Karena alasan kepraktisan nominal, pemerintah telah menyusun prolegnas yang akan menjadi tahapan-tahapan dalam redenominasi mata uang rupiah. Tidak tanggung-tanggung penyederhanaan nominal yang akan diterapkan, yaitu mencapai tiga digit nominal. Uang Rp 1.000,- akan disingkat menjadi Rp 1,- yang akan berlaku pula untuk pecahan nominal yang lebih besar. Pecahan sen akan diterapkan untuk mengantisipasi pecahan-pecahan nilai yang lebih rendah dari Rp 1.000,-. Penyederhanaan tersebut tidak berarti menghilangkan nilainya, melainkan hanya menyesuaikan numerik (nominal) mata uang. Reaksi pro dan kontra pun bermunculan, karena kondisi perekonomian Indonesia saat ini tidak terlalu krusial untuk dipaksakan melakukan redenominasi mata uang.
Latar Belakang
Kondisi yang melatarbelakangi tindakan untuk melakukan redenominasi mata uang adalah tekanan inflasi yang semakin sulit dikendalikan. Inflasi adalah suatu kondisi moneter yang berwujud perubahan nilai uang dalam bentuk kenaikan harga atau disebut juga kondisi kenaikan harga. Misalnya, di tahun 1990, untuk membeli 1 ekor ayam dibutuhkan uang sebesar Rp 10.000. Kemudian di tahun 2005, harga satu ekor ayam harus ditebus dengan uang Rp 35.000. Dari tahun 1995 hingga 2005 telah terjadi inflasi atas harga ayam dari sebesar Rp 10.000/ekor menjadi Rp 35.000/ekor atau mengalami inflasi sebesar 250%. Artinya, pada tahun 2005 membutuhkan lebih banyak uang Rupiah untuk bisa membeli seekor ayam daripada tahun 1995.
Ilustrasi lain akan digunakan tindakan untuk menyimpan uang yang berarti pula menyimpan nilai mata uang tersebut. Karena alasan tertentu, seseorang menyimpan kekayaannya ke dalam bentuk uang tunai yang seluruhnya bernilai Rp 1.000.000 pada tahun 1995. Orang tersebut tidak menyimpan uangnya di bank atau disimpan ke dalam aset fisik lainnya, melainkan tetap disimpan ke dalam bentuk uang tunai (cash). Pada tahun1995, uang tunai senilai Rp 1.000.000 memiliki kekuatan pembelian yang lebih tinggi dengan menggunakan pedoman rata-rata upah pekerja (UMR) di masa sekitar Rp 250.000/bulan. Sepuluh tahun kemudian, orang tersebut baru mengambil kembali uang disimpannya untuk digunakan memenuhi keperluan tertentu. Namun, nilai uang yang tersebut tidak lagi sekuat ketika pertama kali disimpan. Upah rata-rata pekerja pada tahun 2005 telah mencapai Rp 850.000/bulan. Artinya, setelah diambil pada tahun 2010, nilai uang hanya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok selama sebulan dan sedikit konsumsi barang-barang tertentu.
Pada kasus kedua, andai saja orang tersebut menyimpan uangnya ke dalam bentuk deposito berjangka, apakah cukup membantu untuk menjaga nilai uang yang dimilikinya?
Setelah dilakukan perhitungan tingkat suku bunga yang jatuh tempo setiap 12 bulan masih belum mampu untuk menahan nilai uang yang terus tergerus (merosot). Tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh kelembagaan perbankan tidak cukup kuat untuk menjaga stabilitas nilai mata uang, terutama nilai kekayaan. Jika tidak pernah diambil, dengan tingkat suku bunga 5%, si pemilik deposito mungkin hanya akan menerima tambahan tidak lebih dari Rp 1 juta hingga 10 tahun lamanya. Faktor inflasi yang kemudian menjadi penyebab semakin tergerusnya nilai mata uang, sehingga stabilitas nilai moneternya menjadi semakin rendah.
Seberapakah menguntungkan, ketika memegang kekayaan dalam bentuk mata uang rupiah? Tingkat suku bunga di Indonesia termasuk cukup besar dengan rata-rata per tahunnya mencapai di atas 5%. Tetapi tingkat inflasi di Indonesia ini pun tidak kalah besarnya, sehingga keuntungan secara moneter dari tingkat suku bunga menjadi tidak berarti, karena harus digunakan untuk menutupi kerugian waktu atas inflasi. Artinya, individu tidak akan berlama-lama mengkonversikan kekayaannya ke dalam alat likuid berupa mata uang rupiah. Lain ceritanya apabila kekayaan tersebut dikonversikan ke mata uang asing. Misalnya seperti dolar Amerika yang nilainya relatif lebih stabil dibandingkan nilai mata uang rupiah yang semakin tergerus sepanjang tahun.
Nilai dari suatu mata uang ditentukan pula oleh faktor-faktor eskternal yang berasal dari sisi neraca pembayaran. Semakin besar rupiah yang diperlukan ataupun dipersiapkan untuk ditukarkan ke mata uang asing, akan semakin besar pula nilai rupiah merosot dibandingkan mata uang negara lain. Dari sisi neraca pembayaran, permintaan akan mata uang rupiah relatif rendah dibandingkan permintaan akan mata uang asing. Akibatnya, nilai tukar mata uang rupiah (kurs) pun menjadi semakin rendah. Itu berarti, Indonesia akan membayar lebih mahal atas barang-barang ataupun jasa yang didatangkan dari luar negeri untuk digunakan atau dikonsumsi di dalam negeri. Naiknya harga barang-barang tersebut akan turut berdampak memicu kenaikan inflasi di dalam negeri.
Berbagai Upaya Stabilitas
Ketika suatu permasalahan moneter terus berakumulasi tanpa dapat ditekan implikasinya melalui instrumen monter yang tersedia, maka di sinilah kemudian diperlukan untuk diambil suatu tindakan (kebijakan) radikal. Terkait dengan semakin tergerusnya nilai mata uang, terdapat dua kebijakan moneter yang populer digunakan, yaitu sanering dan devaluasi. Sejarah kebijakan moneter di Indonesia mencatatkan beberapa kali melakukan sanering dan beberapa kali pula melakukan devaluasi. Kedua kebijakan radikal di bidang moneter tersebut memiliki tujuan yang sama berupa penyesuaian ulang terhadap nilai mata uang. Melalui penyesuaian tersebut diharapkan akan dapat membuka peluang untuk mengendalikan tingkat inflasi.
Kebijakan sanering merupakan tindakan untuk melakukan pemotongan atau penurunan nilai mata uang. Tujuannya untuk menurunkan daya beli masyarakat, karena fenomena inflasi yang menjadi sumber masalah berasal dari inflasi permintaan (demand side push inflation). Apabila daya beli masyarakat menurun, mereka akan mengurangi pula sejumlah pembelian, sehingga akan menurunkan sisi permintaan. Berkurangnya sisi permintaan diharapkan akan secara perlahan dapat mengendalikan tingkat inflasi. Fenomena inflasi sisi permintaan dipicu pula oleh semakin banyaknya jumlah uang beredar, sehingga ekspektasi terhadap harga dan permintaan menjadi semakin tinggi.
Jika tidak dilakukan upaya berupa sanering, maka nilai mata uang rupiah akan semakin merosot akibat semakin tidak terkendalinya tingkat inflasi. Dalam jangka pendek, negara akan mengeluarkan uang lebih banyak untuk bisa melaksanakan transaksi internasional yang tercatat dalam neraca pembayaran. Jika kondisi ini berlangsung terus tanpa terkendali akan berakibat kebangkrutan di mana negara tidak dapat memiliki lagi kapital untuk membeli sejumlah devisa. Oleh karenanya, dalam jangka pendek diperlukan tindakan pengendalian, seperti sanering yang memotong nilai dari pecahan mata uang terbesar. Misalnya seperti pada tahun 1959, uang Rp 500 dipotong nilainya tinggal 10% menjadi Rp 50.
Redenominasi Sebagai Kebijakan Alternatif
Dalam konteks uang sebagai alat pembayaran, denominasi yang berarti nilai uang yang tercantum pada fisik uang pada berbagai bentuk pecahan yang terkecil hingga pecahan yang tertinggi yang beredar di masyarakat. Misalnya, untuk mata uang rupiah saat ini memiliki pecahan terendah Rp 50 hingga pecahan tertinggi Rp 100.000. Mata uang rupiah yang beredar saat ini tidak memiliki nominasi dalam satuan sen. Ini berarti, denominasi mata uang rupiah termasuk tinggi, karena selain tidak lagi memiliki satuan sen, pecahan tertingginya mampu melampaui lebih dari 100 kali lipat pecahan tertingginya. Salah satu ciri dari rendahnya nilai mata uang suatu negara diperlihatkan dari tingkat denominasinya.
Tingkat denominasi suatu mata uang akan berdampak pada fleksibilitas penggunaan uang di masyarakat. Misalnya untuk membawa kekayaan tunai senilai Rp 10.000.000 diperlukan setidaknya pecahan tertinggi Rp 100.000 sebanyak 100 lembar. Bandingkan apabila nilai kekayaan tersebut kemudian dikonversikan ke dalam mata uang dolar Amerika yang hanya membutuhkan 11 lembar pecahan 100 dolar. Bagaimana halnya apabila hendak membawa kekayaan tunai sebanyak Rp 100.000.000 atau nilai yang lebih besar lagi?
Tingkat denominasi mata uang yang terlalu tinggi akan berdampak pada kepraktisan dalam melakukan transaksi tunai. Aspek kepraktisan tersebut cukup berpengaruh terhadap kemauan atau minat individu dalam memegang kekayaan dalam bentuk uang tunai (cash). Kepraktisan itu pula yang akan berdampak pada daya tarik moneter akan suatu mata uang. Semakin tinggi tingkat kepraktisannya, maka orang akan lebih nyaman memegang kekayaan tunai dalam bentuk mata uang tersebut. Dalam konteks transaksi keuangan antar negara, apabila lebih banyak orang suka atau tertarik terhadap mata uang negara tertentu, maka mata uang negara tersebut akan diminati, sehingga akan mampu mendongkrak tingkat permintaan atas mata uang negara tersebut.
Re-denominasi atau redenominasi adalah suatu kebijakan berupa tindakan untuk melakukan penyederhanaan sejumlah nominasi atau satuan nominal dari mata uang, tanpa mengurangi nilai intrinsiknya. Tujuannya tentu saja untuk mengurangi tingginya tingkat denominasi mata uang yang beredar di masyarakat. Penyederhanaan nominal pada suatu mata uang diharapkan akan menaikkan tingkat kepraktisan dalam bertransaksi, sehingga diharapkan pula akan meningkatkan minat individu untuk semakin lama memegang kekayaan tunai ke dalam bentuk mata uang tertentu.
Redenominasi sebenarnya tidak termasuk ke dalam kategori kebijakan moneter seperti sanering ataupun devaluasi. Dalam berbagai buku teks ekonomi moneter disebutkan, kebijakan moneter adalah suatu kebijakan yang dilakukan oleh pihak otoritas moneter dengan memanfaatkan sejumlah instrumen-instrumen moneter yang tujuannya untuk memberikan dampak ataupun pengaruh terhadap nilai dari suatu mata uang tertentu. Sekalipun dalam hal ini kewenangan terdapat pada otoritas moneter, tetapi redenominasi bukanlah bertujuan atau memiliki sasaran untuk mempengaruhi nilai mata uang. Kebijakan redenominasi serupa dengan kebijakan penggantian fisik mata uang seperti yang berulangkali dilakukan pada mata uang rupiah. Itu sebabnya kurang relevan untuk membandingkan kebijakan redenominasi dan kebijakan moneter lain seperti sanering ataupun devaluasi.
Mengapa Rupiah Disebut Mata Uang Sampah?
Tidak menguntungkan untuk dijadikan sebagai satuan penyimpan nilai kekayaan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Nilainya sangat mudah berfluktuasi apabila terjadi guncangan (shock) atas sejumlah mata uang utama di dunia (USD, Euro, Yen, dan GBR). Instrumen moneter yang tersedia di negara asalnya tidak sepenuhnya bisa menjamin nilai mata uang negara tersebut. Cadangan devisa yang tersedia pun tidak cukup mampu secara psikologis mampu mempengaruhi keseimbangan pasar uang, terutama yang melibatkan permitaan dan penawaran mata uang negara tersebut. Inilah beberapa kondisi mata uang suatu negara disebut sebagai mata uang sampah.
Dalam transaksi internasional, seseorang atau individu akan merugi apabila menyimpan kekayaannya ke dalam mata uang rupiah. Selain tingkat denominasinya yang terlalu tinggi, tidak ada jaminan nilai kekayaan akan bertahan atau tidak terkoreksi dalam jangka pendek. Sebagai contoh, pada tanggal 5 Desember ditukarkan sejumlah kekayaan senilai USD 5.000 ke dalam mata uang rupiah. Dengan asumsi kurs Rp 9.200/USD akan diperoleh uang dengan nominal sebesar Rp 46.000.000. Jika disimpan ke dalam bentuk rupiah, nilai kekayaan riil-nya mungkin tidak sampai 80% dari nilai nominalnya. Lain cerita, ketika disimpan ke dalam bentuk mata uang ringgit (Malaysia) di mana kekayaan riilnya masih bisa di atas 90% dari kekayaan nominalnya. Satu bulan kemudian, nilai kekayaan dalam mata uang rupiah akan lebih sulit diprediksi ketimbang apabila disimpan ke dalam mata uang ringgit ataupun bath (Thailand).
Tingkat denominasi mata uang sesungguhnya bukanlah faktor yang krusial menentukan nilai mata uang. Ada kekeliruan penafsiran, tingkat denominasi mata uang berkorelasi dengan nilai mata uang. Tetapi benar adanya, apabila tingkat denominasi akan merefleksikan kekuatan dari nilai suatu mata uang. Sekalipun tingkat denominasinya tinggi, tetapi risiko kurs terhadap mata uang tersebut masih relatif rendah, maka mata uang tersebut masih akan diminati (bukan mata uang sampah). Hal ini nanti akan terlihat dari nilai riil suatu kekayaan yang disimpan ke dalam bentuk kekayaan tunai.
Mengenai tingkat denominasi mata uang baru akan menjadi persoalan ketika dilakukan transaksi atau pembayaran. Misalnya, seorang turis memilih untuk mengunjungi Indonesia sebagai tempat berlibur. Dengan membaya kekayaan tunai sebesar USD 10.000, kemudian akan dikonversikan ke rupiah sebanyak USD 6.000 untuk keperluan transaksi tunai selama 4 hari. Itu berarti, jika menggunakan asumsi kurs saat itu sebesar Rp 9.200/USD, maka turis tadi memperoleh rupiah sebesar Rp 55.200.000. Artinya, turis tadi akan mendapatkan pecahan Rp 100.000 sebanyak 552 lembar. Sekedar dompet saja tidak akan muat, tetapi membutuhkan tas ukuran kecil untuk menyimpan uang sebanyak Rp 55.200.000. Semakin kurang nyaman, karena Bank Indonesia telah mengeluarkan aturan berupa larangan melakukan transaksi di wilayah NKRI dengan mata uang asing.
Apakah Dampak Redenominasi
Dalam beberapa paparan yang dimuat oleh media menuliskan nama-nama negara yang disebutkan sukses melakukan redenominasi mata uang. Sayangnya, paparan tersebut tidak menerangkan ukuran sukses dalam melakukan redenominasi. Mungkin yang dimaksudkan negara-negara tersebut mampu melewati masa-masa penyesuaian di dalam masa transisinya. Hal ikhwal dilakukannya redenominasi ini pun terlewat dalam paparan. Padahal, latar belakang permasalahan moneter sangat penting untuk diketahui agar dapat diketahui motif kebijakan ekonomi sehingga perlu melakukan tindakan penyederhaaan denominasi mata uang. Secara umum, dampak redenominasi terhadap perekonomian seharusnya tidak ada atau bisa dikatakan minimal.
Persoalan di dalam redenominasi mata uang mungkin hanya terlihat pada besarnya ongkos yang mesti dikompensasikan mulai dari masa sosialisasi hingga selama masa transisi. Nantinya negara akan menerbitkan dua bentuk mata uang yang memiliki nilai nominal berbeda, tetapi memiliki nilai intrinsik yang sama. Misalnya untuk kasus di Indonesia, akan dikeluarkan pecahan Rp 100 untuk berdampingan dengan pecahan Rp 100.000. Belum lagi nantinya akan dikeluarkan pula pecahan dalam bentuk satuan sen. Indonesia sendiri membutuhkan masa transisi untuk proses penyesuaian tiga digit hingga 5 tahun. Ini berarti pula, negara harus menjamin pasokan uang tunai di masyarakat ke dalam dua bentuk alat pembayaran yang berbeda.
Salah satu bentuk pendapat kontra terhadap kebijakan redenominasi mata uang nampaknya terletak pada proses penyesuaian di masa transisi. Dalam hal ini termasuk di dalamnya ongkos sosial ataupun kerugian ekonomi yang akan dikompensasikan oleh masyarakat selama proses penyesuaian tersebut. Misalnya, kalangan yang akan kesulitan menerima proses penyesuaian tersebut berasal dari kalangan di lantai bursa. Di Indonesia sendiri, tidak sedikit di antara saham perusahaan yang memiliki nilai nominal sahamnya di bawah Rp 1.000/lembar. Di kalangan masyarakat lain, ada spekulasi berupa kecenderungan untuk membulatkan harga yang berarti bisa diturunkan (deflasi) atau dinaikkan (inflasi). Dengan latar belakang sosial dan ekonomi yang berbeda, masa transisi di Turki tidak bisa begitu saja disamakan dengan masa transisi yang mungkin akan terjadi di Indonesia.
Perlukah Redenominasi atas Mata Rupiah?
Ada beragam interpretasi ataupun persepsi untuk memberikan penjelasan atas pertanyaan tersebut. Namun, pertanyaan yang lebih penting, apakah perekonomian Indonesia masih bisa bertahan apabila tidak dilakukan redenominasi? Apakah tanpa melakukan redenominasi akan menciptakan semacam kebangkrutan ekonomi di dalam negeri?
Dalam beberapa paparan di media disebutkan rupiah menjadi mata uang sampah kemudian dihubungkan dengan kebijakan redenominasi. Mata uang rupiah tetap akan menjadi mata uang sampah selama tidak ada upaya untuk mempengaruhi faktor-faktor yang menciptakan fluktuasi atas nilai mata uang. Untuk membeli satu ekor ayam tetap dibutuhkan kelipatan yang sama dari uang lembaran tertentu, seperti 4 kali lembaran Rp 10.000 atau 4 kali lembaran Rp 10 hasil redenominasi. Persepsi kalangan pasar uang atas risiko kurs atas mata uang rupiah hasil redenominasi itu pun tidak akan bergeser. Mereka tetap akan enggan untuk menyimpan kekayaannya ke dalam bentuk kekayaan tunai berwujud mata uang rupiah.
Mengenai alasan kemanfaatan berupa kepraktisan dalam memegang kekayaan tunai masih bisa diperdebatkan. Seberapakah manfaat tersebut bisa dirasakan oleh kebanyakan rakyat Indonesia? Jika alasan kepraktisan, seberapakah ketidakpraktisan tersebut dapat mengganggu keseimbangan perekonomian di dalam negeri? Tidak sedikit jenis transaksi tertentu dalam jumlah nominal besar yang mengharuskan dilakukan secara tunai. Misalnya, pengambilan gaji pegawai dari bank, pembelian kendaraan bermotor, pembelian produk-produk elektronik, dan lain sebagainya. Beberapa kalangan masyarakat mungkin membutuhkan uang tunai untuk dibelanjakan dalam durasi waktu yang pendek seperti wisatawan, pekerja sementara, ataupun masyarakat rumah tangga? Seberapakah kemanfaatan atas penyederhanaan nominal tadi bagi mereka dalam bertransaksi, apakah akan merubah pola/kebiasaan dalam bertransaksi?
Ada semacam kekhawatiran, apabila nilai mata uang rupiah akan terus tergerus hingga pihak otoritas moneter akan mengeluarkan pecahan yang lebih besar dari pecahan nominal terbesar saat ini. Kekhawatiran semacam ini sesungguhnya justru dipicu oleh perilaku masyarakat yang membuat peredaran uang tunai semakin melonjak. Maraknya praktik pencucian uang merupakan salah satu sumber masalah yang kemudian menyebabkan tingkat denominasi mata uang rupiah menjadi semakin meningkat. Praktik pencucian uang dilakukan oleh mereka yang memiliki aktivitas ilegal, termasuk uang hasil korupsi pula. Pola kebiasaan ini bisa dibatasi dengan mengeluarkan aturan pembatasan transaksi tunai untuk mengendalikan transaksi-transaksi yang dapat mendorong tingkat denominasi mata uang menjadi semakin tinggi. Bisa jadi, redenominasi rupiah justru menguntungkan pelaku transaksi ilegal (pencucian uang), sehingga sekalipun dilakukan redenominasi tidak akan menyelesaikan sumber masalahnya.
Ketimbang melakukan redenominasi mata uang rupiah, akan lebih baik apabila negara bisa lebih fokus untuk memperkuat nilai mata uang rupiah. Angka inflasi tahunan hingga mencapai di atas 4% sesungguhnya menunjukkan betapa tidak sehatnya sebuah perekonomian. Metode kebijakan moneter dengan menggunakan inflasi sebagai sasaran nampaknya hanya menciptakan model ekonomi berbiaya tinggi. Biaya investasi berdasarkan bunga pinjaman/kredit di Indonesia termasuk yang paling tinggi di kawasan Asia Tenggara, bahkan di level Asia.
1 comments:
Wah keren sekali, coba liat juga nih E-money Mudahkan Hidupmu!
Posting Komentar