Judul di atas bisa menjadi multi tafsir, sesuai dengan tema yang tersirat mengenai ketidakpastian informasi perihal kebijakan energi. Masing-masing pihak memiliki versi tersendiri. Sulit bagi rakyat awam untuk bisa mengklarifikasi kebenarannya. Seluruh data yang tersedia, tetapi cukup banyak pula data yang berada dalam zona abu-abu (grey area). Sebagai pihak yang berada pada posisi netral, saya tentu harus tetap bersikap obyektif dan realistis untuk membuka suatu tabir ketidakpastian informasi.
Sejak 4 bulan yang lalu, saya berkasak-kusuk dengan catatan lama dan pedoman teknis untuk dipersiapkan menghadapi isu kenaikan/pembatasan BBM. Kendala awal yang saya hadapi, bahwa saya bukanlah pakar di bidang perminyakan. Tetapi saya harus membatasi observasi pada lingkup sistem atau mekanisme pengelolaan energi, landasan berpikir dalam menyusun dan mengelola kebijakan energi, dan mekanisme pembentukan harga. Sialnya, saya harus tetap mengenal beberapa istilah di dalam teknik perminyakan untuk menghindari distorsi pemahaman atas tiga pengamatan tadi. Meminjam bahasa yang digunakan oleh Iwan Piliang, jika mau tidak mau harus mengenal bahasa-bahasa dewa.
Permasalahan mulai muncul ketika mendapati ketidaksinkronan antara data dan fakta. Menjadi semakin rumit, karena pemerintah bukannya melakukan klarifikasi informasi, melainkan malah berupaya mengacaukan pikiran. Saya sampai kebingungan untuk mencari pijakan untuk berpikir, karena adanya pertentangan dua sumber informasi yang sulit untuk dihubungkan. Pertentangan apapun akan selalu bisa ditemukan titik tengahnya, tetapi jika ada pertentangan yang tidak ada titik tengahnya, tentu ada sesuatu yang salah dalam pemaparannya. Tetapi di sinilah kemudian saya mencoba untuk membuat titik tengah sendiri yang ternyata distorsi informasi akibat faktor korupsi.
Dari 4 bulan waktu yang saya perlukan untuk melakukan pengamatan dan pengkajian, ada beberapa pertanyaan yang jawabannya di luar interpretasi atas data maupun penalarannya. Berikut ini pertanyaan yang saya tulis dalam catatan kajian kebijakan energi.
Berapakah sesungguhnya produksi (lifting) minyak bumi di Indonesia?
Berapakah sesungguhnya cadangan minyak bumi di Indonesia?
Bagaimanakah menentukan nilai ataupun harga minyak mentah?
Dua pertanyaan pertama bisa dijawab dengan menggunakan data dari BPH Migas maupun statistik energi yang dipublikasikan Kementrian ESDM. Anda tidak akan kesulitan untuk mengidentifikasikan data tersebut. Dalam buku statistik perminyakan yang diterbitkan oleh mereka, harga minyak mentah disajikan berdasarkan kelompok lapangan produksi minyak yang tersebar di NKRI. Beredarnya sejumlah informasi dan fakta yang kemudian memunculkan pertanyaan kritis atau suatu keraguan yang kemudian menjadi pertanyaan seperti yang dituliskan di atas. Keraguan teknis maupun non teknis yang bagi kebanyakan masyarakat awam tidak mungkin untuk melakukan pengklarifikasiannya.
Informasi yang beredar di masyarakat, bahwa produksi minyak mentah atau lifting di Indonesia tidak pernah mencapai target minimal sebanyak 1 juta barel per hari. Dalam statasitik perminyakan terbitan Kementrian ESDM, rata-rata produksi minyak mentah hanya mencapai sekitar 928.000 barel/hari. Sebelum tahun 2004, produksi minyak mentah mampu melampaui angka 1 juta barel/hari, bahkan mencapai 1,4 juta barel/hari. Padahal untuk saat ini saja atau sejak tahun 2006 telah terdapat lebih dari 50 perusahaan perminyakan asing yang beroperasi di NKRI. Sebelum tahun 2004 hanya dikerjakan tidak sampai 28 perusahaan perminyakan asing. Sementara itu, dikatakan produksi minyak tidak mencapai target, tetapi cost recovery yang dicatatkan oleh BPH Migas selalu meningkat setiap tahunnya.
Cadangan minyak mentah di Indonesia dapat diketahui dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan konvensional dan pendekatan moderen. Teknik konvensional dilakukan dengan upaya teknik geologi untuk mengidentifikasi batuan-batuan untuk selanjutnya dilakukan pendugaan kandungan minyak maupun gas bumi. Teknik moderen dilakukan dengan penginderaan satelit untuk menyajikan secara cepat citra bebatuan dan sekaligus dapat dengan mudah dilakukan pendugaan geologis. Satelit moderen saat ini bukan hanya mampu membantu pendugaan, tetapi mampu untuk mengindera kandungan sumber daya alam. Sebut saja satelit Landsat milik Amerika Serikat.
Data migas yang dipublikasikan oleh BPH Migas maupun Kementrian ESDM menyebutkan jika cadangan minyak mentah di Indonesia tersisa sebesar 7,9 milyar barel di tahun 2010. Jumlah ini memang tidak seberapa jika dibandingkan dengan cadangan minyak yang dimiliki oleh Venezuela yang mencapai di atas 28 milyar barel. Pertanyaannya, darimana pihak pemerintah mengetahui informasi mengenai cadangan minyak mentah di NKRI?
Pemerintah sebenarnya masih memanfaatkan peta kandungan minyak mentah dan gas alam peninggalan pemerintah Belanda. Tentu saja Belanda menggunakan teknik pendeteksian konvensional, sehingga hanya mendeteksi sumur-sumur minyak di wilayah daratan dan memiliki cekungan yang relatif lebih besar. Pemerintah Indonesia dan kebanyakan negara umumnya pula bekerja sama dengan pemerintah negara lain seperti Amerika untuk mendapatkan informasi cekungan minyak mentah maupun gas alam. Hanya saja penulis mendapat sejumlah kejanggalan perihak peta cadangan minyak mentah yang dirilis oleh BP Migas. Blok Ambalat dan blok minyak di Laut China Selatan justru tidak dimasukkan ke dalam peta cadangan minyak mentah Indonesia.
Mengenai harga minyak mentah berlaku prinsip lokal natural oil pricing di mana harganya ditentukan berdasarkan kondisi geografis di lokasi yang ditemukan kandungan minyak mentah. Secara umum, minyak mentah di kawasan Indonesia relatif masih lebih tinggi dibandingkan dengan minyak mentah yang berasal dari Timur Tengah. Faktor kandungan unsur karbon itulah yang menyebabkan terjadinya perbedaan kualitas minyak mentah maupun harga. Misalnya, minyak mentah yang terletak di laut akan lebih mahal, karena cederung memiliki kualitas yang lebih baik daripada minyak mentah yang ditemukan di daratan.
Apakah makna harga minyak mentah tersebut?
Di sinilah penulis mulai kesulitan untuk menelusuri pemahaman harga minyak mentah. Kwik Kian Gie pernah mengatakan apabila pemerintah Indonesia seharusnya mendapatkan minyak mentah sendiri dengan gratis atau tidak membeli, kecuali minyak mentah yang dibeli dari negara lain melalui mekanisme impor. Dalam buku panduan minyak internasional disebutkan pula apabila harga minyak yang dimaksudkan adalah harga atas kualitas minyak yang terdapat di suatu wilayah. Jika seperti Iran menggunakan minyaknya untuk dikonsumsi sendiri, maka harga minyak yang diambil oleh Iran adalah nol atau gratis, karena mengambil minyak sendiri. Lain halnya dengan China dan Amerika yang keduanya harus membeli minyak dari negara lain. Harga yang mereka bayar adalah harga minyak mentah ditambahkan biaya untuk pengambilan minyak mentah.
Istilah net importer muncul dari pihak atau kalangan pemerintah sendiri yang sekaligus memberikan pernyataan apabila Indonesia telah keluar dari keanggotaan OPEC. Saya membaca pernyataan tersebut pertama kali di tahun 1999 di sebuah surat kabar. Kemudian saya membaca lagi pernyataan serupa diulang kembali di tahun-tahun berikutnya. Apakah maknanya? Apakah net oil importer akan mempengaruhi kebijakan ataupun pengelolaan energi di negeri ini?
Sejak tahun 1995 hingga 2011 hanya terdapat satu kebijakan energi yang paling dominan, yaitu kebijakan menaikkan harga BBM. Di tahun 2005 lalu pernah dilakukan konversi dari minyak tanah ke gas elpiji (LPG). Pemerintah sesungguhnya pernah pula mengusahakan bahan bakar gas (BBG), tetapi langkah ini hanya terbatas dilakukan di wilayah ibukota. Bahan bakar nabati seperti biodisel pernah diperkenalkan pada tahun 2005 lalu juga tidak berjalan efektif, sekalipun masih tersedia hingga saat ini. Padahal Indonesia saat ini dikenal sebagai negara pengekspor terbesar LNG di dunia. Ironisnya, justru industri di dalam negeri kesulitan untuk mendapatkan pasokan LNG, termasuk PLN dan industri pupuk. Regulasi mengenai emisi pun kurang serius diterapkan, sehingga tidak sedikit kendaraan bermotor diproduksi di dalam negeri adalah kendaraan dengan kadar emisi yang tinggi.
Bagaimana harus realistis dengan informasi harga BBM? Pertanyaan ini akan memunculkan pertanyaan lain seperti kebenaran ada atau tidak ada subsidi BBM dalam APBN ataukah seberapa keuntungan pemerintah dari distribusi BBM?
Saling silang pendapat akan sangat memungkinkan untuk menjelaskan harga BBM, terutama untuk jenis BBM yang disubsidi. Sejujurnya, mayoritas rakyat Indonesia tidak akan pernah tahu mengenai mekanisme pembentukan harga BBM yang beredar di dalam negeri. Rakyat bahkan tidak akan pernah tahu jika misalnya mereka dibohongi atau ditipu oleh informasi. Siapa yang bisa menjaminkan dan dengan apa pula? Faktanya akuntabilitas dalam pengelolaan migas oleh pemerintah sangatlah rendah. Saya sendiri sesungguhnya pun tidak pernah bisa memastikan informasi yang benar dan masuk akal (logis).
Mungkin sampai kiamat pun tidak akan pernah bisa mengetahui pasti seberapa benar dan jujur mekanisme penghitungan BBM. Tetapi kita tidak perlu harus bersusah payah mencari tahu, karena informasi yang beredar di luar informasi dari pemerintah masih sulit diklarifikasikan kebenarannya. Informasi dari pemerintah sendiri sangat diragukan, karena faktor rendahnya kredibilitas maupun akuntabilitasnya sendiri.
Harga suatu komoditi dihitung dengan menggunakan metode penghitungan harga pokok. Ada cukup beragam metode penghitungan harga pokok, terutama untuk penghitungan harga pokok BBM. Setiap negara menerapkan metode yang belum tentu sama dengan negara lain. Dari seluruh metode harga pokok yang berbeda tadi tetap akan memasukkan harga minyak mentah, biaya pengambilan minyak mentah, dan harga proses pengolahan minyak mentah ke dalam komponen-komponen pembentuk biaya. Penghitungan komponen biaya ini pun memiliki metode tersendiri yang bisa berbeda antar negara. Harga pokok yang telah terbentuk kemudian masih belum ditambahkan dengan komponen pajak dan keuntungan yang dikehendaki.
Dari hasil penelusuran yang telah saya lakukan hingga setahun yang lalu, pemerintah belum pula pernah merilis informasi resmi yang menerangkan metode penghitungan harga pokok untuk komoditi BBM. Informasi yang beredar mengenai versi pemerintah ini pun sulit untuk diklarifikasikan kebenarannya dengan sumbernya, baik dari BPH Migas maupun Kementrian ESDM. Adapun seperti Kwik Kian Gie pernah pula memaparkan versi penghitungannya untuk komoditi BBM, terutama untuk bensin premium (RON88). Sekalipun demikian, saya harus obyektif untuk tidak menerima begitu saja paparan hasil perhitungan harga BBM tersebut, karena masih terlalu banyak angka-angka maupun komponen-komponen yang perlu diklarifikasikan lebih lanjut. Bagaimana mungkin bisa mengklarifikasikan, apabila nantinya akan dibantah oleh data maupun fakta versi pemerintah.
Rakyat awam yang kebanyakan kurang paham dengan metode tersebut sudah bisa dipastikan akan bingung dengan ketidakpastian informasi tersebut. Pada akhirnya, jika pun ada keberpihakan dari masyarakat untuk memilih bukan dilandasi atas asas rasionalitas, melainkan hanya sekedar bersandar kepada keyakinan semata. Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menengahi adanya saling silang maupun ketidakpastian informasi, bahwa adanya ketidakpastian informasi menandakan ada sesuatu yang tidak benar di dalam pengelolaan kebijakan energi.
Mari kita berhitung membuat ukuran kualitatif mengenai kredibilitas dan akuntabilitas pemerintah dalam mengelola kebijakan energi. Kasus yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja adalah kasus mafia pajak yang menyeret nama seorang pegawai golongan IIIA Gayus Halomoan Tambunan. Disebutkan apabila Gayus menangani penggelapan pajak oleh perusahaan perminyakan. Pada tahun 2008, ICW pernah menemukan adanya penyimpangan (pengemplangan) pembayaran pajak oleh lebih dari 40 perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia. Sebagai catatan, penerimaan negara dari pajak migas rata-rata sekitar Rp 300an triliun, terhitung mulai tahun anggaran 2008 hingga 2010. Masih lebih sedikit dibandingkan total keuntungan bersih yang dicatatkan oleh Petronas Bhd. Penerimaan migas oleh pemerintah tidak pernah melampaui angka Rp 170 triliun setiap tahun. Sungguh ironis, karena salah satu perusahaan minyak asing yang beroperasi di NKRI mampu membukukan keuntungan bersih hingga Rp 180 triliun. Seharusnya pendapatan negara dari migas melalui konsep bagi hasil minyak mentah bisa melampaui angka di atas Rp 2000 triliun setiap tahunnya.
Ada dua bentuk ketidakpastian informasi terkait mengenai pengelolaan energi, yaitu silang pendapat mengenai istilah teknis dan ketidaksinkronan data. Jika yang dimaksudkan untuk turut mengawal atau mengawasi, rasanya tidak mungkin rakyat akan bisa mengawasi pengelolaan migas akibat ketidakpastian informasi tersebut. Kalangan akademisi ataupun pengamat/pakar mungkin bisa memperkecil aspek ketidakpastian informasi, tetapi tidak menjamin akan menjadi suatu kebenaran umum. Bagaimana mungkin bisa menjadi kebenaran bersama jika saja pemerintah akan pasti membantahnya. Permasalahannya, ketidakpastian informasi berasal dari pihak pemerintah sendiri. Jika saja para pengamat/pakar mempersoalkan atau melakukan silang pendapat kepada pemerintah, maka tugas pemerintah seharusnya bukan membantah, melainkan mengklarifikasikan keseluruhannya. Jika hanya bisa membantah atau tidak menanggapi, maka pemerintah sesungguhnya sedang bermasalah dengan kredibilitas atau kejujurannya.
Dalam menjawab ketidakpastian informasi tersebut, pihak pemerintah seharusnya menunjukkan apabila dirinya layak dikatakan sebagai institusi yang kredibel dan akuntabel. Terkait dengan pengelolaan energi, apakah sikap tersebut sudah ditunjukkan oleh pemerintah? Kredibilitas bukan sedang berbicara tentang standar pelaporan keuangan, melainkan suatu bentuk tindakan nyata untuk melakukan suatu perombakan atau perubahan secara struktural atas paradigma kebijakan energi. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono agaknya cukup beruntung mendapatkan kesempatan dan momentum untuk memperbaiki kredibilitas maupun akuntabilitas pemerintahannnya yang rendah.
21 Maret 2012
REALISTIS DI TENGAH KETIDAKPASTIAN INFORMASI KEBIJAKAN ENERGI
04.36
Leo Kusuma
0 comments:
Posting Komentar