Tulisan berikut ini saya turunkan untuk meluruskan fakta maupun pandangan masyarakat terhadap opini yang keliru mengenai subsidi. Kekeliruan tersebut dapat disebabkan karena perbedaan cara pandang atau interpretasi, ketidaktahuan konsep maupun aspek definitifnya. Tema yang hendak saya kaitkan berkenaan dengan polemik berupa pro dan kontra subsidi BBM. Setelah saya amati, ternyata polemik tersebut tercipta akibat ketidaktahuan masyarakat seputar teknis dari permasalahan yang dipolemikkan, sehingga terjebak ke dalam opini keliru mengenai subsidi BBM.
Mengenai Definisi Subsidi
Pada tulisan terdahulu, saya pernah menguraikan definisi maupun konsep diterapkannya subsidi. Perlu kita sepakati bersama apabila definisi atas subsidi memiliki kesamaan teknis, konseptual, maupun penerapannya di mana pun istilah tersebut digunakan dan diterapkan. Pendekatan maupun definisi/konsep yang saya gunakan pula untuk menerangkan subsidi tidak berbeda dengan pandangan dari ekonom Kwik Kian Gie, Hendry Saparini, Ichsanuddin Noorsy, maupun beberapa kalangan ekonom lainnya, yaitu dengan menggunakan pendekatan opportunity loss. Di sini saya mencoba untuk membuatkan deskripsi atau gambaran subsudi dengan menggunakan pendekatan kebijakan publik.
Dalam konteks anggaran pemerintah, ada dua bentuk pengeluaran anggaran sehubungan dengan pembayaran kepada masyarakat, yaitu pengeluaran subsidi dan pengeluaran transfer kesejahteraan (Powel dan Steinberg, 2006). Perbedaannya terletak pada konsep atau definisi mengenai sasaran atau siapa yang menerima. Kebijakan subsidi berkaitan dengan bentuk kebijakan publik di mana sasarannya adalah konsumsi masyarakat. Mengenai transfer kesejahteraan merupakan kebijakan pembangunan yang disalurkan berdasarkan sasarannya berupa individu atau kelompok individu dengan kriteria-kriteria tertentu (misalnya dengan menggunakan kriteria kemiskinan). Saya akan lebih perdalam mengenai berbagai pengertian dan definisi subsidi dalam perekonomian.
Berdasarkan kamus Oxford tahun 2007 disebutkan apabila subsidi merupakan money granted atau semacam pemberian uang tunai oleh negara atau swasta ke atas harga komoditi. Definisi tersebut mirip dengan definisi subsidi dari The Economist yang lebih menitikberatkan pada pengertian kebijakan publik. Definisi berbeda pula diterapkan berdasarkan pendekatan lingkungan sebagai bentuk kerusakan yang tidak dikompensasikan atas adanya insentif terhadap komoditi yang tidak ramah lingkungan. Dari sudut pandangan perdagangan internasional atau ekonomi internasional, subsidi diartikan sebagai bentuk insentif harga atas barang-barang maupun jasa di dalam negeri yang bertujuan untuk menaikkan tingkat persaingannya terhadap barang-barang impor.
Dari keseluruhan definisi tersebut, kita batasi pada aspek konsumsi, yaitu subsidi merupakan bentuk insentif yang ditujukan pada aktivitas konsumsi masyarakat. Dengan demikian, subsidi dalam konteks ilmu ekonomi dan produksi ditujukan sasarannya pada aktivitas ekonomi, yaitu konsumsi dan produksi. Konotasi ‘salah sasaran’ pada pengertian subsidi berupa individu atau kelompok adalah tidak tepat. Seharusnya sasaran yang dimaksudkan dalam subsidi terletak pada aktivitas ekonominya, bukan status sosial dari pelaku ekonomi.
Asal-Muasal Salah Sasaran Subsidi BBM
Sumber pembentukan opini mengenai subsidi BBM salah sasaran sebenarnya berasal dari pernyataan pemerintah sendiri. Saya sendiri sulit untuk mengklarifikasikan pernyataan tersebut, karena sumbernya tidak jelas. Baru satu ketika dalam acara Saresehan Anak Negeri (MetroTv) tanggal 7 Maret 2012, seorang pengamat kebijakan publik, Revrisond Baswier menjelaskan adanya upaya untuk menggeser paradigma. Dijelaskan oleh Revrisond, bahwa pernyataan salah subsidi BBM sasaran tersebut berasal dari hasil riset Bank Dunia (World Bank) yang ditampilkan ke dalam iklan layanan masyarakat di tahun 2005. Karena merasa ada kejanggalan dari hasil riset tersebut, Revrisond kemudian melakukan klarifikasi ilmiah yang disampaikan secara terbuka. Tidak lama kemudian, pada iklan layanan masyarakat berikutnya, kutipan dari Bank Dunia tersebut sudah dihilangkan.
Jika saja hendak dibentuk pendapat berupa subsidi BBM salah sasaran, maka seharusnya tidak menitikberatkan pada status ekonomi individu maupun kelompok individu. Misalnya yang disebut bentuk subsidi salah sasaran seperti pemberian subsidi untuk kondominium. Disebut salah sasaran, karena hanya segelintir orang tertentu mau membeli ataupun menyewa kondominium. Ekses dari transaksi kondominium pun sangat sempit atau tidak banyak menciptakan manfaat positif bagi perekonomian. Lagipula, tanpa harus diberikan subsidi pun tidak akan merubah ketertarikan segmen tertentu yang umumnya golongan sangat mampu. Contoh lain bentuk subsidi salah sasaran seperti subsidi untuk roti. Tidak semua orang di negeri ini yang terbiasa makan roti sebagai makanan pokok. Ada cukup banyak alternatif konsumsi karbohidrat yang jauh lebih murah ketimbang roti, serta memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi.
Penyebutan salah sasaran pada konteks kebijakan subsidi haruslah mempertimbangkan sasarannya berupa aktivitas konsumsi. Berikut ini parameter yang dipertimbangkan dalam penerapan subsidi yang saya sadurkan ringkasannya dari pendapat Mankew (2004).
Kapasitas Pengguna Barang/Jasa
Subsidi diterapkan berdasarkan pertimbangan banyaknya pengguna barang maupun jasa yang dikonsumsi. Semakin tinggi penggunanya, maka akan semakin tinggi pula dampak maupun eksternalitas ekonomi yang diciptakan dari aktivitas konsumsi tersebut.
Dampak Ekonomi dan Eksternalitas
Pemberian subsidi hendaknya pula mempertimbangkan besarnya dampak ekonomi maupun eksternalitasnya. Aktivitas konsumsi yang disubsidi tersebut hendaknya pula harus mampu menciptakan munculnya aktivitas perekonomian lainnya yang mendukung atau masih berkaitan dengan aktivitas ekonomi yang disubsidi.
Pandangan kriteria subsidi dari Mankew (2004) cukup sejalan dengan pendekatan yang digunakan oleh Shin dan Kim (2010) yang menitikberatkan dampak subsidi tersebut terhadap kinerja perekonomian. Selain harus bisa menciptakan dampak ekonomi maupun eksternalitas yang positif, kebijakan subsidi pula harus dapat memberikan manfaat perekonomian berupa kemampuan untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Kinerja perekonomian yang dimaksudkan dapat pula berupa peningkatan efisiensi produksi dari komoditi-komoditi yang diberikan subsidi. Powel dan Steinberg (2006) menambahkan lebih banyak parameter untuk mengidentifikasikan penerapan subsidi ke dalam aktivitas perekonomian. Misalnya kriteria kemanfaatannya untuk menopang kesejahteraan individu maupun regional dan beberapa dampak-dampak atas penerapan subsidi. Di sini akan digunakan pendekatan Mankew (2004) yang dianggap lebih mudah untuk diklarifikasikan penerapannya untuk kasus subsidi BBM di Indonesia.
Apakah Subsidi BBM di Indoensia Salah Sasaran?
Di sini saya mengesampingkan dulu kontroversi mengenai mekanisme pemberian subsidi maupun metodologi perhitungannya, kecuali dalam penjelasan ini lebih menitikberatkan pada pengertian secara definitif dari subsidi dan subsidi BBM untuk kasus di Indonesia. Di awal tadi sudah dibahas jika pengertian salah sasaran dimaksudkan pada aktivitas ekonominya, bukan pada identitas sosial dari individu maupun kelompok individu. Kita akan coba dengan kelompok barang yang disubsidi, yaitu jenis bensin premium (RON88) dan solar.
Bensin ataupun solar merupakan jenis barang komplementer, yaitu jenis barang yang penggunaannya harus digunakan bersamaan dengan barang lainnya. Adapun yang dimaksud barang lain yang digunakan untuk penggunaan bensin maupun solar adalah kendaraan bermotor (Coady, et al, 2007). Perlu diketahui apabila bensin jenis premium atau RON88 dikonsumsi oleh pemilik kendaraan bermotor atau kendaraan bermotor dengan teknologi yang masih memungkinkan untuk dikonsumsi. Jadi seperti kendaraan bermotor yang berteknologi moderen, seperti menggunakan injeksi elektronik dengan kompresi tinggi secara teknsi tidak diperkenankan untuk mengkonsumsi bensin dengan kadar oktan di bawah 88. Hanya bermotor dengan teknologi di bawah injeksi yang dianggap memadai menggunakan bensin premium.
Kita akan melihat kriteria pertama, yaitu kapasitas pengguna atau pemakai subsidi BBM jenis bensin premium (RON88) dan solar. Untuk mengetahuinya harus menggunakan data dari Statistik Kendaraan Bermotor yang dikeluarkan oleh BPS. Data tersebut dihimpun dari Statistik Lalu Lintas yang dicatat berdasarkan jumlah kendaraan bermotor oleh pihak Kepolisian RI. Kita bisa melihat data tersebut pada tabel berikut ini yang disajikan hingga tahun 2009 lalu.
Kebetulan saya tidak memiliki rincian atau detail mengenai spesifikasi kendaraan bermotor. Misalnya untuk jenis sepeda motor masih harus terbagi antara jenis kendaraan di bawah 200cc dan di atas 200cc. Sepeda motor di bawah 200cc ini pun masih terbagi berdasarkan teknologinya, yaitu injeksi elektronik dan injeksi maupun non injeksi. Agar tidak membingungkan, dibuatkan saja perkiraan apabila pada tahun 2009, jumlah sepeda motor yang mengkonsumsi bensin premium mencapai sekitar 60 juta unit. Pada kelompok kendaraan bermotor jenis mobil adalah jenis sedan ataupun jenis angkutan bermotor yang dikendari oleh keluarga. Di sini pun masih terbagi kelompok kendaraan berdasarkan teknologinya yang nanti akan menentukan jenis bensi yang dikonsumsi (bisa berupa bensin ataupun solar). Dengan menggunakan data dari Gaikindo tahun 2009, kita bulatkan saja jumlah yang mengkonsumsi bensin premium sebanyak 8 juta unit.
Kelompok transportasi atau kendaraan bermotor untuk bis mapun truk biasanya akan mengkonsumsi bahan bakar berupa solar. Definisi statistik untuk kelompok bis oleh BPS mengindikasikan apabila kendaraan bis yang dicatat hampir bisa dipastikan mengkonsumsi solar. Dari data Satlantas Polri tahun 2009 pula diketahui apabila kendaraan bermotor jenis bis digunakan sebagai sarana transportasi umum. Adapun jumlah pengguna transportasi umum diperkirakan mencapai di atas 150 juta orang yang tersebar di seluruh Nusantara. Hanya penduduk yang tidak dijangkau oleh sarana jalan umum yang tidak menikmati transportasi umum. Di sini saya mencoba membuatkan perkiraan kasar untuk cakupan dalam pengamatan (observasi). Adapun kendaraan bermotor seperti truk misalnya lebih banyak digunakan untuk keperluan niaga, seperti pengangkutan barang yang dapat menghasilkan nilai tambah.
Dari data jumlah pengguna kendaraan bermotor maupun pengguna jasa transportasi yang bahan bakarnya disubsidi tersebut diketahui sebanyak lebih dari 200 juta orang. Sebanyak 68 juta orang diperkirakan merupakan pengguna kendaraan pribadi, sedangkan sisanya merupakan pengguna transportasi umum. Kedua kelompok ini masih bisa dikategorikan sebagai pihak yang secara langsung menikmati subsidi BBM. Dengan demikian, kriteria pertama mengenai pertimbangan kapasitas individu yang menikmati langsung subsidi dianggap sudah terpenuhi, karena prosentasenya terhadap total jumlah penduduk mencapai di atas 50%. Sebagai perbandingan, subsidi di sektor perikanan di Norwegia hanya dinikmati langsung oleh sebanyak kurang dari 48% jumlah penduduknya. Kriteria subsidi untuk aktivitas konsumsi menurut Powel dan Steinberg (2006) tidak memberikan toleransi atas persentase kapasitas mereka yang secara langsung menikmati subsidi.
Pertimbangan selanjutnya adalah dampak ekonomi dan/atau eksternalitas dari aktivitas perekonomian yang disubsidi. Penggunaan kendaraan bermotor di Indonesia tidak berbeda dengan kebanyakan negara, yaitu sebagai sarana transportasi atau pendukung transportasi. Pada kawasan perkotaan, kendaraan bermotor digunakan untuk mendukung mobilisasi pekerjaan yang dihitung sebanyak hari kerja dalam setahun. Hal ini berlaku untuk pilihan transportasi pribadi maupun transportasi umum. Ini berarti penggunaan transportasi tersebut bertujuan dalam rangka untuk mendukung produktivitas kerja, terutama untuk mereka yang tinggal di kota-kota besar di mana jarak tempat tinggal dan lokasi kerja bisa lebih dari 5 km. Dukungan terhadap produktivitas kerja dinikmati oleh sebagaian kalangan pekerja profesional maupun tenaga kerja seperti buruh dan karyawan.
Sebagai faktor pendukung produktivitas pula ditemukan di kalangan pelaku usaha seperti kelompok usaha kecil dan menengah (UKM). Pada umumnya mereka cenderung menggunakan atau mengkonsumsi bahan bakar bersubsidi sebagai bagian dari faktor input. Misalnya, sebagai bahan bakar untuk keperluan mobilisasi usaha (pengangkutan/pengiriman) ataupun justru menjadi sarana utama kegiatan usaha seperti jasa angkutan umum ataupun jasa pengangkutan. Pada umumnya mereka termasuk ke dalam kendaraan ber-plat kuning maupun plat hitam. Jasa angkutan umum pun tidak sedikit yang menggunakan plat hitam.
Dari kedua kriteria yang dikemukakan oleh Mankew (2004) maupun pendekatan Powel dan Steinberg (2006), selanjutnya akan dilakukan evaluasi untuk mengidentifikasikan kemungkinan terjadinya subsidi yang dikatakan salah sasaran.
Evaluasi Subsidi Salah Sasaran: Kasus Subsidi BBM
Sekalipun dua kriteria subsidi dari Mankew (2004) dikatakan telah terpenuhi untuk kasus subsidi BBM di Indonesia, tetapi belum membentuk kesimpulan akhir terhadap kriteria salah sasaran ataupun tepat sasaran. Anda tidak bisa begitu saja memberikan pernyataan salah sasaran ataupun tepat sasaran tanpa didukung suatu evalusi ataupun kajian yang memadai dan relevan. Dua kriteria dari Mankew (2004) barulah pada taraf pembentukan fakta atau terpenuhinya asumsi teoritis. Selanjutnya, dibutuhkan dua elemen ilmiah untuk membentuk kesimpulan utama, yaitu data dan kajian ilmiah.
Penulis mengakui cukup kesulitan untuk membentuk kesimpulan akhir, terutama karena lemahnya informasi untuk menghimpun kajian ataupun studi mengenai subsidi BBM yang memiliki relevansi dengan topik yang disampaikan. Studi yang dilakukan oleh Agustina, et al (2011) hanya menyentuh pada aspek kebijakan fiskal dan mekanismenya, bukan pada sisi makroekonomi. Sementara itu, kajian yang dibutuhkan di sini harus menggunakan pendekatan makroekonomi maupun mikroekonomi. Di sini pihak penulis mencoba untuk menggunakan pendekatan tunggal, yaitu dengan memanfaatkan data yang relevan dengan topik penulisan. Perhatikan data kenegakerjaan di bawah ini.
Tabel di atas merupakan angka tenga kerja usia di atas 15 tahun berdasarkan status pekerjaan utama yang tersebar di seluruh sektor perekonomian. Secara umum, mereka inilah yang paling dominan menikmati langsung subsidi BBM (bensin premium maupun solar), terutama untuk kelompok status pekerjaan utama nomor 2, 4, 5, dan 7. Persentasenya terhadap total jumlah tenaga kerja mencapai diatas 70% setiap tahunnya. Menikmati langsung berarti mengkonsumsi secara langsung untuk transportasi pribadi, digunakan untuk keperluan wirausaha, maupun menikmatinya sebagai sarana transportasi umum (penumpang). Jika diperhatikan, pada tahun 2011 terdapat sekitar 110 juta tenaga kerja dari keseluruhan kelompok yang berarti melampaui separuh dari total jumlah penduduk. Lebih dari 70% yang diperkirakan menikmati langsung subsidi BBM.
Bagi kelompok yang di atas 70% tadi, subsidi BBM akan berdampak langsung mendukung produktivitas sebagai tenaga kerja maupun digunakan sebagai usaha. Jika merujuk indikator versi Kementrian Tenaga Kerja, maka mayoritas yang terdapat pada kelompok di atas 70% inilah yang memiliki pendapatan kurang dari 4 USD/hari atau kelompok dengan pendapatan kurang dari Rp 3 juta/bulan. Mereka memiliki kemampuan ataupun kapasitas perekonomian yang relatif terbatas. Apalagi jika dalam satu rumahtangga hanya mengandalkan satu sumber pendapatan. Perubahan harga kebutuhan pokok (termasuk BBM) akan berdampak cukup besar mempengaruhi kemampuan konsumsi mereka. Dalam pemahaman lain, bahwa subsidi BBM tersebut dianggap cukup membantu kemampuan mereka untuk mensejahterakan dirinya sendiri.
Bagaimana dengan dampak ekonomi lainnya?
Jika di antara mereka yang 70% tadi bekerja untuk orang lain sebagai buruh ataupun karyawan, maka subsidi BBM akan cukup membantu meringankan permasalahan internal perusahaan atau pemilik kapital. Pihak perusahaan tidak harus banyak dipusingkan urusan kesejahteraan karyawan ataupun tuntutan untuk menaikkan upah minimum. Tentu saja kondisi tersebut akan memperkecil oportunitas biaya, sehingga akan terbuka kesempatan untuk lebih meningkatkan produktivitas usaha.
Di tahun 2010 dan 2011, pemerintah selalu mengklaim telah terjadi pertumbuhan jumlah kewirausahaan di kelompok UKM setiap tahunnya. Pada tahun 2012 ini bahkan pemerintah masih mengekspos data mengenai trend pertumbuhan pelaku usaha UKM yang dianggap cukup signifikan memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional. Pemerintah pula selalu mengklaim melalui APBN jika penerimaan dari sektor perpajakan senantiasa meningkat setiap tahun, terutama perpajakan di dalam negeri. Tidak bisa dipungkiri lagi, apabila fakta ekonomi tersebut menunjukkan apabila pemberian subsidi BBM dianggap tepat sasaran, sesuai dengan definisi maupun kriterianya.
Perlu diketahui, apabila komoditas bahan bakar memiliki eksternalitas yang termasuk cukup luas dalam perekonomian (Coady, et al, 2007). Pemakaian (konsumsi) bahan bakar tidak bisa dipungkiri lagi menjadi motor penggerak perekonomian maupun pertumbuhannya. Industri otomotif akan semakin tumbuh dan berkembang yang kemudian diikuti dengan industri komponen. Belum pula ditambahkan eksternalitasnya dengan keberadaan kelompok jasa perawatan dan perbaikan. Bisa dibayangkan dampaknya jika dari eksternalitas semacam ini kemudian dihubungkan dengan kapasitas penyerapan tenaga kerja. Keberadaan industri otomotif pula terintegrasi dengan sektor jasa keuangan, seperti perbankan maupun lembaga pembiayaan (financing). Kelembagaan perbankan saat ini pun telah menyediakan layanan pembiayaan khusus untuk kepemilikan kendaraan bermotor.
Jika dibandingkan dengan periode sebelum reformasi tahun 1998, maka perkembangan eksternalitas dari konsumsi BBM di Indonesia jauh lebih terintegrasi dan semakin melebar. Tentu saja, akibat semakin meluasnya dampak tersebut mendorong dilakukannya pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, jalan tol, dan jembatan penyeberangan. Dengan demikian, jika melihat dari data dan fakta, maka penerapan subsidi BBM untuk kasus perekonomian di Indonesia dianggap telah sesuai dengan definisi maupun kriteria penerapannya.
Kesimpulan dan Penutup
Dengan menggunakan pendekatan kriteria penerapan subsidi dari pandangan Mankew (2004) dapat diketahui apabila penerapan subsidi BBM untuk kasus di Indonesia telah memenuhi dua kriteria pokok, yaitu kriteria kapasitas dan kriteria dampak ekonomi dan eksternalitasnya. Tentu saja, fakta yang dikemukakan oleh penulis perlu dilakukan tinjauan ilmiah lebih lanjut untuk mengukur validitas antara data dan fakta. Dari pendekatan subsidi oleh Powel dan Steinberg (2006) diperoleh suatu gambaran mengenai elastisitas subsidi BBM terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Pada ulasan di atas telah disampaikan apabila kelompok yang menikmati langsung subsidi BBM secara umum merupakan kelompok yang relatif cukup sensitif terhadap perubahan atas harga dan inflasi.
Kajian yang dilakukan oleh Bertrant dan Vanek (1971) mungkin bisa digunakan untuk menjelaskan salah satu aspek persoalan dalam subsidi, yaitu terletak pada aspek persaingan perdagangan internasional. Jika menggunakan pendekatan liberalisasi, subsidi merupakan komponen kebijakan yang dianggap akan mengurangi aspek fairness dalam persaingan. Subsidi pula dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah ke dalam perekonomian yang berpotensi akan menciptakan distorsi atas harga (Mankew, 2004). Distorsi harga akibat penerapan subsidi BBM tersebut akan semakin meluas, karena eksternalitas secara ekonomi dari subsidi BBM itu sendiri cukup luas. Tentu saja pendekatan ekonomi pasar tidak selalu harus dibenarkan penerapannya atau dijadikan acuan dalam manajemen perekonomian. Kita bisa melihat sendiri betapa besarnya intervensi ekonomi yang dilakukan pemerintah China ke dalam perekonomiannya.
Referensi
Agustina, Cut Dian RD., Wolfgang Fengler, and Gunther G. Schulze, 2011, “Indonesia’s Fiscal Policies On Oil and Gas - Options For Reform”, Discussion Paper Series from Department of International Economic Policy (University of Freiburg), No 18.
Bertrand, Trent J. and Jaroslav Vanek, 1971, “The Theory of Tarrifs, Taxes, and Subsidies: Some Aspects of The Second Best”, Journal American Economic Review, Volume 61, Issue 5 (p925-931).
Coady, David, Amine Mati, Taimur Baig, and Joseph Ntamatungiro, 2007, “Domestic Petroleum Product Prices and Subsidies: Recent Developments and Reform Strategies”, IMF Working Papers, No 07/71.
Mankew, N. Gregory, 2004, Principles of Economics, Third Edition, International Student Edition, Thomson South-Western Publisher, Ohio.
Powel, Walter W. and Richard Steinberg, 2006, The Non-Profit Sector: A Research Handbook, Second Edition, Yale University Press, Connecticut.
17 Maret 2012
MELURUSKAN PANDANGAN ‘SALAH SASARAN’ SUBSIDI BBM
05.19
Leo Kusuma
0 comments:
Posting Komentar