Akhirnya Menteri BUMN, Dahlan Iskan sampai pada topik yang paling sulit, yaitu polemik terhadap PT Djakarta Lloyd (Persero). Sudah lama beredar kabar kurang menyenangkan perihal BUMN yang melayani jasa angkutan pelayaran. Tahun lalu saja, pemerintah terpaksa harus menebus biaya penahanan kapal angkutnya di Singapura yang sudah terbengkalai hingga bertahun-tahun lamanya. Kini Djakarta Lloyd harus dihadapkan pada kenyataan pahit untuk dibangkrutkan.
Sejarah Panjang Pelayaran Nasional
Angkutan pelayaran merupakan usaha jasa yang memberikan angkutan barang ataupun peti kemas untuk melintasi laut maupun samudera. Jasa angkutan memiliki sejarah yang cukup panjang, sejak pertama kali manusia memanfaatkan fungsi kapal angkutan samudera. Vasco da Gama misalnya bukan semata seorang petualang, akan tetapi merangkap pula pemimpin ekspedisi angkutan bagi kerajaan Spanyol. Di Indonesia sendiri, jasa angkutan dan pelayaran dipegang oleh kongsi-kongsi perdagangan milik Hindia Belanda. Pelayanan mereka mengangkut hasil bumi dari Nusantara untuk didistribusikan atau diperdagangkan di pusat-pusat perdagangan di Asia maupun Eropa.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1945, negara tersebut belum pula memiliki perusahaan jasa pengangkutan dan pelayaran. Baru pada tanggal 18 Agustus 1950 dibentuklah perusahaan jasa pelayaran oleh para pejuang TNI-AL di Tegal yang diberi nama “Djakarta Lloyd”. Pembentukan nama itu sendiri sebenarnya menyesuaikan fakta sejarah apabila perusahaan angkutan laut dan samudera tersebut hasil pengambilalihan dari perusahaan angkutan samudera yang ditinggalkan oleh Belanda. Dalam hal ini, dipilihnya Tegal sebagai tempat kelahiran nama “Jakarta Lloyd” tidak terlepas dari peran daerah tersebut yang menjadi simbol kemaritiman di Nusantara.
Di masa awal pengoperasian perusahaan belum terdapat sumberdaya manusia yang memadai untuk menjalankan kapal-kapal angkut. Sekolah pelayaran nasional pun belum pula terbentuk dan baru terbentuk akademinya pada tahun 1957. Pada akhirnya, armada “Djakarta Lloyd” kemudian dioperasikan oleh para pelaut TNI-AL hingga selama masa beberapa tahun kemudian. Para awak TNI-AL tersebut mengoperasikan 2 buah kapal uang, yaitu SS Djakarta Raya dan SS Djatinegara. Dari dua kapal angkut tersebut diharapkan akan mampu mewujudkan operasi pelayaran global yang melintasi samudera. Djakarta Lloyd sendiri berstatus perusahaan milik negara atau BUMN yang masih memberikan pelayanan hingga tulisan ini diturunkan.
Petaka demi Petaka Menghampiri
Memasuki era rezim Orde Baru memberikan babak baru sejarah perjalanan PT Djakarta Lloyd (Persero). Dengan dikuasainya jalur angkutan laut domestik, perusahaan negara ini termasuk yang cukup menguntungkan. Istilah lain menyebutkannya sebagai ‘lahan basah’ untuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mengingat perannya yang cukup strategis, nama DL sempat menempati jajaran nama perusahaan kelas dunia.Gaya hidup mewah pun mulai terlihat di jajaran pegawai/staf maupun jajaran manajemen perusahaan. Jumlah kapal angkutan yang dengan tonase yang lebih besar pun semakin cepat bertambah guna melayani kebutuhan jasa pengangkutan laut maupun lintas samudera.
Praktik KKN memasuki di hampir semua lini pengelolaan perusahaan, termasuk pula pengaturan rekanan bisnis dengan DL. Begitu banyaknya intervensi ke dalam manajemen perusahaan menyebabkan DL hanya menjadi ‘sapi perahan’ bagi kalangan pejabat. Kiprahnya terus merosot ketika memasuki dekade 1980an. Nama ‘Djakarta Lloyd’ mulai menghilang seiring dengan semakin ketatnya persaingan jasa angkutan lintas samudera dan laut. Perusahaan milik negara ini yang semula memberikan kontribusi besar bagi APBN kemudian berangsur-angsur mendapatkan suntikan dana dari pemerintah. Kondisi keuangan perusahaan sebenarnya sudah bisa dikatakan memburuk sejak masa dekade 1990an.
Di era 1990an, PT Djakarta Lloyd (Persero) tidak lagi mendominasi jalur angkutan laut di dalam negeri. Ironisnya, tidak sedikit jasa angkutan laut milik asing yang justru paling banyak mendominasi untuk jalur transportasi angkutan laut di dalam negeri. Di pentas pelayaran global, DL sendiri mulai tersingkir dari persaingan nama-nama besar perusahaan jasa angkutan lintas samudera, bahkan kalah bersaing dengan jasa angkutan lintas samudera dari Singapura. Kita tahu sendiri, bahwa Singapura hanyalan negara kecil yang sama sekali tidak memiliki laut.
Petaka yang cukup memalukan ketika 2 buah kapal milik DL ditahan di Singapura pada tahun 2009, yaitu KM Pontianak (14 awak kapal) di bulan Juli 2009 dan KM Makassar (15 awak kapal) di bulan Februari 2009. Ironisnya, pihak pemerintah baru mengetahui kabar tersebut pada bulan Oktober 2010 lalu. Para awak kapal yang ditahan tersebut tidak diperbolehkan turun kapal hingga tuntutan tebusan oleh pihak pengadilan Singapura. Kasus penahanan ini berawal dari kasus utang DL kepada Australia National Lines (ANL) sebesar 3,3 juta USD. Gugatan dilakukan oleh pihak ANL ke pengadilan di Singapura.
Pergantian Menteri BUMN dari Mustafa Abubakar ke Dahlan Iskan memberikan nuansa baru bagi pengelolaan BUMN. Sekalipun pencitraannya mampu meraih simpati dari sebagian masyarakat, akan tetapi Dahlan Iskan tetaplah bagian dari sistem pemerintahan. Menteri BUMN Dahlan Iskan ternyata berupaya untuk merampingkan BUMN dengan menghilangkan atau menutup beberapa BUMN yang dianggap tidak dapat diselamatkan lagi. PT Djakarta Lloyd (Persero) termasuk di dalam daftar nama BUMN yang dianggap tidak dapat diselamatkan. Disebutkan, apabila PT Djakarta Lloyd (Persero) memiliki utang finansial sebesar Rp 6 triliun. Jumlah yang cukup besar, sehingga Dahlan Iskan sampai berujar lebih memilih untuk menyelamatkan Merpati Airlines ketimbang Djakarta Lloyd.
Beberapa Rekomendasi
Apapun pendekatan ataupun cara pandang terhadap BUMN, bahwa negara hendaknya memiliki prinsip dan sikap. PT Djakarta Lloyd (Persero) didirikan di tahun 1950 dengan semangat untuk mewujudkan ambisi menjadi negara maritim terbesar. Bangsa ini hendaknya tidak mengabaikan faktanya di masa lalu sebagai bangsa pelaut. Begitu pula ketika pendirian BUMN lain seperti PT Pelni (Persero). Disebutkan sebagai BUMN agar nantinya mampu untuk menjadi bagian dari mesin penggerak pertumbuhan ekonomi dan sekaligus bagian dari upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat seluruhnya.
Pada tulisan sebelumnya mengenai BUMN (klik di sini), ada pandangan yang digulirkan dari wacana privitasisasi BUMN. Dengan alasan BUMN tidak efisien untuk dikelola pemerintah, maka BUMN tersebut kemudian harus dilepaskan oleh pemerintah atau diswastanisasikan dan sekaligus diprivatisasikan. Saya tidak menyalahkan wacana tersebut, tetapi wacana privatisasi bukan dilandasi oleh upaya untuk menyelesaikan permasalahan di dalam BUMN itu sendiri. Wacana privatisasi sebenarnya merupakan usulan ataupun rekomendasi dari pihak IMF. Bisa dikatakan rekomendasi dari pihak asing yang sesungguhnya mencoba untuk mengatur negara lain. Tentu akan menjadi pertanyaan, pihak IMF seolah berusaha menutup mata atas maraknya praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di dalam pengelolaan BUMN. Selain privatisasi, pihak IMF pula yang memberikan rekomendasi untuk menjual dan menutup BUMN.
Faktanya, PT Djakarta Lloyd (Persero) memiliki utang kurang lebih Rp 6 triliun. Apakah bisa diselamatkan?
Jika yang dimaksudkan adalah penyalamatan secara finansial, mungkin akan dianggap kesia-siaan dan berbiaya mahal. Hanya dengan memberikan suntikan dana ataupun proyek-proyek bisnis tidak akan banyak membantu. Sumber permasalahannya haruslah diselesaikan terlebih dahulu, yaitu memangkas habis praktik KKN yang masih ada hingga saat ini. Hanya dengan penyelesaian tersebut tidak menjamin pula apabila PT Djakarta Lloyd (Persero) akan mampu bertahan dalam persaingan perusahaan jasa angkutan pelayaran lintas samudera.
Negara seharusnya memiliki prinsip apabila Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. PT Djakarta Lloyd (Persero) bukan semata korporasi semata, melainkan membawa simbol kemaritiman nasional. Tidak sekedar simbol, DL diharapkan pula akan mampu mendorong perusahaan jasa angkutan serupa dari dalam negeri untuk tumbuh menjadi perusahaan angkutan samudera kelas dunia. Singapura hanyalah negara kecil yang sama sekali tidak memiliki lautan. Begitu pula negara-negara Eropa daratan. Tetapi mereka memiliki perusahaan jasa angkutan lintas samudera kelas dunia. Inilah yang seharusnya menjadi motivasi kebijakan untuk mewujudkan bangsa dan negara sebagai negara maritim. Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang masih menganut asas pengelolaan BUMN. Masih ada nama seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, bahkan China.
Tidak sedikit perusahaan berstatus milik asing yang beroperasi melayani jalur angkutan laut di dalam negeri. Mereka cukup mudah menguasai jalur transportasi laut untuk pengiriman angkutan kargo dan petikemas di jalur pelayaran domestik maupun luar negeri. Ironisnya, kebutuhan angkutan laut di dalam negeri sendiri justru masih sangat tergantung kepada armada milik asing. Dalam periode 2003-2007 misalnya, jumlah kapal asing yang disewa (charter) oleh perusahaan pelayaran dalam negeri relatif menurun yaitu dari 2.447 unit tahun 2003 menjadi tinggal 1.154 unit tahun 2007. Sedangkan jumlah keagenan kapal asing meningkat dari 6.629 unit pada tahun 2003 menjadi 7.227 unit tahun 2007.
Muncul semacam anggapan apabila menyewa (charter) armada angkutan laut milik asing dianggap lebih murah ketimbang harus membangun dan mengembangkan industri kapal laut di dalam negeri. Apalagi sebagian besar bank enggan menyalurkan kredit untuk membiayai pengadaan kapal. Namun kalau pun membeli kapal dari luar negeri, meski dibebaskan dari bea masuk (0%), diharuskan untuk membayar tunai di muka PPN sebesar 10% dan PPh 7,5%. Memang pelunasan PPN dapat ditangguhkan, namun konsekuensinya, kapal atau perusahaan yang bersangkutan tidak memperoleh surat ijin beroperasi. Perusahaan hanya mendapatkan surat laut sementara yang harus diperpanjang setiap tiga bulan. Masalah lain misalnya, seperti penggantian suku cadang yang tidak tersedia di dalam negeri, meskipun bea masuk sudah tidak dikenakan, harus menempuh prosedur pembeliannya yang memakan waktu lama mulai dari permohonan ijin kepada Departemen Perhubungan, Departemen Perdagangan sampai Bea Cukai.
Akibat dari iklim usaha yang jauh dari kata ‘kondusif’ tersebut menyebabkan jalur pelayaran di dalam negeri didominasi oleh armada asing. Pada tahun 2005 saja, armada asing mendominasi hingga 60% dari total angkutan laut di dalam negeri. Dalam hal ini, tidak hanya Djakarta Lloyd yang harus terdesak dalam persaingan, melainkan industri angkutan serupa milik swasta milik Indonesia. Ironisnya, Djakarta Lloyd sendiri justru menjadi agensi bagi penyewaan kapal-kapal kargo atau petikemas milik perusahaan asing. Tidak berbeda pula nasibnya dengan PT Pelni (Persero) yang menjadi agensi kapal-kapal pesiar ketimbang harus membeli kapal pesiar.
Rasanya tidak berlebihan jika saya mengatakan pemerintah lebih suka menuruti rekomendasi dari pihak asing atas BUMN. Solusi seperti privatisasi, penjualan, maupun penutupan BUMN dianggap paling mudah. Tentunya pertimbangan nasionalisme sebagai bangsa maritim harus disingkirkan.
http://www.datacon.co.id/Angkutanlaut2008Ind.html
http://groups.yahoo.com/group/pelaut/message/2772
20 Februari 2012
SELAMATKAN DJAKARTA LLOYD!!
21.17
Leo Kusuma
2 comments:
Yup...Dahlan Iskan adalah menteri pengusaha yang PENGUASA. KALAU dia MAMPU mendirikan perusahaan MENGAPA TIDAK MAMPU MEMBERI SOLUSI utk Djakarta LLoyd demi bangsa dan negri ini. Miss management di masa lalu BUKAN berarti persh negara di jual atau di rampingkan bahkan di tutup. Sekarang saham djakarta lloyd di beli asing. Pemerintah MEMBUNUH BADAN USAHA MILIK RAKYAT BUKAN NEGARA. Contoh ? KRAKATAU DI JUAL KE POSCO KOREA. PDAM, DI JUAL KE INGGRIS, PERANCIS. NAH...LIHAT LAH NEGRI INI.... PARA PETINGGI RAKYAT YANG OMONG BESAR DAN MENJADI BUDAK ASING... TERBAIK ADALAH ALAM YANG MENYELEKSI DENGAN BENCANA...TIDAK ADA LAGI JALAN KELUAR SUPAYA TIKUS TIKUS MATI DI LUMBUNG PADI......
SALAM NUSWANTARA JAYA
terimakasih infonya.
Posting Komentar