Pada tulisan terdahulu, saya sudah menjelaskan mengenai survei yang jujur dan akurat. Pada prinsipnya, metode survei dengan pendekatan apapun tidak akan pernah bisa menghasilkan output survei yang jujur. Akurasi dalam menghasilkan penjelasan atas obyek yang disurvei pun masih relatif di mana setiap orang (peneliti) memiliki cara pandang yang berbeda. Jika diperdebatkan, maka hanya bisa menjadi perdebatan panjang yang tidak bermanfaat. Bagi masyarakat awam, hasil (output) survei termasuk dalam bentuk polling bisa berdampak terhadap interpretasi, penilaian, anggapan, ataupun persepsi. Apalagi masyarakat masih belum terbiasa dengan suasana demokrasi baru yang diisi dengan kehadiran lembaga-lembaga survei. Nalar kuantitatif yang rata-rata masih tergolong lemah juga menjadi alasan dan sekaligus dimanfaatkan untuk menciptakan persepsi-persepsi baru. Oleh karenanya, di sini masyarakat cukuplah harus belajar untuk menyikapi hasil survei politik dengan memahami tujuan dilakukannya survei tersebut.
Hasil Survei Belum Menggambarkan Kondisi Yang Sesungguhnya
Seperti yang sudah pernah saya tulis sebelumnya, survei secara teknis menggunakan data sampel untuk mewakili suatu populasi. Idealnya, keterwakilan dalam arti kuantitatif setidaknya harus di atas 50%. Tentu saja untuk memenuhi keterwakilan secara kuantitatif ini sangat tidak mungkin bisa diwujudkan. Sampel yang digunakan sebanyak 1.200 hingga 1.500 responden. Sementara itu, populasi pemilih berdasarkan data tahun 2004 sebanyak 147.310.885 orang. Sekalipun sudah ada metode baku untuk menentukan besarnya sampel, akan tetapi besarnya sampel tersebut hanya perkiraan sementara. Pada umumnya, para peneliti survei seringkali melakukan uji coba berulang-ulang untuk mendapatkan output yang dapat mendekati gambaran populasi. Sekedar informasi, lembaga survei yang kredibel umumnya akan membutuhkan waktu lebih dari 3 bulan hanya untuk melakukan uji coba sampel dan populasi dengan teknik atau rumus penentuan sampel yang berbeda-beda. Kesimpulannya, hasil survei hanya bisa terukur sebagai fakta, bukan untuk menggambarkan kondisi yang sesungguhnya (riil).
Polling Palsu
Pengertian polling palsu di sini adalah polling yang diselenggarakan selama masa kampanye parpol ataupun tokoh politik. Sama halnya dengan pengertian dan tujuan survei, yaitu untuk memberikan gambaran sementara tentang sesuatu hal seperti popularitas parpol ataupun tokoh politik. Metodologi yang digunakan juga tidak berbeda ketika dilakukan survei. Artinya, gambaran polling palsu ini hanya bisa sebagai fakta, bukan untuk menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Kondisi yang sesungguhnya dari polling adalah polling yang dilakukan pada saat pencoblosan.
Tentang Lembaga Survei Politik
Baik survei ataupun polling, keduanya tidak bisa dijadikan ukuran ataupun pedoman baku tentang kekuatan politik dari parpol ataupun tokoh politik. Kekuatan politik hanya bisa dilihat dari kekuatan untuk menggalang koalisi, menguasai media taraf nasional, dan kemampuan dalam melakukan lobi politik di DPR ataupun di tingkat pemerintahan. Lalu, untuk apa mereka (lembaga survei) melakukan survei dan polling? Lembaga survei politik umumnya bekerja untuk pihak-pihak tertentu seperti parpol ataupun tokoh politik. Tujuannya tentu untuk menciptakan persepsi dan penilaian publik terhadap parpol dan tokoh politik tersebut. Lembaga survei politik yang bertaraf nasional harus memiliki akreditas dan diakui oleh pemerintah. Biasanya lembaga ini dibiayai pula oleh pemerintah untuk menjamin independensi dan sekaligus kualitas hasil (output) survei/polling. Tidak hanya itu, lembaga survei yang independen juga diakui pula oleh parpol dan tokoh politik. Kepada pihak-pihak yang dilakukan survei ataupun polling, lembaga survei selalu melampirkan metodologi dan sampel secara lengkap untuk keperluan pengecekan ulang. Kepada masyarakat umum, lembaga survei juga melampirkan metodologi secara lengkap dan teknik-teknik baku yang digunakan kecuali lampiran sampel. Selain diakui oleh pemerintah, parpol, dan tokoh politik, keberadaan lembaga survei politik juga harus mendapatkan pengakuan dari sejumlah lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Bagaimana bentuk atau cara mereka mengakui? Lembaga-lembaga survei umumnya harus didukung oleh kalangan akademisi yang secara khusus melakukan berbagai riset-riset sosial ataupun politik sehingga mereka sangat paham apabila melakukan perancangan/desain sampel dan membentuk metodologi.
Di Indonesia sendiri, belum ada lembaga survei politik yang seperti ini. Artinya, independensi dari metodologi yang digunakan, perancangan desain survei/polling, dan perumusan kesimpulan masih diragukan. Mungkin sekarang ini belum saatnya untuk bisa maju ke taraf pengakuan seperti yang saya jelaskan tadi.
Referensi:
Clarke, Kevin A., 2007, “Data Experiments: Model Specification as Treatments”, Working Papers of The Society For Political Methodology (July 16th, 2007).
Lowe, Will, 2007, “Understanding Wordscore”, Working Papers of The Society For Political Methodology (April 25th, 2007)
Newsletter of The Political Methodology Section, 2008, Journal of American Political Science Association, Volume 16, Number 1 (1-19)
Tambahan:
Saya mengusulkan kepada pihak pemerintah, KPU, dan pihak akademisi untuk melakukan studi di bidang penerapan ilmu statistik ke bidang sosial politik. Sekalipun studi di bidang sosial politik sudah lama dilakukan, akan tetapi masih belum memfokuskan pada kajian atas instrumen-instrumen statistik yang digunakan ke dalam riset sosial dan politik.
14 Desember 2008
MENYIKAPI HASIL SURVEI POLITIK 2009
15.39
Anonim
0 comments:
Posting Komentar