Apakah yang terpikirkan oleh Anda, ketika mendengar nama mobil nasional? Apakah sekiranya gambaran mobil yang terbayang di benak anda? Sebagian orang akan membayangkan nama Esemka, Tawon, Komodo, Gea, dan lain sebagainya. Tetapi nama-nama tersebut ternyata dianggap mengandung perdebatan pada aspek nasional. Agya (Toyota) dan Allya (Daihatsu) yang belum lama ini diluncurkan itu pun kabarnya telah mengibarkan bendera mobil nasional. Bagaimanakah sesungguhnya definisi dan mendefinisikan mobil nasional?
Kontroversi di Masa Lalu
Istilah mobil nasional (mobnas) mulai menjadi ramai diperdengarkan setelah Toyota (Jepang) mengeluarkan seri Kijang Generasi Pertama di tahun 1977. Untuk pertama kalinya telah berhasil dibuat mobil di Indonesia. Sepenuhnya merupakan hasil fabrifikasi di Indonesia yang mendahului negara-negara tetangganya di Asia Tenggara. Seri yang digunakan tidak lagi menggunakan nama yang diberikan oleh prinsipalnya, melainkan telah menggunakan nama lokal. Debut Kijang Generasi I nampaknya terus berlanjut hingga generasi terakhir. Setelah kehadiran Kijang, kemudian bermunculan ATPM dengan mengunakan seri dengan nama lokal. Sebut saja seperti Daihatsu Taruna, Mazda seri MR, dan lain-lain. Tetapi penggunaan nama lokal agaknya kurang diminati, karena ketika itu tidak berdampak pada kemudahan ataupun keistimewaan investasi.
Kontroversi tentang istilah mobnas menjadi semakin tajam ketika muncul seri Timor S515i dan Bimantara Cakra. Keduanya dibuat dan sekaligus dirakit di Korea Selatan. Timor S515i berasal dari KIA Sephia, sedangkan Cakra dibuat oleh pabrikan Hyundai. Sebelumnya, Habibie pernah hendak mendatangkan Maleo yang dirakit di Australia, tetapi urung terlaksana. Ada pula Bakrie Group pernah hendak merealisasikan MPV pertama di Indonesia yang lagi-lagi dirakit di luar negeri. Apakah mereka ini yang lebih layak disebut mobil nasional?
Sumber Gambar: Wikipedia
Menurut versi Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor) yang disampaikan oleh Ketua I, Jongkie D. Sugiarto, definisi mobil nasional disebutkan tidak jelas (DetikOto, Kamis, 19 Januari 2012, 13.22). Kemunculan istilah tersebut tidak lain ketika munculnya Inpres tentang mobnas di tahun 1996. Seperti diketahui, kekuatan hukum atas produk hukum seperti Instruksi Presiden (Inpres) tidak bisa mengikat sepanjang masa, melainkan memiliki masa berlaku. Indonesia belum memiliki payung hukum yang kuat di bidang otomotif yang memberikan definisi atas mobil nasional. Gaikindo sendiri tidak lain merupakan bentuk asosiasi yang menjadi gabungan para ATPM.
Lain pula cara pandang dari asosiasi lokal, yaitu Asosiasi Industri Otomotif Nusantara (AsiaNusa). Menurut Ketua Bidang Marketing dan Komunikasi, Dewa Yuniardi, definisi mobil nasional merujuk pada tiga aspek, yaitu kepemilikan perusahaan atau kapital, kepemilikan atas hak paten, dan pemegang merek (prinsipal). Apabila merujuk pada versi AsiaNusa, maka seperti Timor S515i dan Bimantara Cakra yang pernah beredar di pasaran Indonesia bisa masuk ke dalam kategori mobil nasional. Dengan begitu, Toyota Agya dan Daihatsu Ayla bukan tergolong mobil nasional.
Kasus Proton di Malaysia
Pada tahun 2011, Proton Car Project kembali dipermasalahkan oleh kalangan pengamat di Malaysia. Sejak awal sesungguhnya proyek Proton sudah membawa kontroversi yang berujung pada definisi identitas nasional. Singkat kata, kontroversi tentang definisi mobil nasional di negara mereka. Sulit membedakan di antara seri keluaran Proton dan seri keluaran Mitsubishi. Seluruh desain dari seri Proton diadopsi sepenuhnya dari seri Mitsubishi. Misalnya, Proton Wira yang diadopsi dari Mitsubishi Lancer, Proton Perdana yang tidak lain adalah Mitsubishi Galant (Eterna). Kemudian muncul model Proton Savvy yang tidak lain dicontek langsung dari model MG Rover di tahun 2005. Menjadi perdebatan tentang desain maupun teknologinya yang selalu diambil dari model merek mobil lain. Disebutkan oleh salah satu pakar kebijakan publik, Lim Kit Siang, semestinya semacam Proton mengadopsi teknologi Melayu (Melayu Development Car) untuk bisa disebut national car (sumber).
Seri Proton Satria (Sumber Gambar: Wikipedia)
Merek Proton sesungguhnya identik dengan prinsipal sebelumnya, yaitu Mitsubishi. Pemerintah Malaysia mengakuisisi Proton pada tahun 1993 dari kepemilikan sebelumnya (Jepang). Melalui akuisisi tersebut, Malaysia bisa dengan mudah memiliki mobil nasional. Pada lima tahun berikutnya, melalui Proton telah dihasilkan beberapa jenis mobil (sedan) yang telah menggunakan nama dan nationality Malaysia. Dalam perkembangannya, Proton yang sejak awal sudah membawa beban utang dan biaya operasional yang cukup besar tadi ternyata berbuntut masalah yang cukup rumit. Identitas nasional atau mobil nasional mulai dipertanyakan setelah Proton mulai membuka kemitraan dengan beberapa prinsipal otomotif. Kemitraan tersebut ternyata berujung pada andil perusahaan di mana pemerintah Malaysia tidak bisa sepenuhnya mengontrol porsi kepemilikan perusahaan.
Sejak pertama dikeluarkan seri Proton dengan nama Malaysia, Proton selalu menggunakan desain yang hak intelektualnya atau patennya dimiliki oleh orang lain. Sebut saja mulai dari seri Proton Wira hingga Proton Savvy. Proton ternyata tidak memiliki paten atas desain maupun teknologinya. Lain ceritanya dengan TIMOR seri S yang dibeli dari paten sebelumnya atas KIA Sephia (Korea Selatan). Begitu pula Bimantara yang memiliki sepenuhnya paten desain maupun teknologi atas Cakra (Hyundai). Dalam hal ini, seluruh seri Proton yang pernah beredar merupakan lisensi dari seri kendaraan bermotor yang diproduksi oleh bukan Proton.
Menurut Ketua Bidang Marketing AsiaNusa, Dewa Yuniardi, setiap negara hendaknya memiliki sendiri definisi atas mobil nasional (mobnas). Ini berarti, definisi mobnas disesuaikan oleh kapasitas dan kapabilitas bangsa itu sendiri. Jika menggunakan definisi mobnas versi AsiaNusa, bisa dipastikan seluruh seri Proton tidak bisa disebut mobil nasional. Sekalipun demikian, definisi mobnas AsiaNusa tidak bisa begitu saja diimlementasikan untuk kasus di Malaysia.
Mengapa Perlu Definisi Mobnas Yang Baku?
Sejak awal dibangunnya proyek Kijang (1975), hingga saat ini belum terdapat kesepakatan tentang definisi mobil nasional. Habibie pernah mengutarakan konsep tentang mobil nasional, tetapi konsep tersebut bisa dikatakan hanya interpretasi sepihak atau bukan merupakan konsep industri dan bisnis. Ketika Indonesia membangun proyek mobnas di tahun 1996, belum terdapat pijakan atau platform yang merujuk pada terbentuknya definisi mobil nasional. Bahkan ketika Kementrian Perindustrian RI membahas tentang mobil nasional pun ternyata belum memiliki pijakan kuat berupa payung hukum setingkat undang-undang.
Pertanyaannya, mengapa perlu diperjelas definisi tentang mobil nasional? Dalam arti kata, definisi tersebut adalah baku dan berlaku secara nasional sesuai dengan prinsip-prinsip keilmuan.
Satu ketika, untuk mendorong kinerja industri nasional dalam rangka untuk mendorong kenaikan Pendapatan Nasional, pemerintah hendak memberikan insentif (financial insentive) ke seluruh badan usaha (perusahaan maupun manufaktur) di Indonesia. Ambil salah satu bidang atau sektor yang menjadi sasaran kebijakan, yaitu sektor otomotif. Tanpa ada pembatasan berupa definisi yang merujuk pada national identity, maka perusahaan seperti Toyota Astra Motor (TAM) akan mendapatkan bagian insentif tersebut. Padahal, TAM sepenuhnya sudah dimiliki oleh prinsipalnya, yaitu Toyota Motor Company (Jepang). Itu berarti, selain mendapatkan insentif finansial dari pemerintah Indonesia, pemiliknya di Jepang akan mendapatkan kemanfaatan (benefit) ekonomi dari Indonesia. Pengecualian, apabila seiring dengan dikeluarkan kebijakan tersebut, diterbitkan pula produk hukum setingkat undang-undang yang memberikan definisi baku terhadap mobil nasional.
Satu kasus lagi tentang kebijakan mobil murah yang implementasinya nanti diwujudkan ke dalam kebijakan low cost green car atau LCGC. Terhadap kebijakan tersebut, pemerintah akan mengenakan sejumlah insentif, bahkan mungkin kemudahan dalam prosedur birokrasi dan permodalan. Tentu saja, karena di dalam negeri sendiri sudah terdapat pemain lokal di mana kebijakan LCGC itu pun dibuat oleh pemerintah Indonesia, maka orientasi ataupun sasarannya akan dibedakan antara pemain lokal dan non lokal. Tetapi, tanpa landasan hukum yang kuat tentang definisi mobil nasional, maka kebijakan LCGC akan berlaku bagi siapapun pemain industri mobil di dalam negeri.
Sumber Gambar: Okezone.tv
Urgensi dari penyeragaman definisi tentang mobil nasional sesungguhnya dilatarbelakangi oleh kerancuan tentang industri mobil yang sudah sejak lama berkembang di Indonesia. Ada sebuah jarak yang cukup jelas terlihat di antara industri mobil yang berasal dari luar negeri dan industri lokal (nasional). Kebanyakan industri otomotif asal Jepang, Eropa, maupun Amerika yang pernah membuat pabrik perakitannya di Indonesia merupakan perusahaan multinasional yang telah berpengalaman atas teknologi selama puluhan tahun. Di negara manapun akan memberikan pembedaan di antara industri dengan pemain lokal dan non lokal.
Definisi Mobil Nasional Versi AsiaNusa
AsiaNusa adalah asosiasi yang mewadahi perusahaan pembuatan mobil yang modalnya dimiliki oleh orang Indonesia. Di antara nama-nama anggotanya terdapat FIN, Tawon, INKA (Gea),
AsiaNusa berbeda dengan Gaikindo yang berisikan ATPM dan sekaligus mewakili prinsipalnya di luar negeri. Berbeda prinsip dan cara pandang menyebabkan para produsen mobil nasional membentuk sendiri
Pada prinsipnya, definisi mobnas menurut AsiaNusa lebih menitikberatkan pada status nasional atau nationality atas brand maupun kepemilikan dari korporasi. Atas prinsip tersebut, setidaknya ada 5 kriteria untuk terpenuhinya industri mobil nasional, yaitu (DetikOto, 11 Januari 2012):
- Konsep perancangan oleh orang Indonesia
- Analisis Perancangan oleh orang Indonesia
- Pemilik Paten (Platform) adalah orang Indonesia
- Pemilik Perusahaan adalah orang Indonesia
- Manufaktur dan Assembly adalah orang Indonesia
Lima kriteria di atas dianggap sebagai sesuatu yang mutlak untuk harus terpenuhi. Hal ini dikarenakan untuk tetap mempertahankan orientasi atas nilai tambah yang seluruhnya beridentitas nasional. Misalnya, ketika desain dan teknologi Proton Wira merupakan lisensi atas Mitsubishi Galant, itu berarti nilai tambahya (value added) tidak lagi mengandung unsur nasional. Lain halnya, ketika Tommy Soeharto membeli hak paten atas teknologi dan desain KIA Sephia, maka nilai tambah atas TIMOR S515i menjadi milik orang Indonesia (nasional).
Sumber Gambar: LensaIndonesia.Com
Singkat kata, mobil nasional adalah mobil yang majikannya adalah kita sendiri. Hal ini menegaskan kembali, bahwa mobil nasional (mobnas) merupakan mobil yang brandnya dimiliki pengusaha nasional, dengan usaha design dan engineering sendiri menetapkan pola dan sasaran bisnis sendiri, membangun pasar dengan memilih sasaran pasar, memposisikan produk dalam kancah persaingan, merencanakan dan menetapkan karakteristik produk, mendesain dan memvalidasi desain tersebut. Poin 1 sampai dengan 5 di atas ini sangat penting, karena ini menyangkut nilai tambah dari sebuah produk. Nilai tambah sebuah produk jika hanya berpedoman pada kandungan lokal saja, maka nilai tambahnya akan relatif kecil (perhitungannya sudah standar yaitu: berat bahan baku + tenaga kerja + depresiasi mesin + profit).
Nilai tambah (value added) yang dimaksudkan dalam definisi mobnas versi AsiaNusa tidak lain merupakan komponen yang paling utama dalam menentukan besarnya indikator pendapatan nasional (national income). Dalam membahas indikator makroekonomi, indikator pendapatan yang paling utama mencerminkan kinerja perekonomian lokal/nasional di suatu negara adalah indikator pendapatan nasional. Indikator tersebut diperoleh dari besarnya Produk Domestik Bruto (PDB) dikurangi oleh komponen-komponen asing, seperti pendapatan orang asing maupun laba/keuntungan korporasi yang pemiliknya adalah orang asing.
Sebagai ilustrasi, apabila tercatat suatu penjualan kendaraan bermotor mencapai 25 juta unit di mana seluruhnya dijual oleh pihak ATPM yang prinsipnya bukan orang Indonesia, bisa dibayangkan seluruh keuntungan hasil penjualan tersebut bukan milik orang Indonesia. Dalam hal ini, orang Indonesia mungkin hanya mendapatkan porsi pendapatan yang besarnya tidak sampai di atas 25% dari total keuntungan penjualan kendaraan bermotor setiap tahunnya. Misalnya untuk membayar gaji para eksekutif, komisaris, pegawai, dan pekerja pabrik perakitannya. Isu mengenai ketimpangan pendapatan perihal investasi asing di bidang otomotif sebenarnya sudah menjadi isu nasional sejak dekade 1980an.
Ilustrasi kasus lainnya bisa digambarkan melalui rangkaian terbentuknya nilai tambah di dalam industri otomotif. Jepang, Korea Selatan, Jerman, maupun Swedia tidak banyak memiliki bahan baku untuk membuat mobil, seperti biji besi, baja, tembaga, nikel, dan lain-lain. Tetapi negara-negara tersebut memiliki yang disebut teknologi. Mereka membeli (impor) dari negara lain, sebut saja Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia mendapatkan nilai tambah (value added) dari hasil ekspor bahan baku tersebut. Bahan-bahan baku tadi kemudian diolah sedemikian rupa untuk menjadi mobil yang kemudian dijual kembali ke Indonesia. Ketika orang Indonesia membeli mobil-mobil tersebut, maka orang Indonesia harus membayarkan nilai tambah kepada orang asing. Mengingat mobil adalah barang akhir, maka nilai tambahnya lebih besar dibandingkan nilai tambah yang diterima oleh orang Indonesia ketika mengekspor bahan-bahan baku pembuat mobil.
Andaikan, terdengar sebuah berita di mana orang Indonesia berhasil membeli dan mengakuisisi perusahaan Ferrari yang bermarkas di Maranelo. Ketika itu pula, mayoritas dari total keuntungan perusahaan Ferrari bukan lagi milik bangsa Italia, melainkan dicatatkan sebagai nilai tambah milik orang Indonesia. Dalam hal ini, indikator Pendapatan Nasional bangsa Italia akan dikoreksi (berkurang), sedangkan Pendapatan Nasional dari Indonesia akan bertambah. Sekalipun kantor pusat maupun pabrik perakitannya di Italia, tetapi keuntungan atas modal dan operasionalnya akan mengalir ke Indonesia. Para pekerja, insinyur, maupun ilmuwannya boleh saja adalah orang Italia, tetapi hak atas profesi maupun nasib mereka ditentukan oleh orang Indonesia.
Ilustrasi-ilustrasi kasus di atas yang sesungguhnya pula mendasari perlunya penegasan dan keseragaman tentang definisi mobil nasional. Dengan dasar kita menjadi majikan dari produk tersebut, tidak relevan lagi untuk mempersoalkan apakah semua harus dibuat lokal atau impor. Semua keputusan pemilihan dan pembelian bahan baku dan komponen berdasarkan atas acuan Quality, Cost dan Delivery utamanya dan pertimbangan lain atas dasar kelaikan bisnis. Sasarannya adalah buat nilai tambah sebesar besarnya untuk kita di dalam negeri, rebut creamnya lebih besar dari yang kita terima sekarang.
Bagaimanakah Definisi Mobnas di Negara Lain?
Definisi mobil nasional (mobnas) sesungguhnya tidak ada dalam organisasi industri dan perkembangannya hingga saat ini. Kemunculan wacana tentang mobnas itu sendiri baru terlihat di negara-negara berkembang di dekade 1970an. Beberapa negara yang sempat memunculkan wacana dengan istilah mobnas atau national car seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Brazil, Argentina, Iran, dan Afrika Selatan. Itupun definisinya memiliki beragam penafsiran, sekalipun substansinya menitikberatkan pada aspek nationality.
Anda mungkin pernah mendengar American Car, Japanese Car, ataupun Germany Car. Nama-nama itulah yang sesungguhnya disebut mobil nasional. Sekalipun dirakit dan didesain oleh orang Indonesia, tetapi Kijang Innova tidak bisa disebut Indonesian Car. WTO mungkin tidak mengakui prinsip dan definisi atas mobil nasional, tetapi WTO pun tidak membantah tentang unsur nationality atas kapital maupun nilai tambah dari industri.
American Car sudah cukup untuk merepresentasikan definisi tentang mobil nasional di Amerika Serikat. Mereka mengaturnya ke dalam aturan hukum industri yang disebut Public Laws for The Current Congress 30501 (Legal Information Institute, CULS). Di situ disebutkan tentang “National Motor Vehicle” yang secara jelas dijabarkan definisinya per item, sehingga akan merujuk pada aspek kepemilikan atau identitas nasional atas kepemilikan faktor-faktor produksi. Isu mengenai “National Motor Vehicle” sempat ramai, ketika industri otomotif dari Jepang menyerbu ke pasar domestik di Amerika, bahkan sampai mendirikan pabrik perakitannya. Seperti Toyota, Honda, dan Kawasaki bahkan membuat versi sendiri yang khusus dijual di pasar domestik Amerika. Adapaun prinsip dan konsep mengenai kendaraan bermotor nasional versi American Assosication of Motor Vehicle Administrators (AAMVA) bisa dikatakan sama dengan definisi mobnas versi AsiaNusa.
Jika menurut Ketua Bidang Pemasaran AsiaNusa, Dewa Yuniardi yang berpandangan setiap negara harus memiliki definisi sendiri tentang mobil nasional, maka dengan melihat sejumlah kasus di beberapa negara maju, agaknya prinsip dan cara pandang mobil nasional adalah sama bagi semua negara. Studi industri yang dilakukan oleh Pickernell (1997: 338-339) menyinggung tentang beberapa unsur yang menjadi perdebatan dalam kajian keterkaitan pembeli dan suplier dari mobil Jepang dan mobil bukan Jepang. Di antara unsur tersebut meliputi kepemilikan perusahaan, kepemilikan paten dan desain, serta status manufaktur dan asemblingnya. Mungkin beberapa kalangan di sini menyebutkan dengan istilah mobil nasional. Tetapi mereka menyebutkannya dalam istilah yang lebih luas, yaitu national industry, national automobile, national motor vehicle, ataupun bentuk penyebutan lainnya. Tetapi keseluruhannya memiliki prinsip yang sesungguhnya tidak berbeda.
Dalam suatu artikel umum yang dituliskan di tajuk US Economy (About.Com), Kimberly Amadeo memberikan penegasan yang dituliskan, “Cars produced in the U.S. by foreign auto companies are not included in GNP”. Amadeo menyinggung langsung kasus produksi dan penjualan mobil Toyota di negara bagian Kentucky. Perusahaan tersebut dikatakan akan membawa pendapatan (nilai tambah) atas penjualan mobil dan truk ke Jepang. Amadeo menggunakan pendekatan dan konsep makroekonomi, sedangkan AsiaNusa menggunakan pendekatan industri yang sesungguhnya masih sama. Ini berarti, definisi mobnas versi AsiaNusa sesungguhnya pula merupakan konsep tentang industri otomotif di Amerika Serikat dan tentunya di negara-negara lain.
Penutup
Istilah mobil nasional bukanlah sebuah istilah baku dalam lingkungan pembangunan perekonomian ataupun studi pembangunan manapun. Secara konseptual sudah bisa terwakili melalui konsep pendapatan di dalam indikator makroekonomi. Nilai tambah (value added) yang dimaksudkan dalam definisi mobnas versi AsiaNusa tidak lain merupakan cermin pendapatan nasional (national income). Sekalipun demikian, sebagai sebuah negara yang dibangun di atas fondasi pembangunan di sektor industri dan manufaktur, setiap elemen yang menjadi sasaran atas kebijakan, terutama di sini elemen yang disebut mobil nasional haruslah didefinisikan atau memiliki kejelasan atas kekuatan hukum.
Referensi
Amadeo, Kimberly, Glossary of US Economy About.Com, “What Is The Gross National Product?”, diakses pada tanggal 15 Februari 2013, pukul 19.25 (link).
Pickernell, David, 1997, “Less Pain but What Gain?: A Comparison of Effectiveness and Effects of Japanese and Non-Japanese Car Assembler's Buyer-Supplier Relations in The UK Automotive Industry”, Omega, Volume 25, Issue 4 (337-395).
1 comments:
terimakasih infonya.
Posting Komentar