11 Maret 2012

MENYIBAK KONTROVERSI POLITIK GAS TANGGUH

Gas Tangguh merupakan nama lapangan gas alam di Papua yang memproduksi LNG (liquid natural gas). Untuk saat ini Gas Tangguh di Papua merupakan cadangan gas alam terbesar di Indonesia. Isu mengenai Gas Tangguh ternyata menjadi komoditas politik dan sekaligus menjadi kampanye hitam untuk menjatuhkan lawan politik di 2004 dan 2009. Hanya pada kedua masa itulah isu Gas Tangguh beredar luas di masyarakat yang kemudian membentuk opini umum. Ada apa dibalik politik Gas Tangguh? Mengapa begitu sulit proses renegosiasi kontrak Gas Tangguh?

Latar Belakang
LNG atau liquid natural gas atau dikenal pula dengan istilah gas biru (blue gas) merupakan salah satu sumber energi alternatif pengganti sumber energi fosil. Ketersediaannya yang melimpah dan sifat pembakarannya yang jauh lebih efisien menyebabkan harganya pun relatif lebih murah dibandingkan minyak mentah. Harga yang murah dikarenakan gas alam masih menjadi alternatif komoditas energi yang selama ini masih menggunakan minyak mentah. Penggunaan gas alam sendiri cukup luas. Mulai dari rumahtangga, industri, dan otomotif (bahan bakar gas).

Tidak seperti minyak mentah yang bisa disimpan lama, seperti gas biru (LNG) tidak bisa disimpan lama setelah dikeluarkan ataupun setelah pengeboran. Pada lapangan gas alam telah disediakan tempat penampungan berupa kubah khusus yang mampu untuk menahan tekanan udara. Gas alam memiliki unsur kimia yang relatif kurang stabil, terutama apabila disimpan terlalu lama. Untuk menyeimbangkan tekanan tersebut biasanya dilakukan cara dengan membuangnya atau dengan membakarnya. Jika tidak, maka gas alam yang sudah tertampung tadi akan terus meningkat tekanannya, sehingga dapat memicu ledakan.

Berawal dari temuan satelit penginderaan SDA dari Amerika (LANSAT) yang menemukan cadangan gas alam melimpah di sekitar Teluk Bintuni pada tahun 1997. Menurut British Petroleum (BP), perkiraan potensial kandungan gas alam di Teluk Bintuni dapat mencapai sekitar 14,4 triliun kaki kubik yang terbukti dan perkiraan cadangan sekitar 24-25 triliun kaki kubik. Sekalipun berada pada masa krisis, Presiden Soeharto langsung menginstruksikan untuk segera melakukan eksplorasi dan eksploitasi yang kemudian diserahkan kepada pihak BP. Cukup mengherankan apabila BP mendapatkan konsesi penuh berupa hak atas pengelolaan Gas Tangguh. Adapun LNG Tangguh melengkapi keseluruhan aset gas alam seperti LNG Arun (Aceh) yang dikuasai oleh PT Pertamina (Persero) (55%) dan Exxon Mobil-Oil (30%) dan LNG Bontang (Kaltim) yang dikuasai oleh PT Pertamina (Persero) (55%). Untuk LNG Tangguh sendiri dikuasai sahamnya oleh BP (Inggris) sebesar 37,16% di mana sisanya dikuasai oleh korporasi asing (Jepang). Referensi terkait dapat dibaca di sini.

Penjualan Gas Tangguh ke China
Hingga saat ini, proyek LNG Tangguh telah memiliki sebanyak 4 proyek jangka panjang bersama 3 negara, yaitu Fujian LNG (China), K-Power dan POSCO (Korea Selatan), dan Sempra Energy (Meksiko). Salah satu kontrak penjualan yang dipermasalahkan saat ini berupa kontrak penjualan gas alam ke China yang dianggap terlalu murah, yaitu 2,5 USD/MMBTU. Sebenarnya tidak hanya ke China, melainkan dijual murah pula ke K-Power (Korsel) dengan harga yang sama dijual ke China.

Penulis sedikit mengalami kesulitan untuk mengumpulkan referensi mengenai kronologi dikeluarkannya kebijakan kontroversial Gas Tangguh ke China. Disebut kontroversial, karena kebijakan tersebut akhirnya menjadi komoditas politik yang menjatuhkan kredibilitas capres Megawati Soekarnoputeri pada pilpres 2004 dan 2009. Referensi melalui media internet sulit ditemukan, sekalipun penulis sudah menggunakan kombinasi kata kunci pencarian. Penulis hanya mengingat pemberitaan pada koran Kompas dalam edisi cetak. Sayangnya, artikel berita koran tersebut tidak sempat di-kliping, kecuali penulis hanya mencatatkan pada buku harian Indonesia.

Rencana penjualan Gas Tangguh ke China dikemukakan tidak lama setelah Gus Dur (Alm.) lengser dari kursi kepresidenan digantikan oleh Megawati Soekarnoputeri. Pemerintah mendapatkan tekanan untuk menutup defisit APBN yang sebelumnya banyak dikeluarkan untuk keperluan program restrukturisasi perekonomian dan perbankan. Alternatif untuk mendapatkan pemasukan kemudian muncul dari opsi penjualan Gas Tangguh. Seperti diketahui, bahwa gas alam di lapangan LNG Tangguh tersebut belum banyak mendapatkan tawaran pembelian. Kelebihan di pengilangan akan berakibat kerugian, karena harus dibuang dengan cara dibakar. Oleh karenanya, perlu dilakukan pengambilan keputusan strategis yang berperan menutup defisit APBN dan mendayagunakan nilai ekonomis LNG Tangguh yang belum lama beroperasi.

Mengapa LNG Tangguh harus dijual murah?

Alasan utama dikarenakan faktor teknis apabila gas alam yang sudah dikeluarkan harus segera dialirkan. Jika tidak, maka gas alam yang tertampung di kilang penampungan harus dibuang (dengan cara dibakar). Ini berarti terjadi kerugian di mana pemerintah tidak akan mendapatkan pemasukan. Jika harus dijual, ketika itu hanya muncul opsi penjualan ke China. Permasalahannya, China sendiri menerima tawaran dari penjual gas alam lain selain Indonesia. Ini berarti Indonesia harus bersaing untuk mendapatkan kontrak penjualan dengan China. Kondisi inilah yang kemudian mendasari agenda dilakukannya rapat kabinet untuk memutuskan LNG Tangguh.

Munculnya Kontroversi
Presiden Megawati Soekarnoputeri kemudian memutuskan untuk membuat rapat kabinet yang dihadiri oleh seluruh jajaran menteri dan kementrian kabinet. Dari beberapa sumber diperoleh setidaknya 4 nama penting di dalam rapat kabinet tersebut, yaitu Megawati Soekarnoputeri (Presiden dan sekaligus yang memimpin rapat kabinet), Jusuf Kalla (Menko Kesra), Soesilo Bambang Yudhoyono (Menkopolkam), dan Purnomo Yusgiantoro (Menteri ESDM). Tiga di antaranya adalah tokoh politik penting, yaitu Megawati, Jusuf Kalla, dan Yudhoyono. Secara struktural, Megawati memang punya peran penting sebagai pihak yang mengambil keputusan. Namun, dalam rapat kabinet berlaku pula apabila keputusan tersebut telah mendapatkan kesepakatan bersama dari seluruh jajaran menteri maupun kementrian.

Dengan memperhatikan kondisi perekonomian dan keputusan politik pada tahun 2002 tersebut sebenarnya tidak sedikit pun mengandung kontroversi secara teknis. Kontroversi LNG Tangguh tersebut muncul dengan adanya anggapan penjualan LNG dengan harga murah ke China. Anggapan tersebut semakin menjadi kontroversi setelah menjadi opini publik yang muncul secara bersamaan pada pilpres 2004 dan 2009. Saya sendiri agaknya heran, bagaimana mungkin seorang tukang ojek di sudut Kota Yogyakarta sampai bisa beropini apabila Megawati yang dianggap bertanggungjawab atas penjualan Gas Tangguh ke China. Di tahun 2009, dalam acara Kick Andy, Megawati Soekarnoputeri sudah mengklarifikasi mengenai keputusannya dalam penjualan Gas Tangguh ke China. Sayangnya, klarifikasi yang disampaikan Megawati sedikit pun belum menjawab seputar kontroversi yang kemudian menjatuhkan popularitas politiknya di 2004 dan 2009.

Ada tiga tokoh politik penting di Kabinet Gotong Royong ketika itu, yaitu Megawati Soekarnoputeri (PDI Perjuangan), Jusuf Kalla (Partai Golkar), dan Yudhoyono (Partai Demokrat). Saya katakan penting, karena ketiganya maju ke dalam bursa pilpres di 2004 dan 2009. Adapun JK maju sebagai cawapres mendampingi Yudhoyono sebagai capres di 2004. Ketiganya pun maju sebagai capres di 2009.

Secara struktural, tidak bisa dibantah apabila Megawati Soekarnoputeri yang bertanggungjawab atas keputusan penjualan murah LNG Tangguh ke China, karena Megawati memiliki peran sebagai pihak yang mengambil keputusan. Apapun situasinya, tentu akan sangat mudah menjadi bulan-bulanan politik bagi lawan-lawan politik Megawati. Keputusan tersebut mungkin tidak salah, tetapi cukup rawan untuk sasaran lawan-lawan politiknya. Tetapi yang perlu harus digarisbawahi, bahwa keputusan LNG Tangguh bukan semata keputusan ekonomi, melainkan keputusan politik pula. Pertanyaannya, siapakah pihak di dalam negeri yang diuntungkan dari keputusan tersebut?

Saling Tuding
Karena merasa gerah dituding sebagai pihak yang bersalah, pihak PDIP yang diwakili anggota DPR RI Komisi VII, Effendy Simbolon mengajak dan menantang pihak Yudhoyono dan Jusuf Kalla untuk bisa membuktikannya. Pernyataan ini diungkapkan di tahun 2008 lalu, beberapa bulan menjelang Pilpres 2009. Tentu saja pertanyaan yang dilontarkan kepada Effendy Simbolan didasarkan pada isu-isu yang berkembang di masyarakat seputar kontroversi kebijakan penjualan Gas Tangguh ke China.



Dalam kunjungannya ke China tanggal 23 Agustus 2008 lalu, Wapres Jusuf Kalla menyindir mengenai kontrak penjualan LNG Tangguh yang dinilainya paling berbahaya karena sangat murah. Tidak hanya itu, JK sendiri mengaku ikut ke dalam rapat kabinet, akan tetapi keputusan kabinet sendiri diambil oleh Megawati selaku Presiden RI. Tudingan yang sama pula dilemparkan oleh kubu Yudhoyono dan Partai Demokrat untuk menjawab tudingan keterlibatannya dalam penjualan LNG Tangguh ke China.

Dalam pandangan saya, saling tuding tersebut bukanlah mencerminkan sikap dewasa. Tentu saja di sini saya melihat tudingan tersebut hanyalah dilatarbelakangi oleh motif politik, yaitu mencari keuntungan politik dengan menjatuhkan popularitas politik pihak lain. Sulit untuk bisa mengidentifikasikan masalah internalnya, karena masing-masing pihak di sini saling menahan fakta. Kubu Megawati sendiri enggan membeberkan fakta yang ditudingkan kontroversi dalam keputusan Gas Tangguh. Sebenarnya memang tidak perlu, karena pihak PDIP sendiri tidak ingin memperpanjang masalah. Persoalannya opini publik sudah beredar luas yang nampaknya disengaja untuk menciptakan anggapan negatif di masyarakat.

Saya mengkritisi sikap kubu pemerintah dan parpol pendukung pemerintah yang terkesan seolah melempar kesalahan. Cukup bisa dipahami apabila tudingan kubu pemerintah tidak lain untuk menjawab kritik yang ditujukan kepada pemerintah. Seharusnya pemerintah di sini memberikan informasi yang terbuka kepada masyarakat, bukan malah memberikan sikap politik dengan saling tuding dan menciptakan persepsi negatif atas lawan politiknya. Sebagai catatan, bahwa kontrak penjualan LNG Tangguh masih dapat diperbaharui setiap 4 tahun sekali. Hal ini dikarenakan untuk menyesuaikan fluktuasi atau perubahan harga gas alam (LNG) yang senantiasa dinamis setiap periode tertentu. Dalam acara Suara Anda di MetroTv tanggal 15 Februari 2012 lalu, Jero Wacik (Menteri ESDM) dengan jelas memberikan pernyataan yang mendiskreditkan Megawati Soekarnoputeri yang notabene adalah lawan politik parpol maupun pimpinannya. Seharusnya Jero Wacik menerangkan dan terbuka kepada rakyat mengenai kesulitan dan permasalahan yang menjadi dilema atas sulitnya melakukan renegosiasi kontrak penjualan LNG Tangguh.

Pemerintah sebenarnya sudah berhasil pada renegosiasi pertama di tahun 2006. Harga jual LNG Tangguh dapat dinaikkan dari sebesar sebesar 2,4 USD/MMBTU menjadi sekitar 3,5 USD/MMBTU. Memang cukup disayangkan, karena pada renegosiasi kedua di tahun 2009 tidak tercapai kesepakatan atau gagal. Targetnya menaikkan harga jual dari sebesar 3,5 USD/MMBTU menjadi antara 5-7 USD/MMBTU. Di sinilah sesungguhnya pemerintah harus terbuka kepada masyarakat mengenai permasalahan dan dilema, sehingga sulit untuk meloloskan renegosiasi di tahun 2009 maupun rencanan renegosiasi ulang di bulan Maret 2012 nanti. Bukannya malah menuding Megawati yang menjadi presiden dan sekaligus dipersepsikan sebagai sumber masalah. Hal ini menunjukkan apabila pemerintah bekerja untuk kepentingan kelompok politiknya sendiri.

Penutup
Jumlahnya yang melimpah dan sifatnya yang berupa sumber energi alternatif menyebabkan LNG memiliki harga jual yang lebih murah daripada minyak mentah. Keputusan penjualan Gas Tangguh pada tahun 2002 lalu dilatarbelakangi dua masalah, yaitu alternatif untuk menutup defisit APBN dan pilihan untuk harus menjual produk LNG di blok Tangguh (Bintuni) dengan segera. Sekalipun telah memiliki harga rata-rata internasional, tetapi harga yang dijual mencerminkan harga persaingan. Indonesia bukanlah satu-satunya negara penghasil LNG. Harga murah yang dijual ke China dikarenakan hanya China yang ketika itu mau menampung dalam jumlah besar dan kontrak jangka panjang untuk memenuhi pasokan dalam negerinya. Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain yang menjual pula LNG ke China. Sebagai catatan, China sebenarnya memiliki pula gas alam yang dapat dikelolanya sendiri. Fakta tersebut tentu akan menyebabkan posisi tawar dari pihak Indonesia akan semakin rendah. Belum lagi ditambahkan harga gas alam pada masa itu berada pada angka yang rendah. Kontrak jangka panjang haruslah diperoleh dulu, karena kontrak penjualan tersebut masih dapat diperbaharui (renegoisasi) setiap 4 tahun sekali.

Kontroversi mengenai Gas Tangguh sesungguhnya bersumber dari pihak pemerintah sendiri, yaitu dari kubu Yudhoyono dan Partai Demokrat. Sorotan yang dialamatkan ke pihak pemerintah seharusnya tidak disikapi sebagai bentuk serangan politik, melainkan sebagai masukan. Tudingan balik dengan membangun opini menyalahkan presiden sebelumnya tidak akan pernah selesai dan tidak pula akan menemukan titik temu. Jika saja dari kubu penguasa merasa tidak puas atas sorotan yang dilemparkan oleh lawan politiknya, maka sebaiknya diselesaikan secara terbuka dengan membuka fakta secara obyektif. Pihak penguasa pula tidak perlu harus menciptakan begitu banyak polemik dan perdebatan yang hanya membuang-buang energi bangsa. Akhir kata, pemerintah bersama kelompok koalisinya sebaiknya mulai terbuka kepada rakyat mengenai persoalan yang sesungguhnya dihadapi bangsa ini dalam menghadapi alotnya renegosiasi kontrak penjualan LNG Tangguh II.

2 comments:

Anonim mengatakan...

Biarlah tudingan demi tudingan & masalahan apapun dilemparkan kepada PDIP, hal itu tidak mempengaruhi masyarakat utk MEMILIH JOKO WI sebagai Presiden y.a.d.
Masyarakat tahu bahwa semua tudingan itu dari lawan politik utk menjatuhkan, jadi jangan gentar PDIP maju terus......! ! !

Anonim mengatakan...

Jangan sampai PDIP menng. Nanti banyak yang dijualin lagi....

Posting Komentar