Pendapat para ahli yang disadur ulang dari acara MetroTV Saresehan Anak Negeri dengan tajuk "Runtuhnya Kedaulatan Energi" pada tanggal 9 Februari 2012. Di sini penulis hanya menyadur pendapat yang disampaikan oleh Ichsanuddin Noorsy dan Hendry Saparini yang sekaligus menjadi pembuka dan memberikan wawasan dasar mengenai permasalahan kedaulatan energi.
Ichsanuddin Noorsy
Bermula dari reformasi di mana salah satunya terdapat yang disebut Letter of Intent (LoI). Di dalam LoI tersebut, Indonesia diperintahkan untuk melakukan reformasi di sektor energi. Adapun yang disebut reformasi sektor energi merupakan bahasa lain yang disebut liberalisasi sektor energi. Setelah LoI ditandatangani oleh Soeharto dan IMF (Michael Camdeseus), muncul radiogram dari Washington ke Jakarta yang memerintahkan 4 hal, yaitu:
1. Membahas mengenai Pertamina dan Korupsi
2. Membahas mengenai PLN
3. Mengatur kedudukan Pertamina
4. Mengatur tentang draft rancangan undang-undang migas.
Bersamaan dengan radiogram tersebut, kemudian muncul dari USAID berupa pinjaman yang disertai perintah tentang pentingnya untuk pengurangan subsidi atas energi. Adapun USAID kemudian akan membantu sejumlah universitas dan LSM yang tujuannya membentuk opini publik agar masyarakat menerima opsi pencabutan subsidi dan masyarakat tidak marah atas opsi tersebut. Bagian yang paling penting dari kebijakan tersebut adalah mengatur kerjasama dengan Bank Dunia (World Bank) dan ADB (Asian Development Bank) dalam rangka merancang pencabutan subsidi energi dan melepas sektor migas menurut mekanisme pasar bebas.
Berlanjut dari pinjaman Bank Dunia sebesar 410 juta USD yang isinya sama, yaitu agar mencabut subsidi. Agar masyarakat tidak marah (kecewa), berikanlah program bantuan kesejahteraan. Muncul lagi pinjaman dari Bank Dunia pada bulan Desember 2003 dan berakhir Desember 2008 yang isinya menyatakan agar melakukan pencabutan subsidi energi dan memberikan bantuan kesejahteraan yang kemudian disebut Bantuan Tunai Langsung (BLT).
Kemudian muncul Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Migas dan Undang-Undang No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Pada tanggal 15 Desember 2004, pihak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membatalkan Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Migas. Bagian yang menarik, berselang satu bulan kemudian, pihak MK hanya membatalkan antara lain Pasal 28 (2), UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas yang berisikan, “Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”. Dalam hal ini, harga migas tidak ditentukan berdasarkan harga keekonomian, melainkan harga tersebut ditetapkan oleh pihak pemerintah.
Skenario berlanjut ke rancangan strategis BPH Migas (blueprint BPH Migas 2004-2020) dari Kementrian ESDM. Poin utama dari rancangan tersebut adalah bagaimana memberlakukan mekanisme pasar bebas pada sektor energi paling lambat tahun 2010. Sebelum itu, muncul dokumen dari National Inteligent Council (NIC) pada bulan November 2008. Dalam dokumen tersebut menyatakan perintah untuk segera mencabut sesegera mungkin subsidi untuk energi dan pangan, serta melakukan perbaikan atas perundang-undangan. Pada Undang-Undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi, pasal 7 menyatakan, “Mekanisme pasar atau harga energi tunduk pada harga keekonomian”. Bagian yang menarik, undang-undang mengenai kelistrikan yang dibatalkan pada tanggal 15 Desember 2004 justru memunculkan metamorfosis menjadi Undang-Undang No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang isinya memiliki prinsip yang sama, yaitu meliberalisasikan sektor energi. Adapun dua regulasi (undang-undang) lainnya, yakni Undang-Undang No 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi dan Undang-Undang No 4 Tahun 2010 tentang Minerba menempatkan pemerintah sebagai regulator, pengambil kebijakan, dan pemerintah hanya sebagai kuasa pertambangan. Dalam bahasa yang lebih sederhana dijelaskan apabila pemilik tidak diperkenankan menjadi pemain dan tidak diperbolehkan untuk mengelola barangnya sendiri, akan tetapi dilepaskan kepada investor-investor. Itu berarti disebutkan dalam istilah-istilah sebelumnya yang disebutkan sebagai investor asing. Dalam bahasa sederhana lain yang sering kita dengar adalah membangun iklim investasi yang sehat agar investor asing dapat melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada migas.
Kania Sutisnawinata: “Dari penjelasan tersebut, apakah sudah berdaulatkah kebijakan energi di Indonesia?”
Noorsy: Kalau mengenai berdaulat, maka akan dijawab dengan pernyataan Sekjen OECD pada tanggal 1 November 2010 dengan tegas menyatakan, “Sudah saatnya pemerintah Republik Indonesia mencabut subsidi BBM”. Apakah berdaulat jika Anda diperintah oleh OECD?
Hendry Saparini
Jika kita bicara tentang kedaulatan energi berarti kekuasaan tertinggi untuk melakukan penguasaan dan pengelolaan energi. Pertanyaannya, apakah kita masih punya kekuasaan tertinggi? Kita di sini adalah seluruh rakyat Indonesia yang menitipkan mandatnya kepada negara untuk mengelola seluruh kekayaan energi, baik yang disebut fosil maupun non fosil. Jawabannya adalah TIDAK! Mengapa? Karena kita sudah keliru di dalam paradigma atau di dalam cara pandang di mana cara pandang tersebut sudah dibelokkan, sehingga energi hanya dijadikan komoditas komersial semata, bukan sebagai komoditas strategis. Jika seperti komoditas komersial, maka siapa saja boleh menguasai dan boleh memanfaatkan, serta boleh membawa ke mana saja. Namun, jika disebut komoditas strategis, maka penguasaan sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, yaitu dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan seluruh rakyat. Dalam hal ini tidak dengan mudah menjual, tidak dengan mudah memproduksi, dan tidak dengan mudah untuk menguasai.
Paradigma yang keliru tadi, maka akhirnya kebijakan yang dipilih dan undang-undang yang dibuat adalah undang-undang yang tidak digunakan untuk kepentingan nasional. Seperti misalnya undang-undang untuk BPH Migas (UU No 22 Tahun 2001). Undang-undang tersebut adalah regulasi dari produk yang paradigmanya sudah dibelokkan, sehingga dipisah-pisah antara produsen dan penyalurannya. Ini bukan sesuatu yang benar, karena ada undang-undang tentang penanaman modal atau tentang migas yang ternyata pasal-pasalnya tidak untuk kepentingan nasional. Misalnya, ada pasal yang mengatakan akan membatasi jumlah gas alam maksimal sebesar 25% untuk kepentingan nasional, sementara sisanya dijual ke luar negeri. Ini adalah bentuk paradigma yang keliru dan tidak untuk kepentingan nasional. Demikian pula seperti yang disebutkan oleh Pak Noorsy pada pasal 28, UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas yang menentukan pada harga keekonomian. Kita memiliki cukup banyak undang-undang akan tetapi bukan untuk kepentingan nasional.
Kania Sutisnawinata: “Jika bukan untuk kepentingan nasional, berarti untuk kepentingan siapa?”
Itu berarti untuk kepentingan orang lain. Kepentingan nasional itu diartikan sebagai kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Kania Sutisnawinata: “Orang lainnya apakah bisa terindentifikasi ibu?”
Cukup jelas, karena undang-undang tadi memberikan berbagai kemudahan bagi pihak asing untuk menguasai. Dalam undang-undang penanaman modal (UU No 25 Tahun 2007) di mana anak peraturannya mengatakan bahwa sektor migas dan sektor pertambangan boleh dikuasai oleh sektor asing hingga 95%. Artinya pula, bahwa kita membuatkan regulasi untuk kepentingan orang lain, bukan untuk kepentingan kita.
Kania Sutisnawinata: “Jadi ketika kita dikatakan tidak perlu terlalu paranoid untuk melibatkan investor asing, bagaimana tanggapan ibu?”
Inilah opini yang sudah dibentuk dengan sangat cerdas, sehingga membuat seluruh rakyat Indonesia menganggap bahwa energi tersebut bukan milik kita. Jadi jangan keliru, apabila upaya di dalam menguasai sumber daya alam dan energi termasuk juga disertai dengan upaya untuk merubah paradigma dan opini masyarakat untuk meyakini, bahwa kita tidak boleh menggunakan energi dengan murah. Padahal itu adalah kekayaan alam milik kita sendiri.
Catatan Dari Penulis
Pihak penulis tidak menyajikan keseluruhan pendapat para pakar dalam acara Saresehan Anak Negeri pada tanggal 9 Februari 2012 lalu, kecuali hanya menyajikan bagian yang khusus mengulas mengenai fundamental permasalahan yang telah dibukan oleh Ichsanuddin Noorsy dan Hendry Saparini. Sekedar catatan dari penulis, disebutkan apabila salah satu alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM adalah untuk menghemat subsidi energi. Perlu diketahui, apabila perusahaan minyak seperti Exxon Mobile di tahun 2007 lalu mampu membukukan keuntungan operasionalnya di Indonesia sebesar minimal Rp 300 triliun. Rata-rata keuntungan operasional dan bagi hasil dari 4 besar perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia senantiasa di atas angka Rp 290 triliuin per tahunnya. Dengan menggunakan asumsi model bagi hasil 85:15 setelah dikurangi cost recovery di mana pemerintah memperoleh bagian sebeasr 85%, tentunya bisa dibayangkan berapa sekiranya pendapatan yang diterima oleh pemerintah setiap tahunnya. Pertanyaannya, ke mana uang tersebut?
Apakah maknanya ketika Soekarno berujar dengan penuh kemarahan, “America, go to hell with your aid”? Akar dari semua persoalan mengenai kedaulatan energi bersumber ikatan politik adanya utang luar negeri. Soekarno bukanlah sosok yang mengharamkan utang luar negeri, akan tetapi tidak menghendaki apabila utang tersebut kemudian membuat suatu ikatan politik dan sampai pada taraf pengaturan kedaulatan atas kepentingan nasional.
Disadur ulang dari catatan Facebook Note
25 Februari 2012
RUNTUHNYA KEDAULATAN ENERGI: PENDAPAT BEBERAPA PAKAR
21.24
Leo Kusuma
0 comments:
Posting Komentar