Mobil listrik atau electric vehicle merupakan sarana transportasi alternatif yang tidak menggunakan bahan bakar fosil. Diklaim ramah lingkungan dengan zero emission. Ada yang menyebutkan mobil listrik diklaim lebih murah operasionalnya ketimbang kendaraan bermotor konvensional. Pemerintah Indonesia dikabarkan pula berniat untuk memproduksi massal mobil listrik di tahun 2013. Tetapi, mobil listrik hingga beberapa tahun ke depan belum menjadi jawaban bagi kebutuhan transportasi di Indonesia. Berikut alasannya.
Kendaraan berpenggerak listrik (electric vehicle) sebenarnya sudah beberapa tahun ini masuk ke Indonesia. Salah satunya yang sudah beredar di jalan raya adalah motor listrik roda dua yang bentuknya mirip skuter matik (skutik). Di Yogyakarta sendiri, penulis sudah menjumpai pemilik skutik listrik sebanyak 3 orang. Nyaris tidak ada suara dan sama sekali tidak ada gas buang. Pemiliknya hanya perlu melakukan pengisian ulang, ketika tidak sedang dipergunakan. Di bagasi mereka sudah tersedia kabel panjang untuk melakukang charging di lokasi manapun yang tersdia tegangan listrik. Waktu pengisian ulang lumayan lama, sekitar 3-4 jam, tergantung kondisi listrik.
Mobil listrik bekerja dengan prinsip kelistrikan, seperti halnya pada skutik. Tenaganya dipasok dari baterai yang dapat menyimpan listrik. Beberapa hari lalu, proyek mobil listrik yang dipimpin oleh Dasem Ahmadi (atas mandat dari Menteri BUMN) sempat dipamerkan dan diujicoba di depan publik. Sayang sekali, tidak ada ulasan lengkap mengenai tanya jawab perihal mobil listrik. Penulis akhirnya menelusuri artikel untuk mencaritahu segala sesuatu tentang program mobil listrik di berbagai negara. Akhirnya, penulis berkesimpulan, mobil listrik dalam waktu dekat ini belum cocok diaplikasikan di Indonesia. Berikut adalah alasannya.
1. Harganya Sangat Mahal
Jenis mobil listrik yang dipamerkan oleh Dasem Ahmadi (mantan insinyur PT PINDAD) dan Menteri BUMN, Dahlan Iskan rencananya akan dibanderol di atas Rp 200 juta. Harga termurah mobil listrik buatan China bisa mencapai Rp 280 juta. Mobil listrik yang diujicoba di Jakarta dan Bogor tersebut berpenumpang 4 orang, tetapi dalam uji coba hanya mengangkut 2 orang. Itu berarti ekuivalen dengan mobil listrik buatan China yang berpenumpang 2 orang (plus bagasi). Sekedar perbandingan saja, jenis MPV merek Suzuki Ertiga dengan kapasitas mesin sekitar 1.373 cc dibanderol Rp 150-170 juta (tergantung spesifikasi). Motor roda dua bertenaga listrik yang akan beredar di pasaran itu saja akan dibanderol dengan harga di atas Rp 30 juta. Kendaraan matic jenis Suzuki Next dengan bahan bakar Pertamax yang diklaim (RON92) mampu menembus 80 km/liter akan dibanderol dengan harga Rp 12 juta. Untuk 5 tahun ke depan, harga kendaraan berpenggerak listrik masih akan sangat mahal.
2. Harga Komponennya Masih Mahal
Salah satu komponen yang termasuk vital dan butuh penggantian rutin adalah baterai. Jenis baterai yang digunakan dalam uji coba adalah jenis lithium ion yang diimpor dari China. Harga baterai tersebut mencapai Rp 98 juta (harga sudah disubsidi oleh pemerintah). Harga sesungguhnya bisa mencapai Rp 180 juta (HuffingtonPost.com, March 21st 2012). Harga baterai tersebut akan terus bertahan setidaknya sampai 4 tahun ke depan di Indonesia. Kita bulatkan saja harga baterai tersebut menjadi Rp 100 juta. Disebutkan oleh Dasem Ahmadi apabila usia baterai (kondisi pemakaian normal) bisa mencapai 8 tahun. Itu berarti, setiap bulannya harus menabung sebanyak Rp 1 juta. Siapakah yang mau membeli? Apakah bisa dibeli dengan mekanisme kredit/angsuran? Usia baterai lithium ion ditentukan oleh kondisi pemakaian. Baterai yang sering mengalami panas berlebihan (overheating) akan cenderung memperpendek usia pemakaian. Reputasi merek (produsen) juga berpengaruh terhadap kualitas baterai.
3. Infrastruktur Belum Memadai
Mobil listrik membutuhkan pengisian ulang (charging) dengan menempatkan sambungan perangkat kelistrikannya ke sumber listrik tertentu. Pengisian bisa dilakukan di mana saja dengan daya minimal di atas 2.200 watt. Jika tidak, pengisian ulang harus dilakukan di kios pengisian listrik ulang atau Stasiun Pengisian Listrik Ulang (SPLU). Sebagian besar kelistrikan rumah di Indonesia masih menggunakan daya di bawah 2.200 watt atau mayoritas berdaya di bawah kelompok 1.200 watt. Dalam kurun waktu 5 tahun ke depan, bisa dipastikan SPLU hanya akan tersedia di kota-kota besar di Pulau Jawa.
4. Waktu Pengisian Dianggap Lama
Mobil listrik yang akan diproduksi massal di tahun 2013 nanti membutuhkan waktu pengisian ulang (recharging) antara 5-6 jam. Pengisian ulang tersebut diasumsikan dilakukan di rumah dengan tegangan di atas 2.200 watt. Sekalipun baterai menunjukkan indikator separuh daya, tetapi pengisian akan tidak banyak berbeda memakan waktu dengan pengisian penuh. Teknologi pengisian cepat (quick charging) belum tersedia di pasaran untuk diaplikasikan di rumah, kecuali hanya bisa dilakukan di SPLU tertentu. Teknologi pengisian ulang cepat saat ini yang diciptakan oleh Jepang mampu memangkas waktu pengisian ulang listrik menjadi hanya 20 menit. Perangkat pengisian cepat tersebut baru akan diproduksi massal di tahun 2017 (Sumber: DapurPacu). Tentu saja harganya tidak akan bersahabat dengan kantong orang Indonesia. Pengisian paling cepat saat ini baru mencapai antara 40-60 menit untuk jenis baterai lithium ion standar yang digunakan mobil jenis city car. Sekedar diketahui, pengisian cepat membutuhkan baterai khusus yang lebih tahan terhadap panas yang harganya tentunya jauh lebih mahal.
5. Terlalu Banyak Stop & Go
Kemacetan telah menjadi masalah yang serius di kota-kota besar di Indonesia. Mobil listrik kurang cocok apabila dikendarai di wilayah yang sering terjadi kemacetan. Banyaknya kondisi pemberhentian (stop & go) akan semakin mengurasi tenaga baterai, sama halnya dengan kendaraan konvensional. Sebenarnya pula faktor kemacetan yang menjadi salah satu penyebab mogoknya mobil listrik saat diujicoba oleh Menteri BUMN. Motor listrik memelurkan tenaga yang lebih besar untuk menggerakkan kendaraan dari kondisi diam. Besarnya tenaga akan semakin berkurang ketika telah terjadi gaya dorong ke depan yang lebih dominan daripada gaya dorong ke bawah.
6. Mobil Listrik Lebih Mahal Operasionalnya
Dasem Ahmadi sempat membeberkan perhitungan betapa murahnya ongkos operasional mobil listrik, ketimbang menggunakan kendaraan konvensional. Dengan diasumsikan menggunakan listrik non subsidi sebesar Rp 1.200/kw, maka untuk baterai dengan kapasitas 21 kw akan membutuhkan ongkos pengisian penuh sebesar Rp 21 x Rp 1.200 = Rp 25.200 (Times Healthland, 23 Juli 2012). Jika hanya digunakan untuk keperluan kerja, setidaknya (minimal) harus dilakukan pengisian ulang setiap hari yang berarti mengeluarkan ongkos sebesar Rp 25.200 x 22 hari = Rp 554.000/bulan (30 hari dikurangi hari libur). Sebagai catatan, mobil listrik tadi digunakan untuk satu tujuan tertentu pulang-pergi, sehingga cukup hanya melakukan pengisian ulang sekali dalam sehari. Daihatsu Xenia yang berkapasitas mesin 1.300 cc dan kapasitas bensin 40 liter akan menghabiskan bensin (jenis Pertamax) sekitar Rp 380.000. Untuk jarak pemakaian dan kondisi yang sama dengan mobil listrik diperkirakan akan menghabiskan sekitar 68 liter setiap bulan atau sebanyak Rp 9.500 x 68 liter = Rp 646.000/bulan. Hanya berselisih lebih mahal sekitar Rp 92.000 atau kurang dari Rp 100.000 dengan mobil listrik. Tarif listrik (TDL) besar kemungkinan akan naik dalam waktu dekat atau dalam kurun waktu 5 tahun ke depan. Perlu diketahui pula, pemilik mobil listrik tadi harus menabung setiap bulannya paling tidak sebesar Rp 1 juta (tabungan untuk membeli baterai yang harganya mencapai Rp 98 juta) yang berarti ongkosnya menjadi Rp 1.554.000/bulan. Beberapa sumber menyebutkan, ongkos operasional mobil listrik bahkan lebih mahal ketimbang mobil berbahan bakar gas (NewYorkTimes.com, April 15th 2012).
7. Diragukan Lebih Bersih Lingkungan
Fakta mobil listrik yang dianggap lebih ramah lingkungan tidaklah sepenuhnya benar. Sebuah studi di China menyebutkan apabila emisi karbon diperlihatkan semakin meningkat signifikan setelah China membuka pasar kendaraan berpenggerak listrik (electric vehicle) sejak beberapa tahun yang lalu. Sebanyak 85% dari energi listrik di negeri Panda tersebut dipasok dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil di mana 95% di antaranya berasal dari batu bara (Times Healthland, February 14th 2012). Kasus program mobil listrik di Jepang saja sempat mengkhawatirkan sejumlah aktivis anti nuklir di mana program tersebut dikhawatirkan akan mendorong pemerintah Jepang menghidupkan kembali program PLTN jangka panjang. Untuk kasus di Indonesia saja, sebagian besar listrik yang dipasok oleh PLN berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti solar, gas alam, dan batu bara.
Penutup
Kendaraan listrik (electric vehicle) merupakan implementasi dari suatu teknologi pengganti bahan bakar fosil. Sejak pertama kali diperkenalkan pada awal abad ke-20, mobil listrik ini pun sempat mengundang kontroversi. Padahal ketika itu masih belum ada ditemukan mobil yang efisien, sebelum akhirnya Henry Ford memperkenalkan seri terbaru kendaraan bensin dengan pembakaran yang lebih sempurna dan murah. Faktor harga pula yang akhirnya membuat mobil listrik di masa itu semakin ditinggalkan dan dilupkan hingga usainya Perang Dunia II. Kendala-kendala mobil listrik di awal abad ke-20 bisa dikatakan hampir tidak berbeda dengan masa sekarang ini. Teknik pengisian ulang di masa itu belum dikenal, sehingga harus dilakukan penggantian baterai. Harga mobil listrik seperti buatan Thomas A. Edison pun hanya bisa dijangkau oleh kalangan menengah ke atas. Jarak tempunya pun terbatas dan sulit diduga masa habis daya baterainya.
Sumber: Wikipedia
Sebagai teknologi, tentunya kendaraan berpenggerak listrik yang saat ini sudah beredar di pasaran masih berada dalam tahap pengembangan. Seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pengembangan tergantung dari prospek pasar. Riset dan pengembangan tersebut dibiayai oleh pasar melalui mekainsme bisnis. Itu sebabnya yang mendorong pemerintah di berbagai negara industri campur tangan dengan memberikan insentif maupun subsidi untuk mendongkrak riset dan pengembangan kendaraan berpenggerak listrik. Begitu pula dengan Indonesia yang seharusnya menitikberatkan pada kebijakan untuk mendorong pengembangan industri komponennya, seperti baterai, motor listrik, dan komponen lainnya.
Kendaraan berpenggerak listrik (electric vehicle) sebenarnya sudah beberapa tahun ini masuk ke Indonesia. Salah satunya yang sudah beredar di jalan raya adalah motor listrik roda dua yang bentuknya mirip skuter matik (skutik). Di Yogyakarta sendiri, penulis sudah menjumpai pemilik skutik listrik sebanyak 3 orang. Nyaris tidak ada suara dan sama sekali tidak ada gas buang. Pemiliknya hanya perlu melakukan pengisian ulang, ketika tidak sedang dipergunakan. Di bagasi mereka sudah tersedia kabel panjang untuk melakukang charging di lokasi manapun yang tersdia tegangan listrik. Waktu pengisian ulang lumayan lama, sekitar 3-4 jam, tergantung kondisi listrik.
Mobil listrik bekerja dengan prinsip kelistrikan, seperti halnya pada skutik. Tenaganya dipasok dari baterai yang dapat menyimpan listrik. Beberapa hari lalu, proyek mobil listrik yang dipimpin oleh Dasem Ahmadi (atas mandat dari Menteri BUMN) sempat dipamerkan dan diujicoba di depan publik. Sayang sekali, tidak ada ulasan lengkap mengenai tanya jawab perihal mobil listrik. Penulis akhirnya menelusuri artikel untuk mencaritahu segala sesuatu tentang program mobil listrik di berbagai negara. Akhirnya, penulis berkesimpulan, mobil listrik dalam waktu dekat ini belum cocok diaplikasikan di Indonesia. Berikut adalah alasannya.
1. Harganya Sangat Mahal
Jenis mobil listrik yang dipamerkan oleh Dasem Ahmadi (mantan insinyur PT PINDAD) dan Menteri BUMN, Dahlan Iskan rencananya akan dibanderol di atas Rp 200 juta. Harga termurah mobil listrik buatan China bisa mencapai Rp 280 juta. Mobil listrik yang diujicoba di Jakarta dan Bogor tersebut berpenumpang 4 orang, tetapi dalam uji coba hanya mengangkut 2 orang. Itu berarti ekuivalen dengan mobil listrik buatan China yang berpenumpang 2 orang (plus bagasi). Sekedar perbandingan saja, jenis MPV merek Suzuki Ertiga dengan kapasitas mesin sekitar 1.373 cc dibanderol Rp 150-170 juta (tergantung spesifikasi). Motor roda dua bertenaga listrik yang akan beredar di pasaran itu saja akan dibanderol dengan harga di atas Rp 30 juta. Kendaraan matic jenis Suzuki Next dengan bahan bakar Pertamax yang diklaim (RON92) mampu menembus 80 km/liter akan dibanderol dengan harga Rp 12 juta. Untuk 5 tahun ke depan, harga kendaraan berpenggerak listrik masih akan sangat mahal.
2. Harga Komponennya Masih Mahal
Salah satu komponen yang termasuk vital dan butuh penggantian rutin adalah baterai. Jenis baterai yang digunakan dalam uji coba adalah jenis lithium ion yang diimpor dari China. Harga baterai tersebut mencapai Rp 98 juta (harga sudah disubsidi oleh pemerintah). Harga sesungguhnya bisa mencapai Rp 180 juta (HuffingtonPost.com, March 21st 2012). Harga baterai tersebut akan terus bertahan setidaknya sampai 4 tahun ke depan di Indonesia. Kita bulatkan saja harga baterai tersebut menjadi Rp 100 juta. Disebutkan oleh Dasem Ahmadi apabila usia baterai (kondisi pemakaian normal) bisa mencapai 8 tahun. Itu berarti, setiap bulannya harus menabung sebanyak Rp 1 juta. Siapakah yang mau membeli? Apakah bisa dibeli dengan mekanisme kredit/angsuran? Usia baterai lithium ion ditentukan oleh kondisi pemakaian. Baterai yang sering mengalami panas berlebihan (overheating) akan cenderung memperpendek usia pemakaian. Reputasi merek (produsen) juga berpengaruh terhadap kualitas baterai.
3. Infrastruktur Belum Memadai
Mobil listrik membutuhkan pengisian ulang (charging) dengan menempatkan sambungan perangkat kelistrikannya ke sumber listrik tertentu. Pengisian bisa dilakukan di mana saja dengan daya minimal di atas 2.200 watt. Jika tidak, pengisian ulang harus dilakukan di kios pengisian listrik ulang atau Stasiun Pengisian Listrik Ulang (SPLU). Sebagian besar kelistrikan rumah di Indonesia masih menggunakan daya di bawah 2.200 watt atau mayoritas berdaya di bawah kelompok 1.200 watt. Dalam kurun waktu 5 tahun ke depan, bisa dipastikan SPLU hanya akan tersedia di kota-kota besar di Pulau Jawa.
4. Waktu Pengisian Dianggap Lama
Mobil listrik yang akan diproduksi massal di tahun 2013 nanti membutuhkan waktu pengisian ulang (recharging) antara 5-6 jam. Pengisian ulang tersebut diasumsikan dilakukan di rumah dengan tegangan di atas 2.200 watt. Sekalipun baterai menunjukkan indikator separuh daya, tetapi pengisian akan tidak banyak berbeda memakan waktu dengan pengisian penuh. Teknologi pengisian cepat (quick charging) belum tersedia di pasaran untuk diaplikasikan di rumah, kecuali hanya bisa dilakukan di SPLU tertentu. Teknologi pengisian ulang cepat saat ini yang diciptakan oleh Jepang mampu memangkas waktu pengisian ulang listrik menjadi hanya 20 menit. Perangkat pengisian cepat tersebut baru akan diproduksi massal di tahun 2017 (Sumber: DapurPacu). Tentu saja harganya tidak akan bersahabat dengan kantong orang Indonesia. Pengisian paling cepat saat ini baru mencapai antara 40-60 menit untuk jenis baterai lithium ion standar yang digunakan mobil jenis city car. Sekedar diketahui, pengisian cepat membutuhkan baterai khusus yang lebih tahan terhadap panas yang harganya tentunya jauh lebih mahal.
5. Terlalu Banyak Stop & Go
Kemacetan telah menjadi masalah yang serius di kota-kota besar di Indonesia. Mobil listrik kurang cocok apabila dikendarai di wilayah yang sering terjadi kemacetan. Banyaknya kondisi pemberhentian (stop & go) akan semakin mengurasi tenaga baterai, sama halnya dengan kendaraan konvensional. Sebenarnya pula faktor kemacetan yang menjadi salah satu penyebab mogoknya mobil listrik saat diujicoba oleh Menteri BUMN. Motor listrik memelurkan tenaga yang lebih besar untuk menggerakkan kendaraan dari kondisi diam. Besarnya tenaga akan semakin berkurang ketika telah terjadi gaya dorong ke depan yang lebih dominan daripada gaya dorong ke bawah.
6. Mobil Listrik Lebih Mahal Operasionalnya
Dasem Ahmadi sempat membeberkan perhitungan betapa murahnya ongkos operasional mobil listrik, ketimbang menggunakan kendaraan konvensional. Dengan diasumsikan menggunakan listrik non subsidi sebesar Rp 1.200/kw, maka untuk baterai dengan kapasitas 21 kw akan membutuhkan ongkos pengisian penuh sebesar Rp 21 x Rp 1.200 = Rp 25.200 (Times Healthland, 23 Juli 2012). Jika hanya digunakan untuk keperluan kerja, setidaknya (minimal) harus dilakukan pengisian ulang setiap hari yang berarti mengeluarkan ongkos sebesar Rp 25.200 x 22 hari = Rp 554.000/bulan (30 hari dikurangi hari libur). Sebagai catatan, mobil listrik tadi digunakan untuk satu tujuan tertentu pulang-pergi, sehingga cukup hanya melakukan pengisian ulang sekali dalam sehari. Daihatsu Xenia yang berkapasitas mesin 1.300 cc dan kapasitas bensin 40 liter akan menghabiskan bensin (jenis Pertamax) sekitar Rp 380.000. Untuk jarak pemakaian dan kondisi yang sama dengan mobil listrik diperkirakan akan menghabiskan sekitar 68 liter setiap bulan atau sebanyak Rp 9.500 x 68 liter = Rp 646.000/bulan. Hanya berselisih lebih mahal sekitar Rp 92.000 atau kurang dari Rp 100.000 dengan mobil listrik. Tarif listrik (TDL) besar kemungkinan akan naik dalam waktu dekat atau dalam kurun waktu 5 tahun ke depan. Perlu diketahui pula, pemilik mobil listrik tadi harus menabung setiap bulannya paling tidak sebesar Rp 1 juta (tabungan untuk membeli baterai yang harganya mencapai Rp 98 juta) yang berarti ongkosnya menjadi Rp 1.554.000/bulan. Beberapa sumber menyebutkan, ongkos operasional mobil listrik bahkan lebih mahal ketimbang mobil berbahan bakar gas (NewYorkTimes.com, April 15th 2012).
7. Diragukan Lebih Bersih Lingkungan
Fakta mobil listrik yang dianggap lebih ramah lingkungan tidaklah sepenuhnya benar. Sebuah studi di China menyebutkan apabila emisi karbon diperlihatkan semakin meningkat signifikan setelah China membuka pasar kendaraan berpenggerak listrik (electric vehicle) sejak beberapa tahun yang lalu. Sebanyak 85% dari energi listrik di negeri Panda tersebut dipasok dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil di mana 95% di antaranya berasal dari batu bara (Times Healthland, February 14th 2012). Kasus program mobil listrik di Jepang saja sempat mengkhawatirkan sejumlah aktivis anti nuklir di mana program tersebut dikhawatirkan akan mendorong pemerintah Jepang menghidupkan kembali program PLTN jangka panjang. Untuk kasus di Indonesia saja, sebagian besar listrik yang dipasok oleh PLN berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti solar, gas alam, dan batu bara.
Penutup
Kendaraan listrik (electric vehicle) merupakan implementasi dari suatu teknologi pengganti bahan bakar fosil. Sejak pertama kali diperkenalkan pada awal abad ke-20, mobil listrik ini pun sempat mengundang kontroversi. Padahal ketika itu masih belum ada ditemukan mobil yang efisien, sebelum akhirnya Henry Ford memperkenalkan seri terbaru kendaraan bensin dengan pembakaran yang lebih sempurna dan murah. Faktor harga pula yang akhirnya membuat mobil listrik di masa itu semakin ditinggalkan dan dilupkan hingga usainya Perang Dunia II. Kendala-kendala mobil listrik di awal abad ke-20 bisa dikatakan hampir tidak berbeda dengan masa sekarang ini. Teknik pengisian ulang di masa itu belum dikenal, sehingga harus dilakukan penggantian baterai. Harga mobil listrik seperti buatan Thomas A. Edison pun hanya bisa dijangkau oleh kalangan menengah ke atas. Jarak tempunya pun terbatas dan sulit diduga masa habis daya baterainya.
Sumber: Wikipedia
Sebagai teknologi, tentunya kendaraan berpenggerak listrik yang saat ini sudah beredar di pasaran masih berada dalam tahap pengembangan. Seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pengembangan tergantung dari prospek pasar. Riset dan pengembangan tersebut dibiayai oleh pasar melalui mekainsme bisnis. Itu sebabnya yang mendorong pemerintah di berbagai negara industri campur tangan dengan memberikan insentif maupun subsidi untuk mendongkrak riset dan pengembangan kendaraan berpenggerak listrik. Begitu pula dengan Indonesia yang seharusnya menitikberatkan pada kebijakan untuk mendorong pengembangan industri komponennya, seperti baterai, motor listrik, dan komponen lainnya.