12 Januari 2012

DEFINISI SUBSIDI: MENELAAH KONTROVERSI

Disebut kontroversi karena ada dua definisi yang berbeda dan berlawanan. Tidak ada dari keduanya yang salah secara definitif, tetapi tidak akan bisa bertemu. Tulisan kali ini dilatarbelakangi oleh kontroversi subsidi BBM dan kebijakannya. Tentunya akan lebih baik apabila sebelumnya memahami definisinya, sebelum nanti akan mengulas kebijakan dan dampaknya.

Dua Cara Pandang Yang Berbeda
Secara definitif memang sangat bertolak belakang, karena cara pandang pertama mengatakan tidak mengeluarkan biaya atau disebut pendekatan profit loss. Sedangkan cara pandang kedua mengatakan mengeluarkan biaya atau menggunakan pendekatan cost loss. Keduanya diakui dan disebutkan dalam buku-buku ilmu ekonomi. Pendekatan profit loss diterapkan dalam lingkup mikroekonomi. Sedangkan pendekatan cost loss digunakan untuk kebijakan ekonomi. Titik temu di antara kedua pendekatan tersebut sebenarnya hanya terletak pada sasarannya, yaitu harga (price equilibrium).

Pada pendekatan profit loss yang umumnya digunakan dalam lingkup mikroekonomi, istilah subsidi ditemukan pada penghitungan biaya pokok. Seperti diketahui, apabila tujuan organisasi produksi adalah untuk memperoleh keuntungan dari selisih antara harga pokok dan harga jual. Harga pokok adalah harga yang diperoleh dari komponen-komponen biaya dengan menggunakan metode perhitungan tertentu. Harga jual adalah besarnya harga pokok ditambah besarnya laba atau keuntungan yang dikehendaki. Harga jual biasanya ditentukan pula berdasarkan pertimbangan ekonomi, seperti harga persaingan atau harga pasar dan besarnya nilai manfaat atas produk. Pengertian subsidi berdasarkan pendekatan profit loss merupakan kebijakan atas penentuan harga jual yang besarnya sama dengan harga pokok.

Dalam hal ini, pendekatan profit loss dijelaskan apabila pihak produsen tidak mendapatkan keuntungan, akan tetapi tidak pula mengalami kerugian. Produsen dikatakan rugi apabila harga yang dijual di bawah harga pokoknya. Penghitungan harga pokok sudah memperhitungkan keseluruhan ongkos produksi yang dibayarkan oleh pihak konsumen. Sebagai ilustrasi, seorang penjual roti tawar membuat kue tawar dengan harga pokok sebesar Rp 4.000 per biji. Tentu saja, harga pokok tersebut sudah memperhitungkan pula ongkos untuk berjualan. Jika si penjual kemudian menjual dengan harga jual sebesar Rp 4.000 per biji, maka disebutkan si penjual memberikan subsidi atas produknya. Jika harga pasar untuk roti tawar sejenis sebesar Rp 7.000 per biji, maka seharusnya si penjual akan memperoleh keuntungan sebesar Rp 3.000 per biji roti tawar. Ini berarti apabila dijual sebesar harga pokoknya, maka si penjual memberikan subsidi sebesar Rp 3.000 per roti tawar yang dijual.

Lain halnya apabila kasusnya si pembuat roti tawar tadi kemudian menjual roti tawar di bawah harga pokoknya. Si pembuat roti tawar tadi tidak bisa disebut memberikan subsidi, melainkan telah mengalami kerugian. Besarnya kerugian yang ditanggung oleh si pembuat roti adalah selisih antara besarnya harga pokok dan harga jual di mana harga jualnya di bawah atau lebih rendah daripada harga pokok. Sekali lagi, harga yang dijual di mana produsen mengalami kerugian tidak bisa dikatakan apabila produsen memberikan subsidi, melainkan produsen mengalami kerugian dalam penjualan.

Pengertian subsidi dalam pendekatan kebijakan pemerintah memiliki perspektif yang berbeda dengan definisi menurut ilmu ekonomi. Sasarannya masih sama, yaitu harga. Dalam hal ini, kebijakan subsidi bertujuan untuk menekan harga penjualan di bawah harga yang umumnya berlaku. Harga jual bisa memiliki dua pengertian, yaitu harga jual yang ditetapkan oleh produsen atau harga jual yang mengikuti harga pasar (market price). Harga jual dalam arti ditetapkan atau ditentukan oleh produsen merupakan harga pokok ditambahkan besarnya keuntungan yang dikehendaki. Besarnya subsidi bisa jadi menggantikan tambahan keuntungan atau tambahan keuntungan ditambah beberapa ongkos produksi yang terhitung pada harga pokok. Ilustrasinya bisa dilihat pada gambar di bawah ini.



Harga normal yang ditetapkan oleh produsen sebesar Pm atau disebut juga harga pasar. Produsen mendapatkan untung (laba) apabila menjual di antara harga Po hingga Pm. Dengan adanya kebijakan subsidi, pihak pemerintah membayar kepada pihak produsen sebesar rentang harga Ps. Dalam hal ini, besarnya subsidi yang dibayarkan oleh pemerintah bisa jadi sebesar keuntungan (laba) atau sebesar keuntungan ditambahkan sebagian besarnya harga pokok.

Dalam kasus subsidi bahan bakar minyak (BBM) menurut Undang-Undang No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi disebutkan apabila subsidi adalah aliran dana dari pemerintah ke PT Pertaminan (Persero) yang diberikan kewenangan tunggal (monopoli) untuk menyediakan BBM di dalam negeri. Besarnya subsidi BBM yang dibayarkan oleh pemerintah ke PT Pertamina (Persero) adalah sebesar nilai penjualan produk-produk BBM dikurangi besarnya biaya-biaya untuk menghasilkan BBM. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka besarnya subsidi BBM adalah sebesar nilai keuntungan dalam memproduksi produk-produk BBM. Setelah penyesuaian harga BBM pada tahun 2008 lalu, maka terdapat komponen BBM yang masih disubsidi seperti bensin jenis premium (RON88), solar, dan minyak tanah. Untuk solar disubsidi sebesar Rp 1.000 per liter, sedangkan untuk minyak tanah disubsidi dalam cakupan distribusi yang terbatas.

Salah satu komponen produksi yang disubsidi pula oleh pemerintah seperti subsidi pupuk. Harga pupuk urea yang dijual oleh industri pupuk termasuk cukup mahal. Tentunya harga tersebut akan sulit dijangkau oleh para petani di pedesaaan yang rata-rata pendapatannya masih di bawah pendapatan nasional. Untuk keperluan mempertahankan kelangsungan usaha di sektor pertanian, pemerintah memberikan subsidi atas harga pupuk. Mekanismenya bisa dengan menjual harga beberapa komponen input lebih murah kepada produsen pupuk, sehingga nantinya menghasilkan harga jual dapat terjangkau oleh para petani.

Munculnya Kontroversi
Istilah subsidi dalam kebijakan ekonomi akan senantiasa menciptakan kontroversi dalam tahap pembuatan ataupun pembahasannya. Hal ini terjadi pula di seluruh negara yang masih menerapkan kebijakan subsidi. Namun, kontroversi kebijakan subsidi pada beberapa negara juga bervariasi, seperti halnya kontroversi kebijakan subsidi di Indonesia. Seperti krisis Eropa menyebabkan pergolakan politik di negeri mereka akibat wacana untuk pengurangan ataupun penghapusan subsidi.

Kasus subsidi BBM berbeda dengan kasus subsidi lain (subsidi non BBM). Sebagai ilustrasi untuk subsidi pupuk, pihak pemerintah mengeluarkan anggaran yang dibayarkan kepada industri pupuk dalam bentuk insentif. Misalnya seperti menjual gas alam (LNG, bahan baku utama pembuatan urea) dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar, memberikan potongan harga untuk pasokan energi (listrik dan BBM), dan bentuk insentif lainnya yang dapat menurunkan harga pokok. Bentuk subsidi lainnya dapat berupa membayar sejumlah keuntungan produksi kepada pabrik pupuk urea. Dalam APBN tidak ditemukan pos pendapatan yang berasal dari industri pupuk, kecuali hanya dituliskan pos bagian laba BUMN. Oleh karena itu, subsidi non BBM dimasukkan ke sisi kanan model anggaran t-account, yaitu pada neraca pos pengeluaran anggaran (APBN).

Subsidi BBM seharusnya tidak bisa diperlakukan sama dengan subsidi lainnya (subsidi non BBM). Ini berarti subsidi BBM ditempatkan pada sisi sebelah kanan neraca APBN (pos pengeluaran), sedangkan pendapatan migas ditempatkan di sisi sebelah kiri neraca APBN (pos pendapatan). Pemisahan tersebut menunjukkan apabila tidak ada keterkaitan langsung maupun tidak langsung antara pos pendapatan migas dan pos subsidi BBM. Sementara itu, aktivitas untuk menghasilkan BBM merupakan bagian dari aktivitas dalam pengelolaan (produksi) migas. Inilah yang dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie. Indonesia adalah produsen minyak mentah, akan tetapi pencatatannya di dalam APBN disamakan dengan negara bukan produsen minyak mentah.

Dalam kasus subsidi BBM di Indonesia, bahwa pos subsidi BBM dipisahkan pengertiannya dengan pos pendapatan minyak bumi dan gas (migas). Terminologi yang digunakan bahwa subsidi BBM dikarenakan proses pengolahan (produksi) minyak bumi yang selanjutnya menghasilkan output (BBM) untuk dijual di dalam negeri maupun untuk ekspor, membentuk komponen harga jual (termasuk harga pokok), kebutuhan impor, dan keputusan untuk menetapkan harga dan pendapatan. Tidak ada suatu keharusan yang mutlak dalam menentukan terminologi subsidi (BBM). Namun, keberpihakan pemerintah dan orientasi kebijakan energi tidak boleh bertentangan dengan amanat konstitusi (Pasal 33 UUD 1945).

Pertanyaan yang lebih besar, apakah benar ada subsidi BBM? Apakah ada yang disebut subsidi untuk bensin jenis premium?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui apabila masalah korupsi masih menjadi masalah fundamental di negeri ini. Korupsi terjadi di seluruh lapisan dan bidang pemerintahan, bahkan termasuk praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di dalam perusahaan negara (BUMN). Suatu fakta laporan keuangan parsial dari Exxon Mobil yang beroperasi di Indonesia pada tahun 2007 lalu menyebutkan perolehan keuntungan (laba bersih) sebesar 40,6 milyar USD atau sebesar Rp 373 triliun. Dengan menggunakan metode bagi hasil migas sebesar 85:15, maka perolehan yang diterima pemerintah sebesar Rp 684 triliun. Perolahan bagi hasil tersebut diterima setelah pendapatan kotor dikurangi recovery cost (RC). Angka yang cukup fantasitis dari pendapatan bagi hasil migas dengan pihak Exxon Mobil. Fakta finansial yang tidak pernah bisa dijelaskan oleh besarnya pendapatan migas yang diterima pemerintah. Sementara itu, rata-rata subsidi BBM setiap tahunnya tidak pernah melampaui angka Rp 150 triliun per tahunnya. Fakta lainnya, bahwa volume ekspor minyak mentah selalu lebih besar daripada volume impor minyak mentah. Jika perdagangan (transaksi) menggunakan harga internasional, tentunya pemerintah mendapatkan keuntungan (selisih ekspor dan impor) yang tidak sedikit, karena perbandingannya volume ekspor bisa mencapai hampir dua kali lipat volume impor. Kemanakah pendapatan-pendapatan migas yang seharusnya menjadi hak milik rakyat Indonesia?

Kontroversi perihal subsidi BBM sesungguhnya bersumber dari rendahnya akuntabilitas pemerintah sendiri yang selanjutnya berdampak pada kepercayaan masyarakat. Pihak pemerintah tidak pernah bisa menyelesaikan masalah dirinya sendiri. Kasus maraknya tabung gas elpiji (LPG) yang meledak setahun yang lalu hingga memakan korban jiwa yang tidak sedikit hanya ditangani dengan saling lempar tanggungjawab. Sosialisasi untuk pengalihan bahan bakar minyak ke gas dengan memfasilitasi penyediaan gas converter kit hanya memilingi tengat waktu (target pelaksanaan) kurang dari 4 bulan. Sementara itu, pakar perminyakan Kurtubi sendiri sudah menganjurkan (rekomendasi) kepada pemerintah sejak 5 tahun yang lalu. Suatu pertanyaan besar pula, PT Pertamina (Persero) yang beroperasi di wilayah yang kaya minyak cuma memberikan laba bersih tidak lebih dari Rp 25 triliun per tahun, sementara Petronas Bhd. (Malaysia) mampu membukukan laba bersih di atas Rp 200 triliun per tahun.

Pihak pemerintah menghendaki agar harga BBM di dalam negeri disesuaikan atau mengikuti harga internasional, bukan menghendaki menjual dengan harga keekonomiannya sendiri. Tentunya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar, ketimbang menggunakan mekanisme harga BBM di dalam negeri. Alasan yang melandasi tentunya karena faktor anggaran (APBN) yang kerap mengalami defisit atas sumber-sumber pembiayaan. Setiap tahunnya pihak pemerintah senantiasa mengajukan utang luar negeri. Dalam hal ini, pemerintah menghendaki berspekulasi terhadap harga minyak dunia yang dinamikanya mampu mengurangi faktor opportunity looses atau faktor kehilangan keuntungan yang besar. Alasan penghematan sesungguhnya hanya retorika semata.

Kontroversi yang sesungguhnya perihal kebijakan subsidi berasal dari pertentangan paham neoklasik dan Keynesian. Dilandasi oleh pemikiran kapitalis, kelompok neoklasik tidak pernah berhenti menyerang kelompok yang pro terhadap campur tangan pemerintah ke dalam perekonomian. Tarik menarik di antara keduanya tidak pernah pula usai, bahkan perdebatan pun menjadi semakin rumit.

Mengenai kontroversi ada atau tidak ada subsidi BBM, tergantung pada sisi mana hendak menjelaskan. Mekanisme keuntungan BBM yang disimulasikan oleh Kwik Kian Gie cukup masuk akal, karena menggunakan pendekatan yang mengintergrasikan penghitungan harga BBM ke dalam penghitungan pendapatan migas. Terminologi subsidi BBM yang digunakan oleh pihak pemerintah pun dapat dianggap rasional, karena masih mengikuti kaidah umum mekanisme anggaran pemerintah. Perbedaannya hanya terletak pada aspek kepentingan dan keberpihakan terhadap masing-masing pendekatan tersebut.