06 Januari 2009

MENGKRITISI HASIL SURVEI LEMBAGA SURVEI INDONESIA (LSI) TENTANG RASIONALITAS PEMILIH

Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis laporan survei yang memeringkatkan parpol dan tokoh politik yang difavoritkan. Pemeringkatan ini terkait dengan hasil survei yang dilakukan pada bulan Desember 2008 lalu. Ada banyak sekali kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan dalam survei LSI. Salah satunya adalah penjelasan mengenai rasionalitas pemilih yang dihubungkan dengan popularitas partai dan tokoh politik. LSI juga masih melakukan kesalahan yang pernah dilakukan pada survei sebelunnya, yaitu mengenai teknik pengambilan sampel (sampling). Kesalahan yang paling fatal dilakukan oleh LSI adalah tidak menjelaskan bagaimana mekanisme variabel-variabel yang berkaitan dengan rasionalitas pemilih. Disamping itu, pihak LSI langsung menarik kesimpulan yang masih meragukan tadi untuk membentuk pemeringkatan partai ataupun tokoh politik. Tulisan di sini akan menjelaskan beberapa kesalahan penting yang dilakukan oleh LSI dengan menggunakan pedoman ilmu statistik baku. Tulisan ini sebagai sanggahan atas pernyataan dari Pengamat Politik LIPI, Lili Romli yang mendukung hasil survei LSI (Detikcom, 5 Januari 2009)

Sebelum membaca kajian tulisan berikut ini, sebaiknya perlu diunduh duplikat hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesi di sini (klik kanan, pilih ‘Save file/target as’).

Mengenai Rasionalitas
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rasional diartikan sebagai suatu penjelasan mengenai tindakan berdasarkan penilaian/pertimbangan dan pemikiran yang logis. Rasional dapat pula dikatakan sebagai sesuatu yang berdasarkan akal sehat atau masuk akal. Sesuatu tindakan/sikap dikatakan rasional apabila tindakan atau sikap telah sesuai dengan pemikiran berupa evaluasi ataupun penilaian. Kata kunci dalam istilah ‘Rasional’ ataupun ‘Rasionalitas’ adalah pemikiran atau segala sesuatu yang diolah secara nalar dan logika. Suatu gambaran sederhana untuk menjelaskan rasionalitas dapat disimak berikut ini:
“Jika saya makan makanan yang bergizi, maka saya mendapatkan manfaat berupa kesehatan”
Dari kalimat ilustrasi di atas, dapat dirumuskan mekanisme pikiran rasional sebagai berikut:
Makanan bergizi -> Kesehatan/sehat
Makanan tidak bergizi -> tidak sehat
Perlu digarisbawahi di sini, orang tadi dikatakan rasional apabila
1. Mengetahui jenis-jenis makanan yang dikategorikan bergizi
2. Mengetahui apabila memakan makakan yang bergizi akan menjadikannnya sehat
3. Memilih jenis makanan bergizi

Perlu diketahui pula, suatu tindakan dikatakan rasional apabila didasarkan pada suatu proses penilaian, kalkulasi, dan evaluasi. Dalam hal ini, tindakan rasional bukan didasarkan pada situasi emosional ataupun hanya sekedar opini pribadi secara sepihak. Seperti pada ilustrasi di atas, orang tadi dikatakan rasional apabila mengetahui jenis-jenis makanan bergizi dari sumber-sumber yang bisa dipercaya secara umum, bukan berasal dari pendapat dirinya sendiri. Rasionalitas juga tidak didasarkan pada prasangka, mengira-ngira, atau hanya berpedoman pada perasaan, respon, maupun anggapan. Untuk bisa mewujudkan sesuatu yang dikatakan rasional membutuhkan suatu proses yang disebut dengan pemikiran.

Sejauh manakah masyarakat Indonesia bisa dikatakan rasional? Apakah hingga saat ini masyarakat Indonesia sudah bertindak rasional terkait dengan krisis ekonomi? Apakah sejauh ini masyarakat Indonesia sudah bisa dikatakan rasional dalam memberikan pilihannya atas partai ataupun tokoh politik?

Konsep Rasionalitas Yang Digunakan LSI
Konsep rasionalitas yang digunakan oleh LSI dalam survei di bulan Desember 2008 dapat dilihat pada halaman 2. Pada urutan kedua disebutkan,
“Model psikologis berkaitan sebagian dengan persepsi atas partai atau citra partai dan preferensi terhadap pemimpin atau tokoh partai”. Kemudian disebutkan pula model pilihan rasional,
“Model pilihan rasional berkaitan dengan kepentingan praktis dari pemilih. Pada dasarnya sebuah partai politik lebih dipilih karena partai tersebut dinilai lebih mampu menjawab secara lebih meyakinkan masalah-masalah yang dipandang paling mendesak oleh pemilih”.
Pada urutan terakhir disebutkan,
“Rasionalitas pemilih secara lebih khusus berkaitan dengan evaluasi pemilih terhadap kondisi ekonomi nasional secara umum. Bila pemilih menilai keadaan ekonomi lebih baik, maka ia cenderung akan memilih partai yang berkuasa, dan sebaliknya akan memilih partai oposisi”.
Dari sini Lembaga Survei Indonesia (LSI) telah melakukan kesalahan yang cukup fatal sehubungan dengan mengkonsepkan rasionaliats.

Pertama, rasionalitas tidak boleh diukur dari sisi persepsi atau berdasarkan penerimaan masyarakat terhadap citra partai politik. Faktor psikologis yang diukur di sini seharusnya adalah proses berpikir masyarakat dalam menerima dan mengolah informasi. Jika demikian, maka seharusnya topik yang digunakan bukan ‘Rasionalitas’, akan tetapi ‘Persepsi’ karena lebih menekankan pada pencitraan.

Kedua, pihak LSI tidak menjelaskan masalah-masalah yang dianggap paling mendesak oleh pemilih. Setiap kelompok masyarakat berdasarkan status pendapatan, tempat tinggal (lokasi), maupun usia memiliki preferensi permasalahan yang berbeda. Secara umum, untuk saat ini permasalahan yang paling mendesak adalah tercukupinya pemenuhan kebutuhan pokok dan ketersediaan bahan baku. Perlu dicatat pula, selama bulan Desember 2008, hampir sebagian besar masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa mengalami kesulitan dalam memperoleh sembako, minyak tanah, dan elpiji. Belum lagi ditambahkan dengan semakin meningkatnya fasilitas-fasilitas sekolah dan kesehatan yang rusak/ambruk. Apakah informasi seperti ini tidak diperhatikan atau setidaknya dipertimbangkan oleh pihak LSI? Jika tidak, maka seperti apakah yang dimaksudkan permasalahan mendesak masyarakat oleh LSI?

Ketiga, pihak LSI menyebutkan evaluasi pemilih terhadap kondisi ekonomi nasional secara umum untuk menjelaskan konsep rasionalitas pemilih. Pertanyaannya, sejauh manakah kemampuan secara umum masyarakat Indonesia mengevaluasi kondisi ekonomi nasional? Komponen-komponen apakah yang dimaksudkan dalam ekonomi nasional yang selanjutnya diajukan atau ditanyakan kepada responden? Bagaimanakah masyarakat Indonesia mengevaluasi kondisi perekonomian nasional secara umum? Apakah masyarakat Indonesia (yang dijadikan sampel) memahami tentang kontroversi angka kemiskinan? Apakah responden dalam survei juga memahami dengan baik tentang pertumbuhan ekonomi dan indikator-indikator lainnya? Pada halaman 5 tentang Demografi Nasional disebutkan jika sebanyak 59% responden adalah mereka yang berpendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD) dan sebanyak 17% berpendidikan setingkat SLTP. Kurikulum yang menyertakan pendidikan ekonomi baru diperkenalkan pada tingkat SLTA (jurusan tertentu). Siapapun tanpa melihat latar belakang pendidikan sesungguhnya bisa melakukan evaluasi, akan tetapi yang dimaksudkan evaluasi dalam konteks rasionalitas adalah kualitas evaluasi.

Mengenai Metodologi Survei
Pada halaman 3 disebutkan jika metode penarikan sampel yang digunakan adalah Multistage Random Sampling. Metode seperti ini menarik sampel secara acak dan bertahap di mana setiap tahapan dilakukan seleksi/penyaringan. Ironinya untuk metode ini, apabila metode penyaringan ataupun tahapannya tidak dilakukan secara tepat, maka sampel yang digunakan pun bisa beresiko menghasilkan pendugaan parameter yang bias. Dalam laporan survei tidak dijelaskan pula mengenai kriteria dalam tahapan penarikan sampel. Dari sini bisa muncul kecurigaan apabila pihak LSI sengaja untuk memilih sampelnya sendiri. Kecurigaan ini diperkuat dengan kekeliruan dalam menafsirkan konsep rasionalitas seperti yang sudah dijelaskan di atas.


Penentuan besarnya proporsi sampel untuk kelompok pendidikan dianggap meragukan. Pada halaman 5 dituliskan jika sebanyak 59% responden dari total jumlah responden adalah mereka yang berpendidikan setingkat SD. Proporsinya dengan sampel yang berpendidikan setingkat SLTP dan SLTA masing-masing adalah 1:3, sedangkan dengan mereka yang berpendidikan setingkat universitas sebesar 1:15. Pertanyaannya, berdasarkan pertimbangan apakah pihak LSI menetapkan sampel untuk kelompok SD sebesar 59%? Sehubungan dengan topik mengenai rasionalitas, sejauh mana proporsi sampel berdasarkan pendidikan tersebut bisa dikatakan relevan? Apakah pihak LSI hanya menyesuaikan deskripsi data statistik dari BPS, ataukah pihak LSI menentukan sendiri siapa saja yang menjadi sampel survei?

Persentase jumlah sampel yang tinggal di desa sebesar 59%, sedangkan sisanya sebanyak 41% tinggal di kota. Dalam laporan hasil survei, pihak LSI sama sekali tidak menjelaskan perbedaan preferensi politik dan kebutuhan hidup antara masyarakat yang tinggal di perkotaan dan pedesaan. Sementara itu, preferensi dalam pemenuhan kebutuhan hidup di antara dua kelompok tersebut selalu berbeda. Jika masyarakat perkotaan lebih berorientasi untuk mencari alternatif tambahan pendapatan atau menambah pendapatan, maka preferensi masyarakat pedesaan lebih berorientasi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika terdapat perbedaan preferensi dalam konteks pemenuhan kebutuhan hidup, maka terdapat kemungkinan mengurangi reliabilitas jawaban responden atau beresiko penghasilkan pengukuran yang bias.

Inkonsistensi Pengukuran
Pada halaman 13 disebutkan, ‘Dalam survei Desember 2008, posisi Demokrat teratas dengan 23% pemilih. Posisi ini merupakan kenaikan yang berlanjut sejak September 2008’. Selanjutnya dijelaskan pada halaman 15, faktor-faktor yang terkait dengan meningkatnya citra Partai Demokrat terdiri atas:
Citra Partai
Kepemimpinan
Evaluasi atas kondisi makro
Evaluasi atas kebijakan-kebijakan pemerintah
Kampanye lewat media
Variabel-variabel yang dimaksudkan di atas perlu dipertanyakan kembali konsistensinya dengan konsep rasionalitas yang dijadikan tema survei oleh LSI.

Citra partai politik ataupun kepemimpinan (tokoh politik) adalah sesuatu yang abstrak atau bisa dikatakan tidak terukur secara kuantitatif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, rasionalitas tidak bisa diukur hanya dari penilaian sepihak dari citra partai. Partai yang paling banyak mengiklankan lewat media dianggap memiliki citra yang semakin baik. Atau dapat pula dikatakan apabila partai yang paling bagus iklannya adalah partai yang bakal memiliki citra yang baik. Penilaian semacam ini sama sekali di luar pengertian rasional karena hanya mendasarkan pada emosi, perasaan, dan penilaian individu.

Perlu dipertanyakan kembali, bagaimana responden yang 59% persen adalah mereka berpendidikan setingkat SD mengevaluasi kondisi makro ataupun kebijakan-kebijakan pemerintah. Indikator-indikator makro apa saja yang disodorkan oleh pihak surveyor kepada responden? Sejauh mana pemahaman dari responden atas indikator-indikator makro tersebut? Pertanyaan yang perlu diperhatikan, bagaimana persepsi responden terhadap keterkaitan antara indikator-indikator makro dan keberhasilan kepemimpinan? Pertanyaan-pertanyaan yang sama pula diajukan terhadap persepsi responden atas kebijakan-kebijakan pemerintah.

Temuan yang berkaitan dengan inkonsistensi survei adalah komponen-komponen yang mewakili citra partai politik. Sekali lagi, citra tokoh maupun partai politik adalah suatu bentuk penggambaran yang sangat subyektif. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, penggambaran atau pespektif terhadap sesuatu yang subyektif tidak dapat disebut rasional. Misalnya, bagi masyarakat awam, makanan seperti KFC, McD, dan sejenisnya dianggap lebih menarik ketimbang makanan sejenis tempe, tahu, nasi, ataupun sayur-sayuran. Apa saja komponen yang diukur terkait dengan persepsi subyektif responden oleh LSI?
1. Partai yang paling bersih dari korupsi
2. Partai yang paling bagus program-programnya
3. Partai yang paling mampu memecahkan masalah-masalah bangsa
4. Partai yang paling peduli pada keinginan rakyat
Untuk hasil survei dapat dilihat pada laporan survei LSI halaman 17-21. Dengan melihat latar belakang responden dari aspek demografi dan kondisi kesadaran politik secara umum dari masyarakat Indonesia, pihak LSI telah mengajukan komponen-komponen yang sangat kontroversial. Indikator-indikator yang diukur perlu dipertanyakan kembali terutama untuk komponen nomor 2, 3, dan 4. Apakah ketiga indikator ini bisa dikatakan relevan dikaitkan dengan rasionalitas pemilih? Apakah pihak LSI sudah memperkuat relevansinya dengan referensi terkait yang berasal dari media?

Penutup
Sesungguhnya masih banyak lagi kontroversi temuan hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengenai rasionalitas pemilih terhadap tokoh dan partai politik. Sejak awal, pihak LSI sudah melakukan kekeliruan dalam menggunakan definisi dan menerapkannya ke dalam variabel-variabel penelitian. Rasionalitas yang ditemukan dalam survei tersebut tidak dijelaskan sesuai dengan definisinya secara baku. Perlu kiranya komentar dari Pakar Politik LIPI, yaitu Lili Romli dikoreksi kembali. Jika saja sudah terjadi kesalahan dalam mendefinisikan dan menerapkan definisi (yang salah), maka sudah bisa dipastikan akan memberikan dampak yang tidak baik bagi masyarakat. Dampak yang tidak baik adalah manipulasi persepsi publik dengan memberikan fakta yang tidak menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin seorang pakar politik seperti Lili Romli bisa membenarkan begitu saja tanpa mengevaluasi hasil survei LSI. Sementara itu, dengan mempublikasikannya melalui media, maka secara psikologis hasil survei.

Melihat kapasitas kelembagaan seperti LSI, nampaknya survei yang dilakukan pada bulan Desember 2008 lalu berindikasi untuk membentuk persepsi calon-calon pemilih. Bisa dipastikan apabila jawaban responden sengaja diarahkan untuk membentuk kesimpulan yang diinginkan oleh LSI. Jawaban diarahkan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kurang dipahami oleh kebanyakan responden. Pembentukan persepsi responden (melalui pertanyaan-pertanyaan) selanjutnya akan diarahkan secara konstruktif membentuk penilaian terhadap obyek-obyek seperti tokoh ataupun partai politik yang diinginkan oleh pihak LSI. Ada beberapa pertimbangan yang tidak digunakan LSI yang kemudian mengindikasikan lembaga ini memanipulasi jawaban responden dengan membentuk pikiran responden.

Pada waktu yang bersamaan pula, tidak hanya pihak Lembaga Survei Indonesia yang mempublikasikan pemeringkatan tokoh dan partai politik. Pemeringkatan juga dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia yang menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Apabila LSI Syaiful mengunggulkan SBY dan Partai Demokrat, maka sebaliknya LSI Denny JA mengunggulkan Megawati dan PDI-P. Waktu penyelenggaran survei keduanya sama-sama di bulan Desember 2008, akan tetapi berbeda waktu publikasiknya. Laporan singkat dari survei LSI Denny JA bisa dilihat di sini. Pada prinsipnya, kedua LSI ini terlihat mempopulerkan tokohnya masing-masing. Dengan melihat perbedaan kesimpulan tentang popularitas, bisa dipastikan apabila tidak satupun di antara survei LSI yang menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Perlu kiranya masyarakat untuk lebih mewaspadai manipulasi persepsi yang selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan opini pada Pemilu 2009 mendatang.

Catatan:
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, yaitu Saiful Mujani adalah anggota Dewan Redaksi Media Group merangkap pula sebagai kepala litbang (link)

Referensi
Agresti, A., 1997, Statistical Methods for The Social Sciences, Third Edition, Prentice-Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
Dillman, D. A., 1978, Mail and Telephone Survey: The Total Design Method, Wiley Publisher, New York.
Fai, Kin Ellick Wong, Jessica Yuk Yee Kwong, and Carmen K. Ng, 2007, “When Thinking Rationally Increases Biases: The Role of Rational Thinking Style in Escalation of Commitment”, Applied Psychology, Volume 57, Issue 2 (246-271).
Fowler, F. J., 1995, Improving Survey Question: Design and Evaluation, Thousand Oaks Publisher - Sage Publication, California.
Marmor, Lavie, and Weiman, 2006, “Measuring Emotional Appeals in Israeli Election Campaigns”, International Journal of Public Opinion Research, Volume 18, Number 3 (318-339).
Morgan, D. L., 1988, Focus Groups as Qualitative Research, Sage Publication, Newbury Park, CA.

0 comments:

Posting Komentar