Pemerintah hari ini tanggal 12 Januari 2009 berencana hendak mengumumkan harga BBM untuk yang ketiga kalinya sejak bulan Desember 2008. Selain didorong oleh lambatnya efek dari kebijakan Stimulus Fiskal, juga karena desakan banyak pihak terutama dari kelompok asosiasi dagang dan industri yang diwakili oleh Kadin Indonesia. Dampak penurunan harga BBM pada bulan Desember 2008 lalu tidak banyak dirasakan oleh masyarakat. Awal Januari 2009, beberapa harga kebutuhan pokok di daerah mulai merambat naik. Tarif angkutan pun tidak mengalami penurunan, terutama tarif angkutan umum. Beberapa kalangan beranggapan apabila besarnya penurunan harga BBM belum cukup meyakinkan pelaku usaha untuk ikut menurunkan harga ataupun tarif. Jika dibuat suatu permisalan yang ekstrim di mana harga premium turun menjadi Rp 4.000/liter dan solar turun menjadi Rp 3.700/liter, apakah angka-angka ini cukup meyakinkan kalangan produsen untuk menurunkan harga jual produk?
Secara teoritis, harga BBM termasuk salah satu pembentuk komponen biaya produksi. Jika terdapat komponen biaya produksi mengalami penurunan, maka secara otomatis biaya produksi juga menurun. Ada yang mengatakan jika harga BBM termasuk komponen biaya produksi yang memiliki pengaruh/dampak yang paling besar terhadap perubahan total biaya produksi. Artinya, harga BBM memiliki angka pengganda (multiplier) paling besar dibandingkan komponen biaya produksi lainnya. Namun, sebesar apapun angka pengganda dari komponen biaya produksi, tidak berarti secara nyata dapat menurunkan total biaya produksi.
Perlu diketahui, ada dua macam biaya produksi, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Komponen biaya untuk BBM termasuk ke dalam kelompok biaya-biaya variabel, yaitu biaya yang besarnya menyesuaikan banyaknya output atau jumlah (kuantitas) produk yang dihasilkan. Jika kuantitas atau banyaknya output semakin tinggi, maka biaya untuk BBM pun menjadi semakin meningkat. Sebaliknya, jika kuantitas produk yang dihasilkan semakin turun, maka biaya untuk BBM juga semakin menurun. Kondisi seperti ini bisa dipenuhi apabila asumsi dasar dari teori biaya terpenuhi, yaitu bentuk pasar persaingan (competitive market model) dan kondisi tenaga kerja penuh (full employment). Permasalahannya, di negera-negara seperti Indonesia, kedua asumsi tadi jarang sekali yang terpenuhi.
Faktor ekonomi yang tidak dapat diabaikan sehubungan dengan dinamika harga adalah kondisi keseimbangan pasar (market equilibrium). Intinya, harga yang ditawarkan oleh produsen ditentukan oleh besarnya permintaan. Sekalipun harga BBM turun, akan tetapi permintaan terus meningkat, maka tidak tertutup kemungkinan apabila harga justru akan semakin meningkat. Salah satu jenis produk yang hampir tidak mungkin mengalami penurunan adalah produk-produk pangan atau yang termasuk ke dalam kategori bahan kebutuhan pokok, terutama yang memiliki sedikit atau tidak ada produk-produk pengganti/alternatif (barang substitusi). Selain ditentukan oleh besarnya permintaan, harga produk juga ditentukan oleh banyaknya produksi. Jika output lebih besar daripada kapasitas permintaan, maka harga produk akan turun. Sebaliknya, jika output relatif hanya bisa mencukupi permintaan atau kurang, maka harga produk cenderung tetap atau meningkat.
Permasalahannya, ketika hendak diumumkan kenaikan harga BBM, seringkali pihak produsen sudah menaikkan harga terlebih dahulu. Sebaliknya, ketika harga BBM turun, harga-harga lain cenderung enggan untuk mengikutinya. Biaya atas faktor resiko (risk cost) adalah faktor yang menyebabkan ketidaknormalan perilaku produsen. Ketika harga BBM naik, produsen berpikir untuk meminimalisasikan resiko. Sebaliknya, ketika harga BBM turun, produsen tidak ingin mengambil resiko untuk kehilangan keuntungan. Resiko yang dimaksudkan di sini adalah kepercayaan terhadap perekonomian. Pengusaha angkutan umum enggan menurunkan tarif jika harga bahan-bahan kebutuhan pokok masih belum turun. Sebaliknya juga demikian, produsen barang-barang kebutuhan pokok juga enggan menurunkan harga apabila harga barang-barang lainnya belum turun. Lagipula, tidak bisa diabaikan pula apabila inefisiensi biaya produksi masih menjadi isu perekonomian nasional.
Jika yang dimaksudkan pemerintah harus turun tangan, itu berarti pemerintah harus melakukan cukup banyak agenda stabilisasi harga dari tingkat pusat hingg daerah. Operasi pasar dan tarif akan diberlakukan luas. Selain membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar, tidak ada jaminan upaya ini akan mampu mempengaruhi harga secara permanen. Sekalipun demikian, jika pemerintah menginginkan agar kebijakannya berpengaruh, pemerintah harus turun tangan dengan cara apapun untuk memaksa perilaku pasar, baik produsen maupun konsumen. Apabila dibiarkan begitu saja, kondisi ini juga tidak baik karena perekonomian bekerja dalam kondisi tidak normal di mana harga tidak berperilaku dinamis. Oleh karena itu, keputusan untuk menurunkan harga BBM lebih cenderung dimotivasi oleh kepentingan politik semata.
Unduh (download) artikel:
Klik kanan, pilih 'Save link/target as'
12 Januari 2009
MASYARAKAT BELUM TERBIASA HARGA TURUN
14.22
Anonim
0 comments:
Posting Komentar