Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup (KWPLH) Balikpapan merupakan pusat konservasi satwa beruang madu yang terletak di Propinsi Kalimantan Timur. Sama halnya dengan Bornean Sun Bear Conservation Center (BSBCC) yang terletak di Sandakan Town, Sabah, Malaysia. Artinya, KWPLH tidaklah sendirian di mana BSBCC merupakan pusat konservasi beruang madu terbesar di dunia. Pada posting mengenai lingkungan hidup kali ini akan diulas mengenai BSBCC dan pembandingannya dengan KWPLH di Indonesia.
Profil Singkat BSBCC
Dalam situsnya, BSBCC mengklaim lokasinya sebagai satu-satunya pusat konservasi beruang madu di dunia (BSBCC, About US). Cukup masuk akal, karena lokasi enklosur tersebut didesain mampu menampung hingga 50 ekor beruang madu. Saat ini saja, BSBCC telah merawat dan mengawasi sebanyak 26 ekor beruang madu yang diperoleh dari hasil sitaan satwa liar di masyarakat setempat. Lokasi pendiriannya terletak di negara bagian Sabah, tepatnya Sandakan Town yang berdampingan dengan pusat konservasi orang utan Sepilok. Gagasan pendirian tersebut berdasarkan fakta penelitian setelah ditemukannya habitat beruang madu yang cukup besar di lokasi hutan belantara Kota Sandakan (Elopura). Dari penelitian tersebut memuat fakta pula, populasi beruang madu semakin cepat menyusut akibat perburuan dan deforestasi di beberapa kawasan hutan lindung.
Pada tahun 2008, atas prakarsa pemerintah daerah Sandakan dan Departemen Kehutanan Negara Bagian Sabah, kemudian didirikanlah pusat konservasi beruang madu. Tujuan awalnya adalah untuk menjadi lokasi perawatan (termasuk karantina) dan rehabilitasi satwa beruang madu. Dalam perkembangannya, beruang madu hasil sitaaan yang dititipkan semakin bertambah banyak, sehingga mendorong pihak pengelola untuk melakukan perombakan atas desain lokasi dan orientasi konservasi. Pada tahun 2010, pihak pemda setempat menambahkan kawasan khusus untuk konservasi dengan menggunakan kawasan hutan lindung yang diawasi khusus oleh petugas dari departemen kehutanan maupun petugas satwa liar.
Pendirian dan pengembangan BSBCC di sana sudah menggabungkan antara orientasi untuk konservasi lingkungan (terutama satwa liar) dan pariwisata (ekowisata). Konsep tersebut baru akan direalisasikan di tahun 2013. Orientasinya pun mulai mengalami perluasan dari fungsi konservasi, kemudian menjadi fungsi pendidikan (education center).
Pada awal pendirian, pendanaan operasional dari tahun 2008 hingga 2010 sepenuhnya didukung oleh pemerintah daerah setempat dibantu departemen kehutanan Malaysia. Keterlibatan pemerintah pusat Malaysia dikarenakan kawasan hutan lindung yang menjadi habitat enklosur beruang madu di Sabah adalah kawasan yang dinyatakan berstatus nasional. Dari pihak pemerintah daerah Sandakan sendiri mengalokasikan pendanaan operasional sebesar Rp 1,8 miliar setiap tahun. Pengelolaan pusat konservasi beruang madu tersebut menjadi satu bagian dengan pengelolaan kawasan hutan lindung atau taman nasional. Itu sebabnya, kawasan konservasi beruang madu menempati ruang yang tidak berjauhan dengan ruang konservasi orang utan di Sabah (Sepilok Rainforest Reserve).
BSBCC dibangun dan dikembangkan ke dalam 3 tahap struktural. Pada tahap pertama difokuskan untuk membangun sebanyak 20 rumah alami beruang madu di hutan lindung Sepilok. Target yang hendak dicapai adalah mengumpulkan sebanyak mungkin beruang madu yang diperoleh dari hasil sitaan untuk diberikan perawatan dan perlindungan. Pada tahap pertama ini akan dibangun fasilitas bagi pengunjung yang hendak melihat langsung lokasi konservasi beruang madu. Tahap pertama ditargetkan rampung di tahun 2010. Pada tahap kedua, mulai dikembangkan cakupan dan kapasitas (daya tampung ruang) untuk beruang madu hingga mampu mengelola sampai 50 ekor beruang madu. Ruang karantina telah tersedia yang bisa menampung hingga sebanyak 10 ekor beruang madu. Dimulailah upaya untuk membuat logo dan cenderamata khusus bagi para pengunjung. Fasilitas bagi pengunjung diperbaiki dan diperpanjang daya jangkaunya. Pada tahap kedua ini rampung di pertengahan tahun 2012. Selanjutnya, pada tahap ketiga mulai melakukan perencanaan pendanaan yang membuka pintu bagi masuknya donatur dari semua pihak, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Sekilas Mengenai Kota Sandakan
Kota Sandakan adalah kota terbesar kedua di negara bagian Sabah. Kota yang dikenal dengan nama Elopura atau dikenal pula dengan sebutan Little Hongkong tersebut terletak di bagian muara teluk Sandakan. Sandakan adalah pintu gerbang ekowisata terbesar di Malaysia. Sebelumnya, mereka memiliki obyek ekowisata seperti Sepilok Orang Utan Rehabilitation Center, The Rainforest Discovery Center, Turtle Islands Park, Kinabatangan River, dan Gomantong Caves. Kota Sandakan sendiri merupakan kota terpenting kedua setelah Kota Kinabalu dengan pelabuhan laut yang menjadi penghubung angkutan untuk minyak kelapa sawit, tembakau, cokelat, kopi, dan rami dari Manila. Selain mengandalkan lokasinya sebagai kawasan perdagangan, Kota Sandakan sesungguhnya lebih banyak mengandalkan potensi dari ekowisata.
Sumber Gambar: SabahTourism.Com
Dilihat dari struktur alamnya, Kota Sandakan bisa dikatakan hanya bergantung dengan faktor lokasi dan keuntungan dari keberadaan biodiversitas di daerah tersebut. Karakteristik hutan lindung Sepilok bisa dikatakan hampir tidak berbeda dengan kebanyakan hutan lindung di Kalimantan. Teluk Sandakan ini pun menjadi satu bagian dari paket ekowisata yang ditawarkan pemda setempat dan sekaligus menjadi kunci perekonomian lokal.
Kepengelolaan BSBCC
Secara administratif, BSBCC masih berada di bawah naungan pemda Kota Sandakan. Kepengelolaannya pun merupakan kerjasama antara Pemkot Sandakan dan Departemen Kehutanan Sabah bersama Divisi Satwa Liar Sabah. Sepenuhnya dikelola oleh orang lokal yang diperbantukan dengan tenaga-tenaga asing. Mengenai keterlibatan tenaga asing tersebut dimaksudkan sebagai bentuk kerjasama ilmu pengetahuan, kerjasama teknikal, maupun kerjasama untuk keperluan promosi ekowisata. Keseluruhan aktivitas dalam konservasi beruang madu berada di bawah panduan dari Sie Te Wong yang sekaligus menjadi pendiri BSBCC.
Sie Te Wong tidak lain adalah aktivis lingkungan lokal yang telah melakukan proyek lingkungan selama hampir 13 tahun. Kiprahnya sebagai seorang ilmuwan mendorong semakin kuat komitmennya untuk pelestarian lingkungan di Sandakan. Wong sendiri bukan berasal dari Sandakan, melainkan dibesarkan di Penang. Nama Wong pula telah tercatat ke dalam pakar beruang madu yang diakui oleh IUCN. Komitmennya terhadap perlindungan beruang madu membuatnya menjalin kerjasama pula dengan pusat konservasi beruang madu lainnya, terutama di Indonesia. Wong saat ini adalah penanggungjawab program penyelamatan satwa liar beruang madu di Sandakan yang berada di bawah naungan pemda setempat.
Antara Kota Balikpapan dan Kota Sandakan
Dua daerah tersebut memiliki karakteristik yang sama, yaitu terletak di bagian teluk. Sebelum terjadi pemekaran wilayah, Kota Balikpapan memiliki luas yang mencapai hampir 2.500 km persegi. Setelah pemekaran, luasnya hanya menjadi 503,3 km persegi. Sebagian besar kawasannya kini menjadi Kabupaten Panajam Paser Utara yang luasnya mencapai 3.333,06 km persegi. Sekalipun demikian, dua daerah tersebut memiliki karakteristik yang masih sama, yaitu biodiversitas yang sekaligus menjadi potensi ekowisata. Dibandingkan dengan Kota Sandakan, biodiversitas di teluk Balikpapan hingga masuk ke Sungai Wain adalah yang terbesar di dunia. Di Kabupaten Penajem Paser Utara terdapat jenis terumbu karang yang langka dan hanya ada di daerah tersebut. Di bagian dalam Teluk Balikpapan ini pun masih menyimpan biodiversitas paling lengkap di dunia, mulai dari habitat kera proboscis hingga beruang madu.
Kota Balikpapan pula merupakan pelabuhan yang cukup penting bagi Propinsi Kalimantan Timur. Tidak seperti Kota Sandakan di Sabah, Kota Balikpapan sangat kental dengan aktivitas perekonomian di bidang migas dan pertambangan. Menyusutnya luas wilayah paska pemekaran wilayah tidak menyusutkan tumbuh dan berkembangnya menjadi wilayah dengan pertumbuhan perkotaan paling cepat di Propinsi Kalimantan Timur. Bersama dengan Kabupaten Panajam Paser Utara, dua daerah tersebut merupakan wilayah dengan tingkat keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia dari keanekaragaman di wilayah perairan hingga daratan. Tidak mengherankan apabila potensi ekowisata di Kota Balikpapan merupakan yang terunik di dunia.
Mengenai Enklosur Beruang Madu di Sungai Wain
Kota Balikpapan memiliki pusat konservasi beruang madu yang terletak di Sungai Wain (km 23) yang berdiri resmi pada tahun 2005. Bersamaan dengan ditetapkannya beruang madu sebagai maskot Kota Balikpapan. Pendiriannya mengambil tempat di hutan lindung Sungai Wain yang selama ini menjadi rumah bagi satwa-satwa liar di kawasan tersebut. Mendahului pendirian BSBCC yang baru didirikan pada tahun 2010. Sekalipun demikian, enklosur tersebut diberikan batas kepengelolaan untuk area seluas 1,3 hektar yang sekaligus menjadi lokasi perawatan dan pemeliharaan atas 6 ekor beruang madu yang diperoleh dari hasil sitaan BKSDA.
Apabila dibandingkan dengan pendirian BSBCC, agaknya pendirian KWPLH Balikpapan masih terkesan setengah hati. Kawasan yang sepenuhnya didanai operasionalnya oleh Pemkot Balikpapan tersebut tidak memiliki perencanaan jangka panjang untuk pengembangan visi dan misi. Kapasitas atau daya tampungnya relatif tidak berkembang. Padahal berdasarkan penelitian dan pengamatan yang dilakukan oleh Gaby Fredriksson, kawasan hutan lindung Sungai Wain masih menjadi rumah bagi beruang madu liar.
Sebenarnya tidak berbeda dengan BSBCC yang mengemban tiga misi sekaligus, yaitu fungsi konservasi dan perlindungan beruang madu, fungsi pendidikan, dan fungsi kepariwisataan. Sampai sekarang pun masih menjadi tempat penampungan bagi beruang madu yang cacat. Mereka memiliki orientasi jangka panjang yang telah menjangkau hingga hutan lindung di Sepilok. Dengan dukungan penuh dari pemda setempat dan terutama pemerintah Malaysia, rasanya tidak berlebihan apabila BSBCC mengklaim dirinya sebagai pusat konservasi beruang madu terbesar di dunia. Pemerintah mereka membuat sebuah program jangka panjang, sehubungan dengan kemanfaatan secara ekonomi yang dikaitkan dengan potensi ekowisata di daerah tersebut.
Kesamaan Isu Lingkungan
KWPLH Balikpapan maupun BSBCC Sandakan didirikan dengan dilatarbelakangi isu lingkungan yang sama. Deforestasi adalah satu-satunya isu yang menjadi permasalahan lokal. Akibat deforestasi tersebut menyebabkan berkurangnya habitat alami satwa beruang madu. Negara bagian Sabah ini pun termasuk sering disoroti akibat masalah kerusakan lingkungan (deforestasi). Beberapa minggu yang lalu dikabarkan sekelompok gajah mini di negara bagian Sabah ditemukan tewas akibat diracun. Beberapa kali petugas kehutanan setempat memergoki dan menangkap perdagangan dan pemeliharan ilegal satwa beruang madu. Isu lingkungan yang sesungguhnya tidak berbeda dengan pendirian KWPLH Balikpapan.
Apabila Pemkot Balikapapan mengalokasikan dana sebesar Rp 1,6 miliar per tahun untuk operasional KWPLH, maka sesungguhnya dana tersebut merupakan bagian dari upaya untuk mencegah semakin meluasnya kerusakan lingkungan. Negara bagian Sabah menggunakan Sepilok Orang Utan Rehabilitation Center sebagai bagian dari kampanye lingkungan hidup atas area hutan lindung di Sepilok atau bagian dari Rainforest Discovery Center (RDC). Begitu pula halnya dengan BSBCC dan KWPLH, keduanya digunakan sebagai bentuk pendekatan atau media untuk kampanye atas pelestarian lingkungan. Begitu pula ketika pemda di Sadakan mengalokasikan dana sebesar hampir Rp 2 miliar per tahun merupakan wujud tanggungjawab moral atas keseimbangan lingkungan. Bentuk lain dari yang disebut dengan moral hazard.
Kerusakan lingkungan sesungguhnya mulai mengancam dan mengintai di teluk Balikpapan. Dikeluarkannya sejumlah ijin proyek penambangan dan pembangunan sama sekali mengabaikan aspek dan dampaknya terhadap biodiversitas di sepanjang teluk Balikpapan. Kawasan hutan mangrove yang selama ini menjadi rumah bagi kera Proboscis itu pun mulai hilang secara perlahan. Tentu saja, dampak selanjutnya akan mengarah pada kawasan hutan lindung di Sungai Wain yang menjadi rumah (habitat) beruang madu. Perlu digarisbawahi, bahwa jenis beruang madu di Balikpapan diduga merupakan sub spesies, karena ukurannya yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan beruang madu di kawasan lain di Asia Tenggara.
Penutup
KWPLH Balikpapan bukanlah satu-satunya pusat konservasi beruang madu yang ada di dunia. Tetapi menjadi satu-satunya yang terlengkap dan terbesar di Indonesia. Fungsinya bukan semata sebagai sarana perlindungan dan perawatan beruang madu, melainkan menjadi wahana pendidikan lingkungan. Sesuatu yang belum dimasukkan sebagai paradigma di dalam kurikulum pendidikan nasional. Fungsi yang terpenting dari enklosur tersebut adalah sebagai wujud tanggungjawab moral terhadap pelestarian dan keseimbangan lingkungan. Sikap terhadap KWPLH Balikapapan ataupun wahana yang serupa adalah cermin dari kualitas moral dan cara berpikir.
Andai saja BSBCC gagal di tahun 2013, toh Sabah masih memiliki cukup banyak ikon lingkungan seperti Sepilok Orang Utan Rehabilitation Center, Turtle Islands Park, dan masih banyak lainnya. Sementara, apabila KWPLH Balikpapan berhenti atau dihentikan di tahun 2013 ini, maka Kota Balikpapan sama sekali tidak memiliki ikon lingkungan hidup yang menjadi simbol dan daya tarik kepariwisataan. Sama halnya dengan BSBCC, jika diperspektifkan pada orientasi profit, bisa dikatakan tidak seimbang antara dana operasional yang sudah dibayarkan oleh Pemda Sadakan dan penerimaan dari BSBCC itu sendiri. BSBCC maupun KWPLH adalah unit kecil dari seluruh unit kampanye lingkungan dan sekaligus program promosi ekowisata.
Pemkot Balikpapan dan terutama Pemerintah Indonesia beserta jajaran legislatif seharusnya bisa belajar dari lingkungan sekitarnya mengenai pentingnya ekowisata sebagai penunjang terwujudnya model pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Di banyak negara sejak lama telah mengembangkan potensi ekowisatanya, bahkan negara seperti Hong Kong itu pun memiliki obyek ekowisata yang disebut Hong Kong Wetland Park. Tidak sedikit di antara negara-negara yang mengandalkan potensi ekowisatanya untuk menunjang pertumbuhan dan pembangunan di negerinya. Sebut saja seperti Costa Rika, Bahama, Palau, dan lain-lain. Namun, ekowisata akan lebih sempurna apabila ditunjang dengan keberadaan ikon yang menjadi simbol biodiversitas. Salah satunya seperti keberadaan pusat konservasi ataupun rehabilitas satwa liar.
Jika muncul pertanyaan, apakah mungkin suatu pembangunan dapat terwujud tanpa harus lebih banyak merusak lingkungan, maka jawabannya berpulang kepada diri kita sendiri.
0 comments:
Posting Komentar