan masuk ke dalam kelompok kurang dari 30% inilah yang sesungguhnya jarang sekali menerima manfaat dari subsidi BBM secara langsung. Sekalipun demikian, sebagai bangunan di dalam ekosistem sosial dan ekonomi, subsidi BBM sesungguhnya dinikmati oleh seluruh kelompok pendapatan.
Apa makna jika harga BBM naik sebesar Rp 1.500 bagi mereka?
Saya akan ambil contoh yang ekstrim, yaitu apabila subsidi BBM dihilangkan sama sekali. Mungkin seperti JK, Dahlan Iskan, maupun tokoh-tokoh lain pendukung anti subsidi dan kalangan pejabat publik tidak pernah merasakan langsung beban ekonomi yang dirasakan oleh kelompok 70% tadi. Sekolah tidak lagi murah seperti dulu. Ongkos kesehatan pun seringkali mereka harus menanggung sendiri dari tabungan yang tersisa. Ironisnya, seringkali mereka ini tidak memiliki kesempatan untuk menangguhkan pendapatannya ke dalam bentuk tabungan. Belum lagi ditambah beban ekonomi akibat melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok sejak bulan Desember 2011 lalu.
Sungguh sesuatu yang jauh dari rasa keadilan sosial. Para anggota dewan yang terhormat begitu nikmatnya mencicipi APBN hanya untuk kenyamanan mereka. Kita lihat saja angka-angka fantastis yang dikorupsi atau diselewengkan oleh para politikus yang mencapai miliaran Rupiah. Belum lagi rekening-rekening mencurigakan yang tidak pernah dibongkar jaringan besarnya yang konon nilainya mencapai triliunan Rupiah. Sementara itu, rakyat sudah lebih dari cukup berusaha untuk turut berpartisipasi mendorong laju pertumbuhan ekonomi di negeri ini justru dihapuskan hak-haknya.
Mengutip slogan yang menjadi ciri khas Bpk. Dhia Prekasha Yudha, bahwa perjuangan melawan kekuasaan merupakan perjuangan ingatan melawan lupa. Ditampilkannya kembali nama-nama tokoh di atas sekedar untuk mengingatkan kita agar tidak mengulangi kekeliruan yang sama di masa mendatang. Penghapusan subsidi BBM akan menjadi pintu pembuka untuk menghapus subsidi-subsidi lainnya. Dihapuskannya subsidi merupakan tonggak keruntuhan kedaulatan NKRI. Kita ingin bangsa ini bisa mengatur dirinya sendiri, bukan diatur oleh IMF demi kepentingan bangsa lain. Akhir kata, pesan penulis kepada pembaca, bijaksanalah menggunakan energi, karena sumberdaya alam merupakan anugerah yang harus kita perlakukan dengan bijaksana.
29 Februari 2012
RAMAI-RAMAI PARA TOKOH MENDUKUNG ANTI SUBSIDI
21.17
Leo Kusuma
0 comments:
Posting Komentar