31 Desember 2011

RUMITNYA BERURUSAN DENGAN RIM

Lima tahun belakangan ini, pabrikan teknologi Reseach in Motion (RIM) lebih banyak berurusan dengan pemerintahan di banyak negara, termasuk pula dengan Indonesia. Salah satu aspek legal yang menjadi tuntutan banyak negara adalah server RIM. Otorisasi atas privasi dan keamanan server tersebut hanya dikuasai sepenuhnya oleh pihak RIM. Indonesia sendiri pernah ditampar mukanya oleh RIM dengan membangun pabrik perakitan BlackBerry di dekat halaman rumahnya (Penang, Malaysia).

Aspek teknologi dan jasa teknologi yang sesungguhnya dipermasalahkan di banyak negara, kecuali di Indonesia. Seperti diketahui, jika RIM selama ini dikenal sebagai produsen gadget dengan merek BlackBerry (jenis ponsel). Sama halnya dengan nama produsen lainnya seperti Nokia, Sony-Ericsson, Samsung, HTC, LG, dan lain sebagainya. Di antara gadget ponsel tersebut, hanya BlackBerry yang mengenakan metode nomor PIN untuk mengaktifkan fungsi layanan internet. Jika tidak, maka ponsel BlackBerry akan seperti ponsel biasa untuk keperluan telepon dan SMS. Di sinilah titik awal persoalannya, RIM ternyata berperan juga sebagai operator internet, selain produsen ponsel.

Di Indonesia, untuk mengaktifkan nomor PIN itu sendiri tidak gratis. Pengguna diharuskan membayar berdasarkan paket yang disediakan oleh pihak operator di dalam negeri. Misalnya, paket Rp 5000/hari, paket Rp 60.000/bulan, paket Rp 90.000/bulan, dan lain-lain tergantung penawaran dari masing-masing operator seluler. Keuntungan besar diraup oleh operator di dalam negeri, akan tetapi keuntungan yang lebih besar pun diraup pula oleh RIM. Di antara merek ponsel hanya produk keluaran RIM yang mengenakan pengaktifan PIN.

Seiring dengan kontroversi RIM di banyak negara, penjualan BlackBerry di Indonesia terus mengalami lonjakan. Sejak tahun 2010 lalu, pengguna aktif BlackBerry di Indonesia semakin jauh meninggalkan angka pengguna BlackBerry di Amerika. Produk buatan RIM pula kemudian mendapat julukan di Indonesia sebagai ‘ponsel sejuta umat’. Fakta statistik memang berkata demikian, jika jumlah pengguna BlackBerry aktif, baik berdasarkan rasio terhadap jumlah penduduk maupun kuantitas totalnya adalah terbesar di dunia.

Kontroversi RIM menurut Onno W Purbo disebutkan apabila RIM memiliki peran ganda, yaitu sebagai produsen ponsel, sekaligus operator. Besar dugaan, RIM menggunakan metode transparant proxy. Ini berarti, keberadaan RIM akan setara dengan penyelenggara infrastruktur internet, sehingga diwajibkan untuk memiliki ijin ISP (internet service protocol). Di sinilah salah satu letak keruwetannya, karena definisi ISP dan penyelenggaranya di Indonesia masih tumpang tindih dan berpotensi terjadi dualisme dalam penerapannya. Semakin rumit lagi, karena pihak Kominfo telah mengklarifikasi sendiri apabila RIM bukanlah termasuk operator dan bukan pula termasuk ke dalam penyelenggara ISP.

Tentunya sikap pemerintah melalui Kominfo terhadap RIM sangat bertentangan dengan sikap pemerintah di banyak negara terhadap RIM. Dalam hal ini, RIM dianggap telah menyelenggarakan ISP sendiri dengan mengharuskan penggunanya untuk mengakses server miliknya di Kanada. RIM pula dituding telah melakukan metode transparant proxy, sehingga harus disejajarkan dengan ISP di dalam negeri, sekalipun jangkauan operasinya berada di luar negeri. Sedangkan di Indonesia sendiri, undang-undang yang berlaku adalah undang-undang telekomunikasi yang isinya hanya berlaku bagi penyelenggara telekomunikasi. Contoh penyelenggara telekomunikasi di Indonesia seperti Indosat, Telkomsel, Exelcom, Axis, Telkom, dan lain-lain.

Kontroversi kedua seputar RIM mengenai sistem komunikasi data (siskomdat). Pemerintah di banyak negara mempermasalahkan otorisasi komunikasi data pelanggan BlackBerry yang dipegang penuh oleh pihak RIM di Kanada. Berbagai kasus telah terjadi berulangkali, terkait masalah keamanan dalam negeri. Kasus yang terakhir ketika terjadi aksi terorisme di Mumbai (India) yang difasilitasi dengan sarana telekomunikasi via BlackBerry. Pihak otorisasi keamanan di India tidak dapat melacak jaringan teroris di negara tersebut, karena terkendala otorisasi dari pihak RIM. Sekalipun demikian, pihak RIM tetap bersikukuh untuk tidak memberikan otorisasi keamanan data kepada negara manapun.

Salah satu tuntutan pemerintah di banyak negara ketika adalah perihal pemindahan server RIM di Kanada, setelah permintaan otorisasi data ditolak. Tentunya permintaan tersebut tidak akan dipenuhi oleh pihak RIM, karena dianggap tidak rasional. Pembatasan pun dilakukan oleh banyak negara terhadap layanan RIM. Di India dan Singapura misalnya, para pejabat maupun aparatur pemerintahannya tidak diperbolehkan menggunakan gadget buatan RIM. Pemerintah Inggris mengharus pihak RIM membangun divisi riset dan pengembangan jika masih menginginkan produknya eksis di Eropa. Tindakan serupa dilakukan pula di negara-negara Eropa. Akibat penerapan sistem ISP, tarif layanan RIM dikenakan lebih mahal. Bagaimana halnya dengan sikap pemerintah Indonesia?

Pemerintah Indonesia termasuk kurang reaktif terhadap tuntutan banyak negara terhadap RIM. Melalui Kominfo misalnya hanya mengharuskan RIM untuk menyediakan buku panduan berbahasa Indonesia. Padahal, ketentuan semacam ini sudah ada dalam regulasi impor produk-produk elektronika. Sikap kontra pemerintah terhadap RIM menurut Onno W Purbo dinilai diskriminatif. Seperti keharusan RIM untuk menyediakan konten sensor pornografi yang disematkan di BlackBerry. Seharusnya pula pihak pemerintah memberikan sikap yang serupa pula dengan Google, Yahoo!, dan lain sebagainya. Salah satu permintaan pemerintah yang mungkin dianggap masuk akal oleh pihak RIM hanyalah permintaan untuk mendirikan kantor operasional di Indonesia (semacam kantor agensi).

Sikap kontra pemerintah terhadap RIM sendiri sebenarnya tidak jelas. Misal saja permintaan RIM untuk memindahkan servernya dari Kanada ke Indonesia. Jelas sekali permintaan ini pasti akan ditolak oleh pihak RIM. Pemerintah Indonesia rupanya hanya mencari-cari alasan untuk menunjukkan apabila dirinya selaku regulator masih memiliki posisi tawar. Perlu dicermati, apabila pemerintah tidak banyak memperoleh manfaat apapun dari keberadaan produk RIM di Indonesia. Sementara itu, RIM meraup cukup banyak keuntungan dari hasil penjualan produknya di Indonesia.

Pemerintah pula tidak belajar dari pengalaman negara-negara lain yang terlebih dulu kontra dengan pihak RIM di Kanada. Salah satunya mengenai permintaan akses informasi data yang selama ini menjadi otoritas penuh pihak RIM. Tentu bisa ditebak, pihak RIM tetap menolak permintaan pemerintah atas akses untuk sistem komunikasi data (siskomdat) (detikcom, Selasa, 20 Desember 2011, 18.28 WIB). Pihak RIM sebenarnya mengijinkan akses informasi data kepada negara manapun, akan tetapi melalui prosedur yang cukup rumit. Selain tidak belajar dari kasus di negara-negara lain, pemerintah tidak menyadari apabila posisi tawarnya sudah hilang terhadap RIM. Sementara itu, RIM saat ini bisa dikatakan hidup dan bertahan dari konsumennya di Indonesia.

Tamparan cukup hebat dirasakan oleh Indonesia, ketika pihak RIM merealisasikan membangun pabrik perakitan BlackBerry di Malaysia (Penang). Ujian yang cukup berat atas nasionalisme dan hubungan diplomatik. Pabrik perakitan tersebut dikabarkan dibangun sejak akhir tahun 2010 dan sudah beropreasi penuh sejak bulan Mei 2011. Pemberitaannya sendiri justru dimunculkan belum lama berselang setelah beberapa kejadian seputar memanasnya hubungan diplomatik di antara kedua negara. Tamparan cukup hebat pula bagi bangsa Indonesia yang selama ini meneriakkan ‘Ganyang Malaysia’.

Imbas pemberitaan beroperasinya pabrik perakitan ponsel BlackBerry di Penang, Malaysia akhirnya berujung saling melempar tudingan. Pihak Menkominfo mengeluarkan pernyataan apabila dirinya baru mengetahui perihal pabrik perakita tersebut sekitar bulan Juni 2011. Padahal, pemberitaannya sendiri sudah diangkat oleh media pada bulan pertengahan bulan Mei 2011. Dalam hal ini pula, pihak BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) merasa tidak ingin disalahkan pula dengan menuding iklim investasi yang dijadikan sebagai kambing hitam. Saling tuding ini pula yang sempat ikut memanaskan isu reshuffle kabinet KIB Jilid II. Pada akhirnya, semua berpulang kepada kewibawaan pemerintah untuk menunjukkan apabila bangsa ini punya posisi tawar, bukan cuma sekedar bangsa yang konsumtif.

WINDOWS 7 AKHIRNYA MELAMPAUI XP

Tepat tanggal 1 November 2011 lalu, Windows 7 akhirnya mampu melampaui Windows XP. Hal ini dilansir oleh situs StatCounter untuk kategori 5 besar sistem operasi (operating system). StatCounter mendapati sebanyak 4 OS populer, yaitu XP, Seven, Vista, MacOSX, dan Linux. Berikut ulasannya, khusus untuk OS Windows.

Windows XP dinilai sebagai sistem operasi yang paling sukses yang pernah ada dan dibuat oleh Microsoft. Sejak pertama dirilis pada tahun 2001, XP mendominasi pengguna komputer di seluruh dunia. Disamping itu, Windows XP pula dinilai paling lama bertahan hingga dikeluarkan tiga pengembangan Service Pack (SP). Pihak Microsoft pula merilis dua varian untuk XP, yaitu varian 32 bit dan 64 bit (hanya sampai SP2). Nampaknya, pihak Microsoft mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk melakukan suksesi sistem operasi.



Pada grafik StatCounter di atas terlihat untuk trend pengguna OS 7 diperlihatkan pada garis berwarna kuning, sedangkan trend pengguna OS XP diperlihatkan dengan garis berwarna biru. Pengguna OS Vista diperlihatkan dengan garis berwarna hijau. Peningkatan trend garis OS 7 bisa dijelaskan sebagai akibat trend penurunan OS XP dan OS Vista. Terlihat pula di atas apabila trend garis pengguna OS Mac relatif tidak banyak mengalami perubahan.

Windows 7 dirilis resmi pertama tanggal 22 Juli 2009. Membutuhkan lebih dari 2 tahun lamanya untuk bisa menandingi XP. Tahun 2010 lalu, pihak Microsoft secara resmi telah menghentikan layanannya (pengembangan service pack) untuk Windows XP. Berbagai cara dilakukan, termasuk dengan menurunkan harga paket untuk Seven Home hingga Ultimate Edition. Trend pengguna XP memang mulai menurun sejak Microsoft merilis Vista tahun 2006 lalu. Namun, trend penurunan pengguna XP semakin tajam setelah dirilis OS Windows 7. Ini berarti, Microsoft harus mengandalkan dua produk sistem operasi untuk dapat mengalihkan pengguna XP.

Sekalipun terus mengalami penurunan, akan tetapi diperkirakan pengguna XP masih akan terus eksis hingga beberapa tahun mendatang. Setidaknya masih di atas pengguna Vista, MacOSX maupun Linux. Faktor reliabilitas sistem hingga pada XP SP3 yang membuatnya tetap masih dipercaya untuk menangani sistem operasi.

KONTROVERSI PERTUMBUHAN EKONOMI

Pertumbuhan ekonomi atau sering pula disebut growth dijadikan pedoman atau tolok ukur untuk mengetahui kinerja perekonomian di suatu negara. Benarkah demikian? Salah satu indikator makroekonomi tersebut seringkali pula digunakan sebagai sarana pencitraan politik di beberapa negara. Tetapi banyak pula negara-negara yang sudah meninggalkan paradigma pertumbuhan untuk mengukur kinerja perekonomian. Bagaimana memahami pertumbuhan ekonomi dan apa pula kontroversi di dalamnya?

Secara harafiah, pertumbuhan diartikan sebagai kenaikan/penurunan dari suatu kondisi tertentu yang dinyatakan ke dalam satuan tertentu. Pertumbuhan bisa berarti kenaikan atau penurunan, karena seperti tanaman atau organisme akan mengalami pertumbuhan, bukan penurunan. Di bidang ekonomi, pertumbuhan dinyatakan ke dalam satuan persen dari suatu kenaikan atau penurunan indikator produk domestik bruto (PDB) atau gross domestic product (GDP).

Produk domestik bruto (PDB) adalah total keseluruhan nilai tambah (value added) dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara di suatu negara dalam kurun waktu 1 tahun. Nilai tambah diartikan sebagai keuntungan atau laba (profit) yang selanjutnya menjadi pendapatan bagi institusi ekonomi (pemerintahan, perusahaan atau perorangan/kelompok). Biarpun barangnya sama, tetapi bisa memiliki lebih dari satu nilai tambah. Pengertian warga negara pada definisi tersebut dapat berupa warga negara di negara tersebut (misalnya WNI) dan warga negara asing. Proses penghitungan PDB dilakukan selama 1 tahun, yaitu standar masa pencatatan laporan keuangan dari tanggal 1 Januari hingga 31 Desember.

Dari definisi dan pemahaman teknis di atas dapat diketahui apabila PDB atau GDP merupakan indikator makroekonomi yang menyatakan kinerja perekonomian berdasarkan aktivitas perekonomian yang dilakukan oleh warga negara di suatu negara selama 1 tahun. Jika pertumbuhannya positif, maka terjadi peningkatan aktivitas perekonomian berupa penambahan kapasitas usaha, penambahan kapasitas permodalan (aset), atau penambahan jumlah tenaga kerja. Sebaliknya, apabila pertumbuhan negatif, maka terjadi penurunan aktivitas perekonomian. Selama periode sejak masa orde baru (1969-1998), Indonesia mengalami dua kali masa pertumbuhan yang negatif, yaitu pada tahun 1998 dan 1999.

Kontroversi mengenai pertumbuhan ekonomi sebagai kinerja perekonomian bersamaan pula dengan adanya kontroversi mengenai indikator PDB (GDP). Di manakah letak kontroversinya?

Kontroversi yang sesungguhnya terletak pada indikator PDB. Ada dua elemen dari definisinya yang menjadi sumber perdebatan, yaitu pengertian nilai tambah dan pengertian warga negara.

Kontroversi Nilai Tambah
Nilai tambah yang diukur dan direpresentasikan di dalam indikator PDB tidaklah menggambarkan kondisi yang sesungguhnya dari aktivitas perekonomian nasional. Seperti diketahui, perekonomian di suatu negara terbagi menjadi sektor riil dan sektor keuangan. Disebut sektor riil (real sector) karena memiliki aktivitas yang nyata terlihat, baik proses dari aktivitasnya maupun transaksi keuangannya. Lain halnya dengan sektor keuangan yang tidak memiliki aktivitas yang nyata terlihat, kecuali hanya mengelola aliran keuangan untuk mendapatkan sejumlah nilai tambah tertentu.

Mereka yang bukan termasuk ke dalam sektor riil seperti perbankan, asuransi, perusahaan pembiayaan, aktivitas di lantai bursa, dan aktivitas di pasar keuangan atau valuta asing. Nilai tambah yang diperoleh dari aktivitas-aktivitas tersebut dihitung berdasarkan laba operasionalnya. Misalnya untuk perbankan dilihat dari selisih suku bunga tabungan dan kredit, di pasar modal dilihat dari selisih spot harga saham, atau di pasar valuta asing melalui selisih mata uang antar negara.

Jika dilihat dari jumlah dalam satuan mata uang, maka sektor keuangan tentunya memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PDB. Lain halnya dengan sektor riil yang mendominasi kuantitas institusinya sebenarnya pula memberikan kontribusi yang tidak sedikit. Faktanya pula, jika memang hanya berorientasi untuk mendorong pertumbuhan, maka cara yang paling praktis dilakukan dengan mendorong pertumbuhan di sektor keuangan. Secara teoritis, pertumbuhan di sektor keuangan dapat memberikan pengaruh ke aktivitas di sektor riil. Namun, hal itu masih dilihat pula seberapa kuat fundamental perekonomian nasional di suatu negara.

Realitanya, negara-negara yang mengandalkan orientasi kebijakannya di sektor keuangan justru yang paling banyak bermasalah paska krisis global 2008 lalu. Kita bisa melihat bagaimana negara-negara Uni Eropa mengalami kesulitan dalam pembayaran utang-utangnya. Hal ini dikarenakan imbas dari kebijakan mereka sendiri yang lebih berorientasi untuk mendorong perkembangan di sektor keuangan. Kondisi sebaliknya terjadi pada RRC yang lebih berorientasi untuk mendorong kinerja perekonomian di sektor riil. Tidak mengherankan dengan konsistensi yang kuat mampu menjadi negara dengan cadangan devisa paling besar di dunia.

Kontroversi PDB dan pertumbuhannya berdasarkan pengertian nilai tambah terletak pada kemungkinan bias orientasi antara sektor riil dan sektor keuangan. Bisa jadi dinamika pertumbuhan ekonomi berasal dari dinamika di sektor keuangan, bukan di sektor riil. Dalam kondisi tersebut, sektor keuangan lebih banyak mendominasi volatilitas pertumbuhan di mana sektor riil lebih banyak mengalami kelesuan ataupun stagnan. Sementara itu, suatu kebijakan ekonomi seharusnya berorientasi pada kepentingan rakyat banyak dan keseluruhannya. Jika hanya berorientasi pada sektor keuangan, itu berarti kebijakan ekonomi belum memiliki keberpihakan ke sektor riil.

Kontroversi Definisi Warga Negara
Sekali lagi mengenai definisi yang bias dari PDB dan pertumbuhannya terletak pada pengertian warga negara. Disebutkan dalam definisi PDB mengenai aktivitas perekonomian yang dilakukan oleh warga negara di suatu negara. Di sini terdapat dua kelompok warga negara, yaitu warga negara domestik (misalnya warga negara Indonesia atau WNI) dan warga negara asing (WNA). Kedua kelompok ini melakukan aktivitas perekonomiannya di suatu negara tertentu.

Di Indonesia misalnya terdapat pabrikan perakitan otomatif yang berasal dari Jepang. Itu berarti terdapat aktivitas ekonomi dari orang asing (WNA) di wilayah NKRI yang dapat menghasilkan nilai tambah. Sama halnya dengan kepemilikan atas perkebunan kelapa sawit yang didominasi oleh warga negara Malaysia atau perusahaan-perusahaan pertambahan maupun migas yang beroperasi di wilayah NKRI. Termasuk pula di dalamnya orang asing yang memberikan jasanya seperti bekerja di Indonesia. Segala sesuatu aktivitas perekonomian dengan status kepemilikan asing atau orang asing yang kemudian menghasilkan nilai tambah akan dicatat ke dalam PDB.

Seperti diketahui apabila salah satu kebiasaan dan orientasi kebijakan perekonomian nasional adalah mendorong masuknya penanaman modal asing (PMA). Semakin banyak PMA dan realisasinya di Indonesia, maka dampaknya akan mampu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Peningkatan realisasi PMA secara signifikan akan mampu pula mendorong peningkatan PDB. Jika hanya berorientasi pada PMA, lalu bagaimana dengan nasib penanaman modal dalam negeri (PMDN)?

Jika merujuk pada pengertian pendapatan, maka pendapatan orang asing tersebut bukanlah milik orang Indonesia. Nilai tambah yang mereka hasilkan dari aktivitas ekonominya di Indonesia bukanlah merupakan nilai nasional. Mereka tetap dicatat ke dalam PDB, akan tetapi konteksnya bukan nasional.

Dari pengertian warga negara dalam PDB dapat dilihat apabila PDB tidak selalu merepresentasikan atau mewakili kinerja perekonomian nasional. Jika hendak merepresentasikan secara nasional, maka seharusnya digunakan indikator Produk Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP). Besarnya PNB adalah besarnya PDB dikurangi faktor-faktor yang berasal dari luar negeri. Apabila faktor-faktor yang berasal dari luar negeri lebih dominan atau lebih dinamis, maka dinamika angka pertumbuhan lebih banyak berasal dari faktor-faktor luar negeri.

Angka Pertumbuhan Yang Ideal
Idealnya, angka pertumbuhan ekonomi adalah positif yang berarti terdapat peningkatan aktivitas perekonomian di negara tersebut. Seperti halnya tumbuh dan berkembang suatu makhluk hidup. Jumlah penduduk (populasi) terus mengalami peningkatan yang berarti akan diikuti pula peningkatan tensi kegiatan perekonomian. Selain faktor populasi yang terus berkembang, angka pertumbuhan ekonomi menunjukkan pula adanya gerak dinamis aktivitas perekonomian yang semakin berkembang. Misalnya, dari perusahaan kecil tumbuh dan berkembang menjadi perusahaan berskala lebih besar.

Angka pertumbuhan ekonomi di suatu negara terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu di bawah 5% dan di atas 5%. Tidak ada tolok ukur absolut untuk besarnya angka pertumbuhan yang ideal. Rata-rata angka pertumbuhan ekonomi di seluruh negara berdasarkan nilai PDB setiap tahunnya berada di bawah 10%. Angka pertumbuhan yang ideal adalah angka pertumbuhan yang besarnya mampu merepresentasikan dinamika perekonomian di negara tersebut. Amerika Serikat memiliki rata-rata pertumbuhan PDB sekitar 1% hingga 2%. Demikian pula rata-rata negara Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan yang mencapai kurang dari 3% per tahunnya. Untuk RRC dalam beberapa tahun terakhir ini mencapai di atas 5%.

Sejak masa PELITA (1969-1998), Indonesia memiliki rata-rata angka petumbuhan ekonomi di atas 5% per tahunnya. Selama periode 1998 hingga 2000 pernah mencapai di bawah 5% per tahun, bahkan mencapai pertumbuhan negatif pada tahun 1998. Hingga saat ini pula, pemerintah senantiasa berorientasi mencapai pertumbuhan di atas 5% per tahun. Angka pertumbuhan di atas 5% dikatakan sebagai kelompok angka pertumbuhan tinggi. Negara yang memiliki angka pertumbuhan tinggi biasanya ditandai dengan peningkatan secara besar-besaran angka penyerapan tenaga kerja, peningkatan produktivitas nasional, dan tentunya peningkatan jumlah penyedia lapangan kerja.

Ada satu pandangan apabila 1% pertumbuhan akan menghasilkan lapangan kerja sebanyak angka tertentu. Pandangan semacam ini sebenarnya hanyalah mitos. Kebenarannya sendiri masih sangat relatif di masing-masing negara dengan situasi ataupun latar belakang perekonomian yang berbeda. Dukungan empiris atas pernyataan tersebut pun masih lemah. Apalagi jika hanya berpedoman dari pertumbuhan PDB. Jika dikatakan mitos, karena kebenarannya secara teoritik pun masih sangat lemah.

Pertumbuhan Sebagai Alat Politisasi dan Propaganda
Sejak lama indikator makroekonomi seperti petumbuhan ekonomi dijadikan sebagai alat propaganda kekuasaan. Tidak hanya di Indonesia, di negara-negara anggota G-7 pernah menerapkannya di masa perang dingin. Angka pertumbuhan dijadikan sebagai sarana pencitraan politik, sampai akhirnya muncul perdebatan antara kelompok penganut teori pertumbuhan dan pembangunan. Ada dugaan, kuatnya pengaruh dari tokoh-tokoh politik di era perang dingin dikarenakan memanfaatkan paradigma angka pertumbuhan sebagai tolok ukur keberhasilan politiknya.

Beberapa waktu yang lalu, IMF pernah dituding memalsukan beberapa indikator makroekonomi, terutama angka pertumbuhan di negara Pantai Gading (Ivory Coast) dan Sierra Leone untuk memuluskan masuknya kepentingan di negara-negara tersebut. IMF dan Bank Dunia (World Bank) berulangkali menyebutkan (memuji) Indonesia sebagai keajaiban Asia karena mampu mencapai angka pertumbuhan tinggi lebih dari 10 tahun lamanya. Negara binaan IMF dan Bank Dunia tersebut tidak banyak berbuat apapun ketika menghadapi krisis moneter di tahun 1997-1998. Pada akhirnya, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang paling lama melakukan pemulihan (recovery) paska krisis di tahun 1998.

Di tahun 2011, perekonomian Indonesia diklaim mengalami pertumbuhan sebesar 6,7%. Fakta dan realita yang harus diperhatikan, bahwa hampir 80% aset perbankan nasional telah dikuasai oleh asing dan lebih dari 70% pula korporasi domestik di negeri ini telah dikuasai oleh asing. Di sektor pertambangan dan migas sendiri sudah didominasi pengelolaannya oleh asing. Demikian pula di sektor perkebunan dan perikanan laut. Apakah arti pertumbuhan sebesar 6,7%?

Sebagai bagian dari indikator makroekonomi, PDB maupun pertumbuhannya dianggap masih relevan, sesuai dengan definisinya. Namun, menjadi tidak relevan apabila dihubungkan dengan prestasi ekonomi, karena hanya memiliki aspek pengukuran yang sangat sempit.

Referensi
Leighton, R. Thomas, 1997, Modern Econometrics: an introduction, First Edition. Addison Wesley, Longman.
Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus, 2001, Economics, Seventeenth Edition, International Edition, New York.
Tambunan, Tulus T.H., 2001, Transformasi Ekonomi di Indonesia: Teori dan Penemuan Empiris, Penerbit Salemba Empat.
Alkadri, 1999, “Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Selama 1969-1996”, Jurnal Pusat Studi Indonesia, Volume 9 No. 2 (15 Mei 2005).
Turnovsky, Stephen J., 2000, “Growth In An Open Economy: Some Recent Developments”, Working Paper of Econpapers, Year 2001 No 4.

BURUKNYA KONEKSI INTERNET DI INDONESIA (BAGIAN 2)

Apakah negara seperti Indonesia harus dan butuh internet berkecepatan tinggi dan murah? Apakah yang ditakutkan dan segala resikonya? John Nasbit dalam bukunya Megatrend 2000 meramalkan tentang peradaban baru dalam dunia TI. Jarak dan waktu tidak akan menjadi halangan dengan kemunculan TI. Internet sebagai teknologi sudah menjadi kebutuhan pendukung seperti halnya air dan listrik. Fakta-fakta berikut ini akan mengungkap jawaban buruknya koneksi internet di Indonesia.

Peradaban Baru Umat Manusia
Negara-negara di Eropa sangat sensitif terhadap kebutuhan peradaban. Itu termasuk pula Rusia. Sejak diperkenalkannya internet, mereka terus berlomba dengan Amerika untuk mengembangkan teknologi dunia maya menyongsong abad ke-21. Saya pernah menyaksikan beberapa film Eropa dan Amerika yang mengambil tema latar pertengahan tahun 1990an. Di film itu terlihat sekali dari kecepatan membuka halaman bisa ditebak rata-rata memiliki akses sekitar 30-60 kbps untuk pengguna rumah. Padahal pada masa itu mungkin teknologinya masih di bawah kualitas 1G. Bermunculan kemudian berbagai perangkat lunak (software) buatan Amerika dan Eropa, terutama Antivirus yang paling populer di Eropa.

Adakah hubungan antara pembangunan TI dan kemajuan ekonomi?

Kenya termasuk salah satu negara berkembang di Afrika. Sulit bagi pemerintah Kenya untuk bisa mendongkrak prestasi perekonomian di negara mereka. Salah satu upaya kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Kenya ketika itu membangun infrastruktur untuk telekomunikasi bergerak. Sebagaimana ciri khas negara berkembang, Kenya mengandalkan ketergantungan ekonominya pada sektor informal sebagai potensi lokal. Kenya pula bersama beberapa negara Afrika lainnya membangun infrastruktur teknologi yang nantinya akan mampu menopang aktivitas perekonomian di negara mereka masing-masing. Tentunya perkembangan TI di Afrika tidak secepat dibandingkan kebanyakan negara-negara di Asia.

India bisa dikatakan memiliki karakter masalah yang hampir mirip dengan Indonesia. Negara ini dulunya dikenal jauh lebih miskin. Di masa lalu, kita sering mengirimkan bantuan pangan ke negara ini. Pemerintah India menyadari jika mereka pun harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi paradigma baru di abad informasi. Pemerintah mereka sungguh murah hati dengan subsidi, sehingga rakyat India tidak harus menebus dengan harga mahal untuk pembangunan infrastruktur TI di negara tersebut. Faktanya, India termasuk negara Asia yang paling sering menjual jasa TI ke luar negeri. Lulusan sarjana TI di negara tersebut banyak yang bekerja di IBM maupun Microsoft. Faktanya pula, bahwa India masih terhitung cukup mandiri dengan industri manufakturnya.

Dua raksasa komunis, yaitu Rusia dan China pun saat ini sudah mulai merambah ke dalam strategi di dunia maya. China misalnya telah membentuk pasukan khusus TI yang sengaja dipersiapkan untuk mengantisipasi cyber war. Hal serupa dilakukan oleh Rusia dan Amerika dengan membentuk departemen TI khusus untuk kepentingan pertahanan. Dengan ditopang cadangan devisa terbesar di dunia, China tentunya paling ambisius untuk menguasai peta perang cyber di masa depan. Penguasaan terhadap teknologi adalah segalanya apabila ingin mendominasi dunia di masa depan. Terakhir kali, China telah berhasil menciptakan super komputer tercepat di dunia. Mengalahkan rekor kecepatan yang selama ini dipegang oleh IBM. Tidak hanya itu, dukungan infrastruktur diperkuat pula dengan kehadiran industri manufaktur di bidang TI seperti ponsel, modem, dan server. Penguasaan TI adalah penguasaan informasi. Barangsiapa yang menguasai informasi, maka dia sudah kunci untuk menguasai dunia.

Sekali Lagi Isu Infrastruktur
Di kawasan Asia Pasifik hanya terdapat beberapa negara yang memiliki server utama, yaitu Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Australia, dan Selandia Baru. Selain Australia, negara-negara tersebut terhitung kecil luasnya maupun jumlah penduduk dibandingkan Indonesia. Mereka negara-negara industri maju dan sekaligus minim sumberdaya alam. Apalagi seperti Selandia Baru yang jumlah penduduknya malah lebih sedikit dibandingkan jumlah dombanya. Server yang seringkali menjadi sasaran koneksi internet adalah server di Hongkong dan Jepang. Dari server utama tadi nantinya akan diteruskan ke server-server utama yang menjadi sumber akses. Kita ketahui saja, seperti Yahoo!, Google, dan layanan-layanan web lainnya berasal dari Amerika. Tentu akan lebih cepat (ping) apabila dari server utama di Hongkong ataupun Jepang dilempar ke server sumber akses.

Ada dikenal istilah backbone, yaitu jaringan kabel serat optik bawah laut yang dipasangkan untuk mengubungkan ke pusat server tujuan. Misalnya dari negara A ke server di Jepang atau Hongkong. Dari Asia Tenggara tentunya membutuhkan investasi yang cukup mahal untuk menanamkan kabel bawah laut tersebut. Indonesia diketahui masih belum memiliki backbone yang langsung mengakses ke Jepang ataupun Hongkong. Lalu ke mana jaringan kabel bawah laut (internet) Indonesia?

Baru diketahui apabila selama ini Indonesia tidak pernah langsung menghubungkan koneksi internetnya ke server di Jepang ataupun Hongkong. Indonesia harus melewati Singapura terlebih dahulu, karena memang kita hanya memiliki 2 route, yaitu Singapura dan Australia. Provider internet di negeri ini lebih suka menyambungkan (menggunakan jasa) langsung ke Singapura. Baru diketahui pula, ternyata Singapura, Malaysia, dan Thailand telah bekerjasama untuk membuat sambungan kabel bawah laut (fiber optic) mereka langsung ke Jepang dan Hongkong. Dengan segala hormat, Indonesia tidak diajak oleh mereka. Tetapi yang mengherankan kita masih saja menganggap mereka bersahabat dengan kita.

Bagaimana dengan fungsi satelit telekomunikasi?

Perlu diketahui, jika terdapat beragam jenis satelit telekomunikasi. Sambungan internet via kabel optik bawah laut lebih disukai, karena selain memiliki kecepatan tinggi, biaya sambungan relatif lebih murah. Disamping itu, kabel optik memiliki kehandalan yang cukup tinggi untuk menampung lebih banyak server. Mengenai fungsi satelit itu sendiri hanyalah alternatif di mana harga sambungannya masih relatif mahal. Sambungan internet via satelit membutuhkan lebih banyak infrastruktur yang nantinya dihubungkan dengan sistem jaringan kabel bawah laut. Kapasitasnya pun relatif terbatas, kecuali mau dan sanggup meluncurkan lebih banyak lagi satelit. Faktor usia harus diperhatikan, sehingga investasi untuk satelit saat ini lebih mahal jika hanya untuk sambungan internet.

Mempertanyakan Road Map Pembangunan Nasional
Sebuah petikan berita menyebutkan apabila salah satu kendala pelaku UKM/IKM di dalam negeri adalah kesulitan untuk mengakses informasi pasar di luar negeri. Hal ini terutama dialami pada kelompok industri kreatif, belum lama setelah reshuffle kabinet bulan November 2011 menghasilkan kementrian bidang ekonomi kreatif. Mengakses informasi untuk mendapatkan informasi merupakan salah satu kunci untuk menguasai pasar. Para pelaku usaha mesti lebih banyak mendapatkan informasi melalui komunikasi antar pelanggan, mencari informasi mengenai perkembangan perilaku pasar, dan lain sebagainya.

Sekalipun teknologi informasi sudah jauh diperkenalkan sebelum tahun 2000, akan tetapi cara berpikir (mindset) pembangunan nasional masih belum sedikit pun beradaptasi dengan kebutuhannya. Kita seolah seperti sedang berdagang di masa sebelum 1990an yang dilakukan dengan cara-cara konvensional. Sementara itu, perilaku pasar akan senantiasa dinamis. Jika hendak bersaing di era globalisasi, maka cara berpikir masyarakat pun harus beradaptasi dengan informasi. Tanpa didukung oleh infrastruktur yang memadai, sulit sekali bagi masyarakat untuk mampu beradaptasi dengan informasi.

Sekitar tahun 2010 lalu, PT KAI pernah hendak membuat koneksi WiFi di setiap stasiun besar dan gerbong utama (eksekutif dan bisnis). Tidak berapa lama kemudian, Menkominfo RI, Tifatul Sembiring langsung mengeluarkan pernyataan untuk menolak rencana PT KAI tersebut. Alasannya, sambungan internet gratis tersebut akan rawan disalahgunakan untuk membuka situs-situs pornografi. Bodoh sekali bukan?

Di luar negeri, hampir setiap kepala daerah berkomitmen untuk menyediakan jasa layanan hotspot gratis bagi masyarakat (publik). Bandingkan dengan kepala daerah di negeri ini, adakah yang sampai berpikir demikian?

Beberapa tahun sebelumnya, Onno W Purbo pernah mengusulkan suatu gagasan membuat sistem RT/RW Net. Dengan menggunakan hotspot untuk menjangkau kawasan RT dan RW. Sebelumnya malah sempat diusulkan dapat menjangkau setingkat kecamatan. Namun, usulan tersebut dilarang oleh pemerintah atau ilegal. Menurut pemerintah, layanan hotspot sebaiknya memiliki cakupan terbatas atau lokal, seperti area rumah, area pertokoan, atau kompleks perbelanjaan (mall). Padahal area mall itu sendiri terkadang bisa sampai seluas tingkat RT.

Pernah suatu ketika Onno W Purbo pula mengusulkan kepada pemerintah untuk meloloskan layanan internet yang setara dengan teknologi 4G, yaitu WiMAX. Teknologi WiMAX merupakan pengembangan dari WiFI dengan menambah jangkauan area (coverage). Ada dua macam, yaitu fixed dan mobile. Pembahasannya cukup ketat, hingga akhirnya pemerintah belum mengijinkan pengoperasian WiMAX. Pemerintah berdalih, apabila WiMAX akan mematikan industri jasa layanan internet yang lebih berorientasi mengembangkan teknologi LTE (long term evolution). Tidak ada yang mau mengalah, akhirnya pemerintah memvonis untuk membatasi WiMAX. Setelah selang cukup lama berjalan, akhirnya baru pada tahun 2011 mulai diperlonggar, akan tetapi hanya dibatasi pada pelayanan fixed WiMAX.

Setiap operator internet diharuskan untuk membeli perijinan pita lebar untuk dapat menyelenggarakan layanan pita lebar dengan batas tertentu. Harganya cukup mahal dan penawaran tersebut tidak dilakukan setiap tahun. Hanya Telkomsel yang memiliki jumlah perijinan bandwidth paling banyak dibandingkan operator internet lainnya. Pita lebar itulah yang nantinya digunakan untuk memberikan layanan internet kepada masyarakat.

Seperti halnya ketika di era 1970an pemerintah berkehndak untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara agraris, maka dibuatkanlah sarana pendukung dan infrastrukturnya. Dibangunlah bendungan dan sarana irigasi yang berfungsi untuk pengendali air. Dilakukan penguatan lumbung nasional yang dikelola oleh Bulog sebagai kontrol harga. Dan tentunya yang terpenting dipersiapkanlah sejumlah lahan hingga melibatkan transmigrasi besar-besaran ke seluruh negeri. Begitu pula seharusnya jika hendak membangun basis teknologi informasi, maka harus ditopang oleh infrastrukturnya yang memadai, bukan secukupnya.

Indonesia memiliki jumlah penduduk terbesar kelima di dunia. Tentunya penyediaan layanan internet harus dipikirkan sebagai bagian dari program jangka panjang. Biaya yang dibutuhkan pun tidak sedikit. Melihat kekayaan alam dan potensi ekonomi lainnya, tentunya Indonesia pun punya peluang lebih besar dibandingkan Singapura, Thailand, ataupun Malaysia untuk membangun infrastruktur teknologi informasi. Indonesia seharusnya tidak perlu harus mengambil router ke Singapura, akan tetapi jauh lebih mampu untuk membangun internet backbone yang langsung tersambung ke Hongkong maupun Jepang.

Tahukah Anda, negara-negara di Eropa Timur senantiasa memberikan pelayanan internet yang sangat murah dan mudah kepada masyarakatnya? Di negara-negara seperti mereka, layanan internet bisa ditemukan di segala tempat, bahkan diakses secara gratis. Para pelajar dan mahasiswa mendapatkan prioritas, karena merekalah yang dianggap sebagai pengguna paling penting. Apa hasilnya? Kita bisa melihat sendiri seperti AVG yang dulunya dimulai dari kelompok kecil, kini telah menjadi pengembang pembuat antivirus kelas dunia. Para hacker di Eropa Timur pula yang seringkali menjadi daftar hitam dan sekaligus menciptakan lubang hitam di dunia maya. Mengetahui betapa pentingnya jasa internet kepada masyarakat, langkah serupa dilakukan oleh negara-negara Asia, bahkan yang paling ekstrim dilakukan oleh RRC. Jika kita menengok perjalanan waktu (time line), maka Indonesia bisa dikatakan mempelopori dimulainya pembangunan era perang dingin. Melihat progres dan pencapaiannya, bisa dikatakan Indonesia justru merupakan negara paling terbelakang.

Tulisan sebelumnya pada bagian pertama bisa dibaca di sini.

(Bersambung ke tulisan ketiga)

BURUKNYA KONEKSI INTERNET DI INDONESIA (BAGIAN 1)

Kecepatan koneksi 30-40 kBps (kilobytes per second) dianggap sudah sangat manusiawi. Anda termasuk cukup beruntung apabila mendapatinya antara 20-30 kBps (download speed). Di layanan memang tertulis berteknologi HSDPA (3G/GSM) atau EVDO (CDMA). Tertulis pula di layanan 384 kBps (download) dan 128 kBps (upload). Tetapi angka yang tertera bukan berarti angka yang bakal didapat/dinikmati oleh penggunanya. Di lokasi dengan sinyal terbaik pun (full bar) belum menjamin akan mendapatkan kualitas koneksi yang optimal. Apa kata operator (provider)? Masalahnya tidak ada konsumen (user) yang mengeluhkan, asalkan kualitas masih pada batas kewajaran mereka.

Salah seorang kolega di Jerman pernah berujar di Facebook, jika dirinya baru saja mengunduh (download) film berkapasitas 3,28 Gb dalam waktu sekitar 28 menit. Rata-rata provider di Jerman memberikan layanan yang kurang lebih sama. Setidaknya tidak ada satu pun layanan berbayar yang memiliki kualitas di bawah 1 MBps. Rata-rata pula sudah memberikan layanan di atas 10 MBps. Tarif layanan yang dia bayar sebesar Rp 378.000/bulan (tahun 2010) dengan kecepatan download (riil) mencapai di atas 20 MBps. Ini berarti dia membayar sekitar Rp 20.000/bulan untuk setiap 1 MBps (pembulatan ke atas). Hampir semua masyarakat di Jerman akan selalu terkoneksi dengan internet. Termasuk pula di antaranya melalui fasilitas HotSpot milik publik yang tidak berbayar. Sekalipun tidak berbayar, kualitas koneksinya masih di atas 1 MBps.

Dari negara maju, kita meluncur ke salah satu kolega di India. Dia adalah salah satu orang Indonesia yang pernah ambil perkuliahan lanjut di India. Negara ini punya kemiripan dengan Indonesia, yaitu tingkat kepadatan pengguna internetnya yang cukup tinggi. Apalagi di negeri yang lulusannya banyak dipesan di perusahaan IT dunia sangat menganjurkan masyarakatnya untuk ber-internet. Internet gratis sangat mudah ditemukan, terutama di area sekolah atau kampus. Katanya, kecepatan internet di sini sebenarnya tidak berbeda dengan di Indonesia. Bedanya internet di India banyak gratisan, sehingga penggunanya pun langsung padat merayap mengaksesnya secara bersamaan. Tidak banyak berbeda dan masih lebih baik di India. Buruknya kualitas koneksi di perkotaan di Indonesia malah lebih banyak ditemukan di wilayah pedesaan di India. Apalagi pemerintah India turut men-subsidi pula layanan internet, baik dengan subsidi finansial maupun melalui infrastrukturnya.

Kita ke China, salah satu negara paling padat pengguna internetnya. Berubahnya wajah RRC ternyata diikuti pula dengan berubahnya gaya hidup warga negaranya. Akses internet menjadi kebutuhan yang tidak kalah pentingnya. Apalagi pemerintah China telah berkomitmen untuk membangun jaringan pertahanan Cyber. Ini berarti, pemerintah RRC berubaya pula untuk menaikkan kualitas infrastruktur teknologi informasinya. Tentu tidak ada masalah bagi negara dengan status cadangan devisa terbesar di dunia saat ini. Pemerintah China bahkan telah membangun server yang jauh lebih handal dan moderen. Tidak mengherankan apabila dengan jumlah penduduk terbesar dan pengguna terpadat, RRC masih mampu memberikan kecepatan koneksi rata-rata sebesar 5,71 MBps (tahun 2009).

Bagaimana dengan Asia Tenggara?

Singapura masih menempati posisi puncak kecepatan internet paling tinggi di Asia Tenggara dengan rata-rata 18,28 Mbps (tahun 2009). Sekalipun negara kecil, negara yang pernah dikelola oleh Mr Lee telah memiliki sendiri server mandiri yang mampu mengkoneksikan langsung dengan server utama di dunia. Ada cerita, jika ada kolega yang pernah mencoba mengunduh film berkapasitas 3,25 Gb di bandara cuma menghabiskan waktu kurang dari 1 jam. Streaming video sangat lancar. Padahal layanan tersebut diakses secara gratis. Dengan tingkat kemakmuran tertinggi di Asia Tenggara dan tingkat korupsi paling rendah pula di Asia, tentunya mereka tidak pelit memberikan layanan internet gratis. Pemerintah Singapura ingin rakyatnya cepat beradaptasi dengan peradaban baru yang difasilitasi melalui teknologi informasi. Disamping itu, pemerintah Singapura tentunya pula ingin tetap menjaga negaranya sebagai tujuan kunjungan wisatawan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Faktanya, bahwa di Asia Tenggara saja, rata-rata kecepatan koneksi internet di Indonesia paling rendah, yaitu 1,55 Mbps (peringkat 144, tahun 2009). Kelihatannya memang paling mahal pula.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi rating kecepatan internet oleh NetIndex. Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara. Faktor kepadatan pengguna tidak bisa diabaikan. Namun, bagian yang paling menentukan adalah infrastruktur tekonologi informasi. Teknologi ada bukan untuk menjadi pelengkap seperti aksesoris, melainkan sebagai jawaban atas cara berpikir.

Saya tidak perlu menceritakan betapa buruknya pengalaman pribadi selama berinternet di negeri ini. Cukuplah keluhan yang saya baca lewat microblogging maupun blog yang saya kunjungi.

Kasus Kebijakan TI Paska Reformasi
Setelah reformasi 1998, nampaknya para politisi tidak ada yang sedikit pun berpikir ke depan tentang pembangunan di bidang teknologi informasi (TI). Mereka semua disibukkan dengan merubah tatanan kenegaraan, bahkan sampai dengan meng-amandemen UUD 1945 hingga 4 kali. Mereka lebih suka menyibukkan dirinya dengan mengutak-atik sistem politik, ketimbang menyongsong abad TI. Padahal, menjelang dekade 2000an merupakan masa transisi yang cukup penting untuk mempersiapkan fondasi di bidang IT.

Saya mulai dulu dari kasus penjualan (divestasi) INDOSAT ke SingTel (Singapura). Banyak pihak termasuk kalangan masyarakat yang meributkan penjualan Indosat ke Singapura. Indosat dinilai sebagai aset nasional yang sekaligus sebagai aset teknologi. Apakah masyarakat memahami yang disebut teknologi? TIDAK! Fakta yang terjadi, kasus penjualan Indosat ini malah dijadikan alat politik di 2004 untuk menjatuhkan citra capres Megawati Soekarnoputeri. Dari sini saja, saya sudah melihat ada sesuatu yang tidak beres di negeri ini. Apa itu?

INDOSAT adalah perusahaan telekomunikasi yang merupakan patungan antara pemerintah Indonesia dan pihak asing. Bagian yang menarik, bahwa Indosat mengusung fitur untuk pengoperasian satelit komunikasi, yaitu PALAPA. Masalahnya, tekknologi yang diusung satelit tersebut belum 100% kompatibel dengan teknologi TI abad ke-21 yang sudah berbasis digital. Dalam hal ini pula, Indonesia masih memegang kendali pengoperasian Palapa di Cibinong (Jawa Barat). Substansi yang diributkan tidak mengena dengan kebutuhan yang sesungguhnya. Indonesia ketika itu masih memiliki seperti Telkom, Telkomsel, Excelcom, dan belum dihitung perusahaan yang bergerak di layanan CDMA seperti Bakrie Telecom dan lain-lain. Substansi yang diributkan belum menjawab atau menyentuh pada kebutuhan infrastruktur TI. Sekarang ini SingTel sudah tidak lagi memiliki Indosat yang sekarang dimiliki oleh orang Qatar (QTel). Satu lagi, Excelcom sekarang ini sudah diakuisisi penuh oleh Malaysia. Setidaknya ada 2 perusahaan telekomunikasi berbasis GSM di Indonesia dari Malaysia, yaitu AXIS dan Excelcom.

Pada tahun 2001, tidak lama setelah Gus Dur (Alm.) dilengserkan dari kursi kepresidenan, Presiden Megawati menghidupkan peran Departemen Penerangan diganti dengan Departemen Komunikasi dan Informasi. Hanya satu menterinya yang kebetulan tepat, yaitu Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh, DEA yang menjabat antara tahun 2007-2009. Menteri-menteri lainnya tidak ada yang tepat pada posisinya. Sekalipun demikian, tidak ada satu pun di antara menteri-menteri tersebut menghasilkan kebijakan bermutu. Sekedar catatan, sejak 31 Januari 2005, departemen tersebut berganti nama menjadi Departemen Komunikasi dan Informatika RI.

Antara periode 2004-2009 terdapat cukup banyak peristiwa penting di bidang TI. Misal saja seperti Onno W Purbo yang pernah mengusulkan untuk membangun jaringan RT/RW Net atau Kecamatan Net. Usulan tersebut kandas karena adanya restriksi undang-undang informatika. Padahal, Indonesia ketika itu tengah mengalami lonjakan pengguna TI yang cukup tinggi, bahkan tertinggi di Asia Tenggara. Cukup mengherankan apabila politisi hanya meributkan soal divestasi saham Indosat, bukan hendak meributkan paradigma untuk membangun infrastruktur TI. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, ataupun Vietnam, Indonesia termasuk bisa dikatakan tertinggal di bidang TI.

Mari kita simak pertanyaan berikut ini.
1. Apakah ada perangkat modem buatan Indonesia?
2. Apakah ada perangkat mobile internet berkualitas 3G ke atas buatan Indonesia?
3. Adakah industri manufaktur nasional yang bergerak di bidang teknologi informasi?
4. Adakah industri manufaktur yang memproduksi peripheral komputer di negeri ini?
Bicara soal sumberdaya manusia, negeri ini sudah lebih dari cukup. Tetapi tanpa difasilitasi dengan dukungan infrastruktur TI, negeri ini tidak akan pernah bisa menjawab tantangan global, bahkan ancamannya di masa depan.

Tahun 2010, banyak negara di Asia, Afrika, dan Eropa mulai komplain dengan pihak Research in Motion (RIM). Pemerintah di negara mereka mengeluhkan jaminan keamanan data dan privasi pengguna di negaranya, terkait keharusan pengguna BlackBerry untuk menggunakan server milik RIM di Kanada. Pemerintah Singapura meminta agar mereka diberikan otoritas penuh untuk ikut mengamankan data penggunanya di Kanada. Permintaan dan tuntutan yang sama dilakukan oleh banyak negara. Pihak RIM bersikeras tidak memberikan otorisasi tersebut dan tidak pula memenuhi salah satu tuntutan untuk memindahkan basis server RIM atau membaginya. Akibat penolakan tersebut, seperti India, Singapura, China, dan beberapa negara lain melarang pegawai pemerintahan di negaranya untuk menggunakan produk buatan RIM. BlackBerry pun dibatas dan diperketat. Bagaimana dengan Indonesia?

Menkominfo RI Tifatul Sembiring pertama kali melontarkan komplain mengenai keharusan RIM untuk mendirikan kantor perwakilan (agen resmi) di Indonesia. Permintaan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak RIM, karena memang sudah menjadi bagian dari agenda bisnis mereka. Tidak berapa lama berselang, permintaan kedua Menkominfo mengharuskan agar RIM memasang fitur penyaring (filter) pornografi pada produknya. Bandingkan dengan pemerintahan Inggris yang menuntut agar RIM mendirikan divisi riset teknologi di negaranya, jika RIM menghendaki produknya masih eksis di Inggris. Permintaan pemerintah Inggris sebenarnya serupa dengan gagasan Onno W Purbo yang menginginkan agar RIM mendirikan sekolah TI di Indonesia, karena orang Indonesia dikenal paling sering membuat konten untuk RIM.

Berita TI yang cukup menghebohkan adalah rencana Google untuk membangun kantor dan infrastrukturnya di Indonesia pada tahun 2011. Tentu saja tawaran Google ini memberikan harapan besar terhadap perkembangan industri teknologi di negeri ini. Bisa dibayangkan, setelah dilewati oleh Samsung dan Nokia yang membangun pabrik perakitan ponsel di Vietnam, kini Research in Motion (RIM) membangun pabrik perakitan di Malaysia (Penang). Padahal, konsumennya justru paling banyak ada di Indonesia. Masalah pabrik BlackBerry ini pun kemudian menjadi pemicu politik di negeri yang kemudian dihubungkan dengan reshuffle KIB Jilid II.

Bulan November 2011 keluar pernyataan jika Indonesia akan berencana mewujudkan broadband nasional pada tahun 2016. Sesuatu yang sebenarnya tidak berbeda ketika M Nuh masih menjabat Menkominfo, yaitu upaya untuk mewujudkan internet di setiap desa. Ternyata tidak terwujud, karena hanya di desa-desa tertentu di Pulau Jawa. Mengapa begitu sulit terwujud? Sederhana saja, karena kebijakan TI tidak termasuk ke dalam prioritas di dalam road map kebijakan pembangunan nasional saat ini.

(Bersambung ke tulisan kedua)

KEPOLISIAN RI HARUS REVOLUSI TOTAL

Nampaknya tidak pula kunjung usai masalah di tubuh Kepolisian RI (Polri). Kasus demi kasus semakin mengancam integritas maupun kepercayaan masyarakat. Reformasi Kepolisian hanyalah mimpi di siang bolong. Seperti yang sudah pernah kita dengar tentang reformasi di tubuh TNI. Mengayomi, melayani, dan melindungi, itulah motto tentang impian kepolisian RI di masa depan.

Pokok Persoalan: Posisi Yang Dilematis
Pangkal permasalahan Polri sesungguhnya sudah terjadi sejak lama. Kedudukan kepolisian di negeri ini tidaklah pernah jelas sejak awal dibentuknya paska Proklamasi Kemerdekaan RI. Paska Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dikeluarkan Keppres No 154/1959 yang menyatakan Kepolisian Negara diberikan kedudukan menteri negara (ex-officio). Perubahan masih terus bergulir sampai pada tanggal 13 Juli 1959 melalui Keppres No 154/1959 menyebutkan Kapolri diberikan pula jabatan sebagai Menteri Muda Kepolisian.

Presiden Soekarno pernah mengutarakan keinginannya untuk membentuk ABRI yang terdiri atas Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian. Keinginan Presiden Soekarno tersebut ditentang oleh Kapolri (Menteri muda Kepolisian) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Alasannya, dengan dimasukkan ke dalam ABRI akan mengurangi profesionalitasnya. Kemauan keras Soekarno itu pula yang menyebabkan RS Soekanto mengundurkan diri pada tanggal 15 Desember 1959. Ahirnya, melalui Tap MPRS No II dan III Tahun 1960 ditetapkan ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara.

Di masa Orde Baru terjadi perubahan yang cukup ekstrim, sekalipun masih belum banyak merubah tatanan sebelumnya. Presiden Soeharto mulai menata ulang 4 elemen di dalam ABRI. Kedudukan Kapolri (sebelumnya Kepala Kepolisian Negara atau KKN) sejajar dengan Kepala Staf angkatan bersenjata (KSAL, KSAU, dan KSAD). Istilah kepala staf tersebut untuk menggantikan penyebutan sebelumnya, yaitu panglima angkatan bersenjata (laut, udara, dan darat). Perubahan di organisasi kepolisian pun dilakukan dengan merubah tanda kepangkatan yang sama dengan kepangkatan di angkatan bersenjata.

Demi memperkuat legitimasi politiknya, rezim Orba selanjutnya meleburkan Polri ke dalam ABRI (sekarang TNI). Polri menjadi angkatan keempat yang sejajar dengan angkatan laut, angkatan udara, dan angkatan darat. Di sinilah awal dimulainya militerisme ke dalam organisasi Polri yang masih membekas hingga saat ini. Militerisme diperlihatkan dari segala aspek, mulai dari seragam, tanda kepangkatan (dan kepangkatan), perekrutan, hingga pada aspek pendidikan (seluruh jenjang pendidikan). Diterapkannya politik teroritial di mana angkatan darat mendominasi komando militer menyebabkan polisi lebih dekat dengan angkatan darat (TNI-AD).

Pokok persoalan di dalam kepolisian RI sesungguhnya terletak dari perkembangan sejarahnya. Dimulai dari terbentuknya Pasukan Polisi Istimewa yang turut serta pula dalam berbagai misi penumpasan separatis hingga misi merebut Irian Barat. Sejak saat itu perannya menjadi di persimpangan jalan, apakah menjadi polisi profesional ataukah sekalian dapat difungsikan untuk mendukung fungsi militer. Paska reformasi bukan memberikan solusi, akan tetapi permasalahan baru, yaitu dengan melepaskan Polri dari TNI dan menjadikan Polri sebagai institusi yang langsung di bawah Presiden RI. Padahal, seperti TNI-AL, TNI-AU, dan TNI-AD berada di bawah Panglima TNI. Ini berarti pula kedudukan Panglima TNI sejajar degan Kapolri.

Revolusi Kepolisian RI
Rasanya akan lebih tepat apabila disebut revolusi ketimbang reformasi. Perlu dilakukan suatu perubahan ekstrim pada institusi Polri untuk keseluruhan aspek di dalamnya. Tujuan revolusi tidak lain untuk mewujudkan institusi kepolisian yang profesional. Seperti kita ketahui, Kepolisian RI pula hendak mewujudkan mottonya, yaitu mengayomi, melayani, dan melindungi.
Kepangkatan dan Tanda Kepangkatan
Perubahan tanda kepangkatan dan kepangkatan sudah dilakukan sejak 1 Januari 2001. Sayangnya, perubahan tersebut hanya merubah desain dan penyebutan, bukan merubah struktur kepangkatannya. Ini perlu diperhatikan, karena struktur kepangkatan Polri saat ini masih mengikuti struktur kepangkatan di TNI. Ini berarti masih menyisakan kesan militeristik di dalam Polri dan tentu personilnya.
Seragam dan Atribut
Seragam kepolisian saat ini masih identik dengan seragam yang digunakan di lingkungan angkatan bersenjata. Tentunya ini akan membawa dampak psikologis yang cukup serius, yaitu pola pikir militeristik. Atribut berupa lencana dan tanda jasa memiliki desain yang sama persis dengan yang digunakan pada angkata bersenjata. Kepolisian bahkan memiliki wing terjun dan tanda kecakapan lain yang mirip dengan militer. Ini semua harus dihilangkan. Seragam kepolisian sebaiknya merupakan seragam sipil, karena sesuai dengan mottonya adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Metode Perekrutan
Metode perekrutan saat ini terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu perekrutan di tingkat tamtama, tingkat bintara (Sekolah Kepolisian), dan di tingkat akademi (Akademi Kepolisian). Metode perekrutan seperti ini punya kemiripan dengan metode perekrutan angkatan bersenjata. Metode kualifikasi dalam perekrutan ini pun harus dilakukan perombakan total. Aspek perekrutan di kepolisian sejak lama telah menjadi isu/permasalahan yang jarang tersentuh. Metode perekrutan di dalam kepolisian sebaiknya harus menggunakan pendekatan civil society. Mirip dengan metode perekrutan pada sekolah-sekolah seperti STPDN, STAN, dan lain sebagainya. Perubahan metode perekrutan secara bertahap akan menggeser paradigma militeristik menjadi paradigma civil society.
Pendidikan Kepolisian Negara
Syarat untuk dapat masuk ke kepolisian hendaknya minimal berpendidikan terakhir setingkat SLTA. Sekolah Kepolisian sebaiknya dihapuskan, sehingga untuk pendidikan dasar hanya ada di Akademi Kepolisian (Diploma atau setara D3). Seluruh lulusannya adalah setara dengan bintara. Jika hendak menuju jenjang perwira, maka lulusan Akpol tadi harus memenuhi persyaratan menuju jenjang pendidikan sekolah lanjut yang disebut Sekolah Tinggi Kepolisian. Di sini tidak akan pernah ada istilah perwira muda seperti yang terdapat pada ketentaraan. Kepangkatan perwira setidaknya baru bisa dicapai apabila yang bersangkutan telah menempuh masa di lapangan yang cukup panjang dan tentunya dengan sedikit cacat.
Organisasi di Bawah Kementrian
Pernah disampaikan usulan, agar institusi Polri tidak berdiri sendiri di bawah langsung Presiden RI, akan tetapi di bawah kementrian atau yang setikang dengan kementrian. Ada dua kementrian yang menjadi opsi, yaitu Kementrian Dalam Negeri atau Kejaksaan. Dengan mempertimbangkan mottonya dan teknis lapangan yang akan dihadapi, maka akan lebih tepat apabila Kepolisian RI berada di bawah Kementrian Dalam Negeri. Kepolisian akan berkoordinasi langsung dengan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Agar tidak terdapat tumpang tindih dengan tugas Satpol PP, maka sebaikanya pula melakukan perombakan pada Satpol PP dengan membatasi kewenangannya atau secara bertahap dihapuskan. Dalam hal ini, Kepolisian RI akan bekerja langsung berdasarkan surat keputusan mendagri dan surat keputusan kepala daerah.
Perubahan Desain (Visual)
Perubahan yang dimaksud di sini adalah perubahan pada desain bangunan yang selama ini masih meninggalkan karakter militeristik. Misalnya dengan keberadaan pos jaga di setiap polda, polres, poltabes, dan polsek yang desainnya mirip atau menyerupai pos jaga di pos militer. Perombakan desain tersebut bertujuan untuk menghilangkan kesan militeristik pada institusi Polri maupun perspektif dari masyarakat sendiri.
Merampingkan Unit Brigade Mobil (Brimob)
Jumlah unit kesatuan Brimob saat ini dirasakan terlalu besar. Melihat motto maupun tugas pokok yang diemban nampaknya akan menjadi dilematis jika dihubungkan dengan motto ataupun tugas pokok Polri. Brimob sebaiknya secara berangsur dapat dikurangi, sehingga nantinya akan membentuk unit kesatuan khusus yang beroperasi di setiap daerah setingkat propinsi. Keberadaan Brimob yang terlalu besar ini pula yang menyebabkan terjadinya dilema pelaksanaan ataupun perwujudan motto Polri.
Alokasi Pembiayaan
Seperti pada poin yang sudah disebut sebelumnya, apabila Polri secara struktural berada di bawah Kemendagri. Oleh karenanya, pembiayaan operasional Polri di daerah akan disokong dari APBD. Ini berarti besar atau kecilnya kebutuhan akan unsur kepolisian di daerah disesuaikan pula berdasarkan kapasitas pendapatan (APBD) di daerah. Dalam hal ini, pemerintah pusat memiliki standar minimal untuk penyelenggaran kepolisian di daerah. Sokongan dana dari pusat hanya akan diberikan apabila standar minimal tidak dapat dipenuhi oleh anggaran pemerintah daerah setempat. Dalam hal ini, pembiayaan atas pendidikan kepolisian bukan domain atau kewenangan pemerintah daerah, melainkan kewenangan pemerintah pusat (melalui Kemendagri).
Membatasi Kewenangan
Kewenangan untuk menjaga keamanan nasional yang diserahkan kepada Polri dirasakan akan menjadi beban tersendiri. Aspek kewenangan Polri pada tatanan keamanan harus dibatasi hanya pada aspek pencegahan tindak pidana kriminal dan menjaga keamanan/ketertiban umum. Seperti misal terorisme sebenarnya bukanlah domain Polri, melainkan domain bidang pertahanan dan keamanan. Polri harus tetap difokuskan profesionalitasnya pada aspek pelayanan kepada masyarakat. Pembatasan kewenangan ini pula mengharuskan Polri agar bekerjasama dan mengaktifkan kembali fungsi DLLAJR di dalam jajaran Dinas Perhubungan. Artinya, hak atau kewenangan untuk mengurusi SIM maupun surat-surat kendaraan bermotor harus diserahkan kepada DLLAJR.
Struktur Pertanggungjawaban
Mengingat secara operasional bekerja di bawah naungan pemerintah daerah, maka institusi Polri di daerah bertanggungjawab langsung kepada kepala pemerintah daerah. Pertanggungjawaban kepolisian di daerah selanjutnya akan diserahkan kepada Kepolisian Pusat (Metro) yang nantinya akan menjadi pertanggungjawaban Kapolri kepada Mendagri. Sebagai catatan, keamanan nasional bukanlah domain Polri, sehingga tidak dimasukkan ke dalam laporan pertanggungjawaban Polri baik di daerah maupun pusat.

Merubah Mindset Pada Sistem Pendidikan
Diberlakukan perubahan tanda kepangkatan dan penyebutannya di tahun 2001 tidak diikuti dengan perubahan yang menyeluruh, terutama perubahan pada pola mikir institusi maupun personilnya. Salah satu pangkal persoalan cara berpikir (mindset) dari personil kepolisian terletak pada aspek kependidikan. Para personilnya sejak lama dibina sebagai alat negara, bukan dibina sekaligus sebagai pelayan masyarakat. Itu sebabnya pada poin di atas disebutkan apabila salah satu sasaran revolusi di kepolisian adalah pada pendidikan kepolisian.
Akademi Kepolisian dan Sekolah Tinggi Kepolisian
Sekolah Kepolisian sebaiknya dihapuskan dan keseluruhannya dileburkan ke dalam Akademi Kepolisian (Akpol) dengan masa pendidikan standar selama 3 tahun. Di sini tidak dikenal istilah perwira remaja/muda yang bisa ditemukan pada kependidikan militer. Seluruh lulusan Akpol berpangkat Sersan. Mereka harus menjalani masa percobaan resmi di lapangan minimal 5 tahun setelah pendidikan, sebelum nantinya memperoleh lencana kepolisian. Masa percobaan di lapangan yang cukup panjang di sini merupakan bagian dari pendidikan jangka panjang, yaitu pengamatan. Dalam hal ini, masyarakat yang nantinya akan berperan langsung memberikan penilaian, baik penilaian kepada individu (personil Polri) maupun institusinya. Untuk menuju jenjang kependidikan perwira setidaknya harus mengemban tugas lapangan minimal 10 tahun. Selain perombakan di atas, seragam pendidikan untuk Akpol harus pula dibedakan dari AAL, AAU, maupun Akmil. Sejak pendidikan dasar hendaknya sudah ditanamkan apabila mereka adalah abdi masyarakat, bukan militer.
Materi Pendidikan Dasar (Kurikulum)
Sebagai institusi yang memiliki sasaran pada aspek civil society, maka materi pendidikan kepolisian harus menitikberatkan pada aspek pelayanan sosial. Titik kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh setiap personila adalah kemampuan dasar komunikasi. Aspek bela diri dan ketangkasan lain bisa jadi kemampuan standar, akan tetapi komunikasi interpersonal harus menjadi kemampuan wajib yang memiliki skor (poin kualifikasi) paling tinggi. Ini berarti harus dilakukan perombakan besar-besaran dalam kurikulum pendidkan kepolisian. Perombakan tersebut bertujuan untuk mengubah dan sekaligus menanamkan tugas dan tanggungjawab kepolisian sesuai dengan mottonya, mengayomi, melayani, dan melindungi. Prinsip dasar dalam perubahan kurikulum pendidikan dasar kepolisian merubah mindset kepolisian dan personil. Mindset yang hendak ditanamkan bahwa polisi bukan semata alat negara, akan tetapi lebih dititikberatkan sebagai pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat. Paradigma alat negara seringkali disalahgunakan dan menciptakan persepsi negatif, tanpa dibarengi tugas pokoknya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Mindset semacam ini dilandasi suatu kesadaran dan pemahaman apabila Polri selaku institusi dibiayai oleh rakyat.
Pengawasan Tugas Kepolisian
Dalam revolusi total di dalam organisasi Kepolisian RI, masyarakat memiliki tanggungjawab yang secara langsung terlibat ke dalam pengawasan. Secara struktural, tanggungjawab pengawasan terletak pada institusi legislatif di daerah, yaitu DPRD di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Kemendagri akan membentuk lembaga khusus yang berfungsi mewadahi segala fungsi dan tindakan pengawasan terhadap kepolisian di daerah. Lembaga independen tersebut akan berkomunikasi (bukan bekerjasama) dengan pihak legislatif di daerah. Review akan dilakukan setiap bulan yang bertempat di balai kota di masing-masing daerah tingkat propinsi dan kabupaten/kota.

Penutup: Polisi Profesional Tanpa Dilema
Sebagaimana kita ketahui bersama, institusi Kepolisian RI memang cukup bermasalah. Kita tidak bisa hanya cukup sekedar menyalahkan satu pihak atau pihak lain di saat ini. Dilema kepolisian merupakan dilema di masa lalu yang tidak pernah terselesaikan. Jaman semakin berubah, tantangan pun semakin berbeda. Tidak hanya sekedar melempar wacana dan menciptakan hanya retorika semata. Siapapun pihak yang telah menyepakati berkewajiban memenuhi dan mengikuti tahapan transisinya.

Permasalahan yang sekaligus menjadi penghambat menuju revolusi kepolisian Indonesia akan cukup berat. Tidak sedikit kepentingan-kepentingan politik yang selama memanfaatkan institusi kepolisian. Tidak sedikit pula nantinya kepentingan bisnis yang akan gunakan segala cara untuk menghambat, bahkan menggagalkan transisi tersebut. Dari internal kepolisian sendiri pun akan dimungkinkan pula melakukan tindakan serupa untuk menghambatnya. Tentunya untuk dapat menjamin keberlangsungan dan konsistensi harus dibarengi pula dengan adanya upaya untuk melakukan pembersihan total.

SEKILAS MENGENAI KPPU DAN PERSAINGAN USAHA

Tidak banyak masyarakat Indonesia yang mengenal dan mengetahui kelembagaan negara seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU termasuk lembaga adhoc sebagaimana halnya lembaga-lembaga negara lain seperti KPK, KPU, dan lain sebagainya. Seberapakah peran penting dari KPPU sesungguhnya? Mengapa pula lembaga ini tetap dibutuhkan?

Tanggal 12 Desember 2011 ini akan berakhir masa kerja lembaga adhoc Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ini berarti sejak pertama dibentuk tahun 2001, KPPU baru melaksanakan dua kali masa jabatan di mana masing-masing periode jabatan memiliki masa selama 5 tahun. Ironisnya, pemerintah maupun kalangan DPR malah lupa untuk mempersiapkan perpanjangan waktu masa komisioner KPPU. Cukup beruntung akhirnya komisioner lembaga ini masih bisa diperpanjang selama 1 tahun hingga terbentuknya komisi penuh untuk 2011-2016.

Selama masa bakti sejak pertama dibentuk telah cukup banyak mengungkap berbagai pelanggaran-pelanggaran persaingan usaha yang di atur dalam UU No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pelanggaran-pelanggaran yang melibatkan nama korporasi terkenal yang beroperasi di negeri ini. Beberapa di antaranya telah mendapatkan sanksi maupun pinalti. Masih ingat dengan kasus dugaan perilaku pengaturan tarif yang dilakukan tiga operator seluler, yaitu Indosat, Telkomsel, dan Exelcom? Kasus atau pelanggaran persaingan semacam ini seringkali masuk ke dalam berkas KPPU.

Apakah Yang Disebut Persaingan Usaha?
Persaingan usaha dianalogkan sebagai suatu kondisi dalam suatu industri yang didalamnya terdapat lebih dari satu pelaku industri (produsen) yang selanjutnya melakukan suatu cara untuk mendapatkan pangsa pasar tertentu dalam industri tersebut. Mengenai bentuk persaingan yang diawasi oleh KPPU di atur dalam keseluruhan butir di dalam Pasal 1, UU No 5 Tahun 1999 (berkas undang-undang bisa diunduh di bagian bawah). Beberapa bentuk persaingan dan perilaku bisnis yang dilarang seperti
1. Monopoli (Pasal 17)
2. Monopsoni (Pasal 18)
3. Oligopoli (Pasal 4, UU No 5 Tahun 1999)
4. Kartel (Pasal 11, UU No 5 Tahun 1999)
5. Trust (Pasal 12)
6. Oligopsoni (Pasal 13)
7. Integrasi vertikal (Pasal 14)
8. Perjanjian tertutup (Pasal 15)
Tujuan pengawasan ini untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang wajar (fair competition). Persekongkolan antar produsen yang bertujuan untuk mempengaruhi pasar sangat dilarang (Pasal 22, UU No 5 Tahun 1999). Posisi dominan dalam pangsa pasar pun di atur pula agar tidak merugikan konsumen atau melemahkan posisi tawar konsumen (Pasal 25, UU No 5 Tahun 1999).

Ada dua bentuk dasar persaingan, yaitu bentuk di mana hanya terdapat sedikit produsen dan banyak pembeli/konsumen (bisa hanya terdapat 1 produsen) dan bentuk terdapat banyak produsen dan banyak pembeli/konsumen. Dari kedua bentuk tersebut akan dikenal istilah-istilah persaingan industri seperti monopoli, oligopoli, dan persaingan sempurna. Monopoli merupakan kondisi persaingan yang hanya terdapat satu produsen dan banyak pembeli (konsumen). Oligopoli diartikan sebagai kondisi di mana terdapat beberapa produsen dan banyak pembeli. Sedangkan untuk persaingan sempurna atau disebut pasar persaingan merupakan kondisi di mana terdapat banyak produsen dan banyak pula pembeli. Pada kondisi pasar persaingan tidak terdapat adanya tindakan dari produsen maupun konsumennya yang mampu untuk mempengaruhi atau mengatur harga ataupun pangsa pasar. Kecenderungan ekstrim yang memiliki tindakan untuk mempengaruhi atau mengatur harga terdapat pada bentuk pasar monopoli maupun oligopoli.

Persaingan usaha merupakan suatu kondisi di dalam suatu pasar persaingan yang berisikan upaya atau tindakan untuk mencapai sasaran pangsa pasar (market share) yang diinginkan oleh pihak produsen. Upaya yang dilakukan bisa bermacam-macam yang keseluruhannya disebut sebagai strategi bersaing. Tindakan persaingan atau strategi bersaing dapat berupa strategi pemasaran, strategi koalisi antar produsen, merger, dan akuisisi. Menurut UU No 5 Tahun 1999, pasal 1, ayat 6 disebutkan, “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha”. Pemahaman lebih lanjut mengenai definisi ataupun pengertian dalam persaingan usaha dapat dibaca pada Bab I, Pasal 1, UU No 5 Tahun 1999.

Bentuk pasar persaingan seperti monopoli saat ini sudah sangat jarang ditemukan. Ada dua pertentangan pandangan dari Chicago School maupun Harvard Tradition mengenai bentuk monopoli. Di satu sisi, monopoli bisa jadi merupakan suatu bentuk yang dikehendaki dengan cara-cara tertentu yang disengaja atau sengaja dilakukan oleh pihak pelaku usaha. Di sisi lain, bentuk monopoli bisa jadi terbentuk secara alami akibat strategi bersaing yang efektif dari pelaku usaha yang membuat dirinya mampu untuk mendominasi pasar persaingan. Oleh karenanya, undang-undang mengenai pengawasan persaingan di seluruh dunia tidak memfokuskan pada bentuk pasar persaingannya, akan tetapi memperhatikan pada perilaku industri atau perilaku dari pelaku usaha. Dalam pasal 1 (12), UU No 5 Tahun 1999 disebutkan, “Perilaku pasar adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam kapasitasnya sebagai pemasok atau pembeli barang dan atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan, antara lain mencapai laba, pertumbuhan aset, target penjualan, dan metode persaingan yang digunakan”.

Beberapa Perilaku Persaingan Yang Dilarang
Regulasi anti trust, anti monopoli, ataupun mengenai persaingan usaha menekankan pengamatan pada perilaku dan praktek persaingan dari pelaku usaha. Perilaku persaingan tidak lain merupakan implementasi dari suatu strategi bisnis, yaitu strategi bersaing. Mereka menggunakan berbagai cara, akan tetapi bukan berarti menghalalkan segala cara. Persaingan harus dijaga pada batas kewajaran, yaitu suatu persaingan yang tidak secara sengaja bertujuan untuk mengatur atau mengendalikan harga.
Oligopoli
Pasar persaingan yang disebut oligopoli adalah pasar persaingan yang didalamnya terdapat minimal 10 pelaku usaha, akan tetapi pangsa pasarnya dikuasai atau didominasi oleh hanya sebanyak 3-4 pelaku usaha. Penguasaan pangsa pasar atas 3-4 pelaku usaha setidaknya mencapai di atas 40%. Pada pasal 4 (2), UU No 5 Tahun 1995 disebutkan, “Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”.
Perjanjian Yang Dilarang
Pada pasal 1 (7), UU No 5 Tahun 1999 disebutkan, “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih dari pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”. Beberapa perjanjian yang tidak diperbolehkan dalam UU No 5 Tahun 1995 adalah:
(1) Perjanjian di antara pelaku usaha pada bentuk pasar persaingan oligopoli (pasal 4)
(2) Perjanjian untuk menetapkan atau mengatur harga (pasal 5, 6, dan 7)
(3) Perjanjian untuk mengatur metode penjualan dan pendistribusian produk (Pasal 8)
(4) Perjanjian untuk mengaru pembagian wilayah pemasaran dan distribusi produk (pasal 9)
(5) Perjanjian untuk melakukan restriksi (menghalangi) usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha lain yang biasanya merupakan pendatang baru (pasal 10).
(6) Perjanjian untuk membentuk kartel perdagangan (pasal 11)
(7) Perjanjian untuk melakukan tindakan yang disebut ‘trust’ (pasal 12)
(8) Pernjanjian untuk melakukan tindakan berupa oligopsoni (pasal 13)
(9) Intergrasi vertikal dengan pelaku usaha lain (pasal 14)
(10) Melakukan perjanjian tertutup seperti yang dijelaskan pada pasal 15
(11) Melakukan perjanjian dengan pihak luar negeri yang bertujuan untuk mengatur harga (pasal 16).

Monopoli dan Posisi Dominan
Monopoli sebagaimana yang dimaksud dalam UU No 5 Tahun 1999 merupakan suatu bentuk perilaku pelaku usaha sebagai mana yang tercantum pada pasal 17 (1), yaitu “Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Perilaku monopoli semacam ini berpotensi pula dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan, seperti posisi peringkat pasar antara 1 hingga 3 besar. Mengenai posisi dominan dan perilaku yang tidak diperbolehkan di atur dalam pasal 25. Penguasaan atas saham ataupun aspek merger, peleburan, dan akuisisi harus memperhatikan ketentuan yang tercantum di dalam pasal 28.

Detail mengenai perilaku persaingan yang dilarang dapat dibaca pada UU No 5 Tahun 1999. Regulasi pengawasan persaingan usaha yang diterapkan di Indonesia sesungguhnya mengadopsi dari undang-undang anti-trust yang diterapkan di banyak negara. Secara konseptual ataupun landasan akademis menggunakan pendekatan yang diterapkan di Amerika Serikat. Garis besar dari undang-undang anti-trust sendiri telah menjadi landasan dasar undang-undang pengawasan persaingan usaha di beberapa negara.

Kiprah KPPU di Indonesia
Monopoli dan perilaku monopoli sudah menjadi semacam perilaku umum pelaku usaha di masa Orde Baru. Konglomerasi industri di masa itu sudah melakukan tindak persaingan yang tidak sehat. Mereka menguasai tidak hanya pada pangsa pasar, akan tetapi melakukan penguasaan dari hilir hingga ke hulu. Tidak sedikit di antara mereka pula melakukan praktek pengaturan harga maupun melakukan pembagian wilayah pemasaran. Contoh saja untuk pasar kendaraan bermotor roda dua di mana hanya ATPM Honda yang memproduksi motor dengan teknologi 4 tak, sementara ATPM Yamaha dan Suzuki memproduksi motor 2 tak. Hanya ada 3 nama ATPM untuk motor di bawah 200 cc sudah cukup menjadi indikasi kuat perilaku monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Masih banyak kasus lainnya pada industri makanan dan minuman, industri jasa telekomunikasi, industri pertanian, dan lain sebagainya.

Jika melihat pemahaman mengenai substansi dari pokok persaingan usaha, maka sudah seharusnya KPPU akan sama populernya dengan KPK. KPPU pernah melakukan penyelidikan atas kasus pemboikotan atas produk AXIS oleh beberapa operator GSM. Pemboikotan dilakukan dengan menyebarkan black campaign yang menyudutkan citra AXIS. Perihal pengaturan tarif oleh operator GSM dan CDMA pernah pula menjadi sorotan dan penyelidikan oleh pihak KPPU. Sayangnya, KPPU jarang sekali mampu menangani kasus-kasus besar yang melibatkan korporasi kelas kakap.

Publikasi oleh pihak media relatif minim, termasuk pula perhatian dan kepedulian di kalangan masyarakat. Faisal Basri yang dulunya pernah menjadi komisioner KPPU bahkan tidak pernah pula menyinggung permasalahan di lembaga adhoc tersebut. Sedikit yang tertarik, karena sedikit pula pemahaman akan pentingnya pengawasan persaingan usaha. Dukungan dari pemerintah pun sangat rendah, termasuk perhatian dan pengawasan dari kalangan legislatif.

Kondisi yang sunggh bertolak belakang terjadi pada lembaga adhoc serupa di Amerika Serikat, yaitu Federal Trade Comission (FTC). Sejak dibentuk di tahun 1914, FTC seolah seperti menjadi mimpi buruk bagi kalangan korporasi di negara itu. Hampir semua korporasi besar berulangkali harus berurusan dengan FTC, seperti AT&T, Xerox, Microsoft, Apple, dan lain-lain. Mungkin karena cukup tingginya tingkat kesadaran dan melek hukum masyarakat di sana, sehingga FTC maupun upaya penegakan anti-trust akan senantiasa menjadi sorotan media. FTC memang cukup berhasil menjaga kepercayaan sebagai lembaga independen. Sesuatu yang nampaknya masih sulit ditegakkan di Indonesia.

Pentingnya Persaingan Usaha Yang Wajar
Sebenarnya untuk menerangkan bentuk persaingan usaha memerlukan pendekatan ilmu ekonomi, terutama pendekatan ilmu ekonomi mikro. Terlalu panjang apabila saya sampaikan di sini. Ringkasnya, persaingan usaha yang wajar/sehat akan mendorong peningkatan kesejahteraan (welfare). Pelaku usaha akan berupaya untuk melakukan improvisasi strategi pengelolaan usaha yang efisien. Inovasi bisnis maupun inovasi dalam aspek teknis akan lebih banyak tercipta di dalam kondisi persaingan usaha yang sehat. Harga yang tercipta mencerminkan upaya efisiensi atas ongkos produksi.

Apakah monopoli tidak efisien?

Pelaku usaha yang termasuk ke dalam bentuk monopoli ataupun posisi dominan cenderung akan mengoptimalkan labanya melalui harga. Mereka relatif jarang untuk melakukan upaya pengembangan ataupun menghasilkan inovasi untuk meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan usaha. Jika diperhatikan, pelaku monopoli maupun posisi dominan akan lebih banyak mengalokasikan biaya yang sesungguhnya tidak mencerminkan biaya produksi secara langsung. Sebagai contoh, biaya untuk melakukan perjanjian (terlarang), persekongkolan, ataupun spekulasi atas berbagai keputusan bisnis yang berisiko tinggi. Akibat tingginya biaya-biaya tersebut kemudian harus dikompromikan dengan meminimalisasikan pengeluaran untuk divisi riset dan pengembangan (R&D).

Persaingan usaha yang sehat akan berdampak pula pada sisi konsumen. Persaingan usaha yang tidak sehat akan mengakibatkan konsumen tidak memiliki banyak pilihan, kecuali harus membayar atau memilih sesuai yang diinginkan oleh pihak pelaku usaha. Pada kondisi ini, tentunya posisi tawar konsumen menjadi lemah, sehingga tidak memiliki banyak peluang untuk mengoptimalkan kepuasannya (dalam mengkonsumsi).

Regulasi pengawasan persaingan usaha sebenarnya masih terkait pula dengan regulasi perlindungan konsumen. Persaingan usaha yang wajar akan ditandai dengan semakin menguatnya posisi kelembagaan perlindungan konsumen, karena lembaga tersebut mencerminkan posisi tawar konsumen. Dalam hal ini, regulasi pengawasan persaingan usaha termasuk lembaga adhoc yang menjalaninya melihat dari dua sisi, yaitu sisi produsen maupun sisi konsumennya.

Undang-Undang No 5 Tahun 1999

JANGAN BAJAK SOFTWARE KARYA ANAK BANGSA

Untuk pertama kalinya saya mencoba antivirus SMADAV mendampingi antivirus andalan di personal komputer. Smadav memiliki 2 versi, yaitu versi gratis dan versi berbayar. Sejujurnya, saya termasuk pengguna yang lebih sering menggunakan software bajakan, kecuali antivirus dan aplikasi bawaan Linux. Saya mendapati cukup banyak situs yang menawarkan aplikasi Smadav Pro dengan kunci register, tanpa harus membayar. Akhirnya, saya putuskan tidak gunakan kunci hack dengan mengandalkan kemampuan versi gratisan. Di jejaring sosial, saya selalu menghimbau, agar siapapun untuk tidak membajak software buatan anak bangsa. Inilah alasan saya.

Ada dua pandangan berbeda perihal membajak software. Di satu sisi, pembajakan akan mematikan kreativitas. Namun, di sini lain, pembajakan justru akan menjadi pendorong si pembuat program untuk lebih kreatif mengantisipasi keamanan lisensi. Untuk saat ini, saya lebih sependapat dengan pandangan pertama. Alasannya cukup sederhana, karena inilah Indonesia.

Perlu kita pahami kondisi diri sendiri terlebih dulu untuk menerangkan sikap saya di atas. Cukup banyak para pengembang software di Indonesia yang memodali sendiri usahanya. Ketika seseorang membuat software, kemudian didistribusikan, maka sesungguhnya bisa telah menjalankan peluang bisnis. Selain menjual keunggulan, para pengembang menjual pula daya tarik dan kepercayaan. Sekalipun didistribusikan secara bebas, bukan berarti si pengembang tidak mengharapkan kontribusi balik. Jika si pengembang kemudian menawarkan distribusi berbayar, itu berarti si pengembang membutuhkan bantuan untuk mengembangkan software yang dibuatnya sendiri.

Kita di sini tidak bisa menyamakan kondisi di Indonesia dengan kondisi riil pengembang di negara-negara pembuat antivirus ternama seperti di Eropa maupun Amerika. Pemerintah di negara-negara mereka memberikan insentif yang lebih dari cukup, mulai dari infrastruktur teknologi hingga aspek hukum (hak cipta). Satu hal yang perlu kita pahami, bahwa kultur masyarakat di Eropa maupun Amerika memberikan lebih banyak kesempatan untuk berkembang dan menjadi profesional. Masyarakat di sana beranggapan, apabila tidak ada segala sesuatu yang gratis. Jika tertarik dan merasakan manfaat, mereka dengan sukarela memberikan donasi.

Situasi yang berkebalikan dihadapi oleh para pengembang software di tanah air. Dukungan sponsor relatif minim, mereka harus menyediakan sesuatu yang dapat memenuhi keinginan pengguna yang relatif tidak terbatas. Bisa jadi di antara mereka seringkali harus mencukupi sendiri kebutuhan operasionalnya (atau nombok). Tentunya akan cukup sulit dalam situasi semacam ini untuk dapat berkembang menjadi profesional. Jika masih mampu bertahan saja sudah cukup bagus.

Sementara itu, untuk menjadi profesional, seorang pengembang harus melakukan totalitas pekerjaannya untuk sesuatu bidang yang dikembangkan (software). Pengembang mampu untuk menghidupi dirinya sendiri sampai pada mencukupi kebutuhan operasional untuk pengembangan software. Mereka memiliki pesaing yang jauh lebih berpengalaman dan profesional. Terlalu naif jika mengandalkan nasionalisme pengguna lokal.

Kita tentunya menginginkan suatu saat nanti anak bangsa mampu mengembangkan software berskala internasional. Kita seharusnya pula jauh di atas negara-negara tetangga, karena dukungan sumberdaya manusia.

Kritik Untuk Pengembang Antivirus Lokal
Kritik ini saya tujukan langsung kepada pengembang antivirus lokal, yaitu Smadav. Antirius lokal ini termasuk paling populer dan paling berkembang dibandingkan antivirus lainnya. Saya sendiri melihat cukup banyak perubahan dan pengembangan yang telah dilakukan oleh tim pengembang Smadav.

Saya cukup terkejut ketika Smadav mengeluarkan versi Profesional yang berarti merilis versi antivirus berbayar. Sekalipun tidak menentukan tarif atau harga yang harus dibayarkan, akan tetapi di sinilah masalahnya, yaitu ukuran profesionalitas. Setelah saya amati, tidak terdapat banyak perbedaan penting antara versi Free dan versi Profesional. Pengguna bisa mendapakan keseluruhan fitur profesional Smadav pada antivirus non lokal untuk versi Free. Seharusnya pihak pengembang Smadav tetap menyertakan fitur update otomatis online. Semua antivirus versi Free yang tercantum pada AV-Comparative telah menyematkan fitur update online, baik otomatis maupun manual.

Dari sini saya melihat ada semacam sikap (attitude) yang cenderung oportunis dari pihak pengembang. Sikap yang terkesan kurang percaya diri akan potensi yang dimilikinya sendiri. Bukan seperti ini caranya jika hendak mengambil hati pengguna antivirus dari kalangan masyarakat Indonesia. Tidak sedikit di antara pengguna yang paham tentang cara memanipulasi sistem keamanan. Saya perhatikan pihak pengembang Smadav malah terkesan tidak fokus, ketika membuat teknik pendeteksian serial key palsu. Seharusnya pihak pengembang fokus pada kualitas pendeteksian virus dan antisipasinya. Saran saya, pihak pengembang Smadav sebaiknya hanya menyediakan versi Free. Seluruh fitur pada versi Pro diaktifkan pada versi Free.

RESENSI FILM: THE PIRATES OF SILICON VALLEY

Tulisan kali ini akan mengangkat tentang film yang diambil dari kisah nyata awal berdirinya Microsoft. Awalnya cukup terkejut membaca ulasan singkat pada kotak DVD di bagian luar. Film lama, tetapi kebetulan saya baru mengetahuinya beberapa bulan yang lalu. Di dalamnya termuat pula kisah mengenai terbentuknya Apple Computer Corp. Dua nama besar disebutkan di dalam film ini, yaitu Steve Jobs dan Bill Gates.

Silicon Valley atau lembah silikon adalah salah satu daerah di negara bagian Kalifornia yang memiliki kandungan unsur silikon cukup melimpah. Unsur silikon adalah bahan dasar pembuat mikro chip maupun prosesor. Di sinilah tempat dibangunnya industri teknologi tinggi seperti pabrikan komputer hingga pabrikan perangkat lunak. Membuka kisah berdirinya Microsoft ternyata tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan kisah berdirinya Apple Computer.

Mengambil latar belakang kampus di Barkeley sekitar tahun 1970 sebagai awal dimulainya kisah Bill Gates dan Steve Jobs. Gates dan Jobs ternyata tidak sendirian. Bill Gates memiliki 2 orang teman yang paling penting dalam hidupnya, sekaligus Microsoft, yaitu Paul Alen dan Steve Ballmer. Steve Jobs sendiri memiliki sahabat dekat yang jenis bernama Steve Wozniak. Mereka semua adalah orang-orang kampus yang kebetulan memiliki pemikiran berbeda.

Steve Jobs terobsesi untuk membesarkan rancangan Wozniak berupa komputer personal yang sudah dilengekapi dengan layar kecil. Lain halnya dengan Bill Gates yang terobsesi untuk menciptakan bahasa mesin untuk menghidupkan komputer pada masa itu. Film ini tidak menceritakannya secara detail, kecuali Steve mengawali dengan memanfaatkan garasi di rumah orangtuanya sebagai tempat membuat komputer. Sedangka, Bill Gates bersama Paul Alen menyewa motel kecil (penginapan kelas Melati) yang didesain sebagai tempat kerja sekaligus kantornya.

Keajaiban mulai tercipta setelah kedatangan Mike Markula yang menjadi investor pertama Apple Computer. Lain halnya dengan Bill Gates yang memulainya setelah mendapatkan kesempatan setelah berhasil mendapatkan kontrak untuk menjadi programmer mesin Altair 8800. Mereka semua mengawali dari bukan apa-apa dan bukan pula siapa-siapa. Sementara itu, Bill Gates maupun Steve Jobs tidaklah saling mengenal dan mereka semua bukanlah sesuatu yang besar di masa itu.

Pertemuan pertama keduanya ketika dilangsungkan pameran komputer di San Fransisco tahun 1977. Apple Computer menjadi salah satu pesertanya dan satu-satunya produsen yang membuat komputer dengan layar monitor. Kehadiran Bill Gates di pameran tersebut untuk bertemu dengan Steve Jobs. Apple dikabarkan menginginkan kontrak atas lisensi BASIC senilai US$ 20.000 untuk menjalankan komputer Apple pertama. Dibandingkan Microsoft, Apple lebih dulu berkembang hingga memiliki pabrik dan perkantoran pertamanya. Bill Gates sendiri masih jatuh bangun bersama Microsoft. Paul Alen dan Steve Ballmer masih setia menemani Gates.

Bagian yang menarik dari kisah tentang Microsoft, apabila sosok seperti Bill Gates bukanlah sosok yang mudah menyerah. Meninggalkan bangku kuliah dan menggantungkan harapan hanya pada usahanya yang belum ada kepastian. Mungkin kebanyakan dari orang-orang akan menganggap mereka sudah gila. Mereka bukanlah orang-orang yang oportunis untuk melakukan pencapaian tertinggi dalam hidup mereka dan tentunya hidup umat manusia. Bill Gates mengambil kesempatan untuk bergabung dengan musuh pribadinya, yaitu IBM.

Titik balik Microsoft sesungguhnya diawali dengan kontrak kerjasama dengan IBM. Bill Gates mampu membaca kegelisahan IBM terhadap pesaing barunya, Apple Computer. Microsoft memberikan penawaran yang nampaknya sulit untuk ditolak oleh IBM, yaitu Disk Operating System (DOS). Suatu sistem operasi yang secara sistematik mampu membuat komputer IBM berfungsi/bekerja. Suatu saat nanti akan dikenal secara luas sistem operasi komputer yang memiliki 2 versi, yaitu IBM PC DOS dan Microsoft (Ms) DOS. Disinilah kecerdikan Bill Gates dengan memanfaatkan IBM untuk memperkenalkan, sekaligus memasarkan produk buatannya.

Nampaknya tidak ada yang ditutupi di dalam kisah sukses mereka yang difilmkan di sini. Bill Gates sebenarnya tidak memiliki apapun yang bisa ditawarkan ke pihak IBM. Sistem operasi yang disebutkannya hanyalah model generik yang dibuat oleh pihak lain. Pemanfaatannya pun sangat terbatas di mana Microsoft menjadi konsultan dari pembuat sistem operasi tersebut. Bill Gates meminta Paul Alen untuk membeli lisensi sistem operasi tersebut untuk nantinya dikembangkan menjadi DOS.

Saya sempat bertanya, apa jadinya apabila ketika itu Bill Gates gagal mendapatkan sistem operasi yang pernah diceritakan oleh Paul? Kendalanya hanya pada masalah lisensi. Tetapi dengan melihat sampai akhir cerita, nampaknya pertanyaan tersebut tidak akan mengakhiri cerita panjang tentang Microsoft. Mereka ambisius, tetapi tidak oportunis.

Apple Computer diceritakan memperkenalkan sistem operasi terbarunya yang dikemas ke dalam Macintosh. Disinilah dituliskan dalam judul film ini ‘The Pirates’. Idenya berawal dari gagasan Steve Jobs untuk mencuri antarmuka grafis yang diciptakan dan dikembangkan oleh Xerox. Steve Jobs menawarkan kerjasama dengan pihak Xerox yang akhirnya membuat tim pembajaknya masuk untuk membuka isi antaramuka grafis atau dikenal Graphical Unit Interface (GUI). Hasil bajakan itu kemudian dikemas ke dalam sistem operasi Macintosh yang tentunya sangat berbeda pula dengan Xerox, kecuali beberapa kemiripan.

Bill Gates cukup terkejut ketika mencoba sistem Apple (Lisa) yang sudah diperlengkapi dengan antarmuka grafis terbaru. Disinilah awal mula ide untuk menciptakan Windows. Bill Gates menginginkan untuk mendapatkan kode GUI yang tersemat ke dalam Lisa. Di sini pula mulai dilakukan bajak-membajak piranti lunak.

Film berdurasi 95 menit disutradarai oleh Martyn Burke dirilis pada tahun 1999. Dibintangi oleh Noah Wyle (Steve Jobs) dan Anthony Michael Hall (Bill Gates). Keduanya aktor yang cukup banyak dikenal dikalangan perfileman di Hollywood. Noah Wyle misalnya kita mengenal dalam serial ER. Dibuat berdasarkan novel yang ditulis oleh Paul Freiberger dan Michael Swaine yang berjudul “Fire in The Valley: The Making of The Personal Computer”. Film ini termasuk ke dalam jenis dokumenter di mana narasinya disampaikan oleh sosok penting dibalik Apple dan Microsoft, yaitu Steve Wozniak (diperankan Joey Stotnick) dan Steve Ballmer (John Di Maggio).

LABEL GAYA HIDUP BERNAMA BLACKBERRY

Jangan salah sangka, apabila tulisan ini sama sekali tidak disponsori oleh pihak manapun. Tulisan ini pula bukan bermaksud hendak turut mempromosikan nama produk Blackberry. Penulis mencoba untuk melihat dari sudut pandang sosial perihal perilaku konsumsi masyarakat terhadap teknologi. Suka atau tidak, setuju atau tidak, apabila nama BlackBerry (BB) sudah menjadi simbol gaya hidup masyarakat Indonesia dan hanya di Indonesia.

Seorang anak usia sekolah dasar di sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Klaten terlihat sibuk membalas pesan messenger (BBM). Tidak main-main, jenis BB yang dimiliki anak tadi adalah Torch terbaru dengan fitur layar sentuh. Di Jakarta sendiri hampir sebagian besar anak-anak golongan ekonomi menengah ke atas sudah membekalkan anak-anaknya dengan BB. Gaya hidup sejak usia dini yang saling menular satu dengan yang lainnya.

Seorang karyawan rela untuk menahan pengeluaran di akhir minggu untuk ditabung demi untuk bisa mendapatkan BB. Karyawan tadi bahkan rela pula untuk menahan sebagian pengeluarannya agar dapat mengaktifkan layanan online. Mereka adalah golongan menengah yang paling banyak mengkompensasikan sebagian pengeluarannya hanya untuk dapat mengaktifkan layanan internet BB.

Kalangan mahasiswa? Jangan ditanya. Mereka di kalangan mahasiswa dikenal cukup aktif untuk mencari informasi. Sayangnya, status mahasiswa atau terpelajar sekalipun tidak selalu signifikan dalam pengambilan keputusan pembelian produk teknologi. Jika faktor finansial dianggap telah mencukupi, maka pertimbangan pertama untuk memilih produk teknologi berdasarkan referensi dari pihak lain. Singkat kata, gaya hidup masih menjadi pertimbangan utama di kalangan mahasiswa.

Gaya hidup (life style) memiliki definisi yang cukup beragam. Secara umum, pengertian gaya hidup menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “Pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia di dalam masyarakat. Gaya hidup menunjukkan bagaimana orang mengatur kehidupan pribadinya, kehidupan masyarakat, perilaku di depan umum, dan upaya membedakan statusnya dari orang lain melalui lambang-lambang sosial”. Gaya hidup dapat diartikan juga sebagai segala sesuatu yang memiliki karakteristik, kekhususan, dan tata cara dalam kehidupan suatu masyarakat tertentu. Pokok pikirannya cukup jelas, apabila gaya hidup akan senantiasa berhubungan dengan status sosial.

Status sosial bagi masyarakat Indonesia masih dianggap sebagai bagian dari cara hidup dan cara berpikir. Seseorang bersekolah hingga perguruan tinggi tentunya akan lebih bangga apabila memperoleh gelar kesarjanaan. Status sosial bahkan dikejar dan diperlihatkan selama masa mudik lebaran. Suatu simbolisasi yang berdasarkan keyakinan individunya sebagai wujud atas pencapaian sesuatu.

“Anda boleh saja terlihat tidak menarik, tetapi akan menjadi berbeda ketika Anda menggunakan BlackBerry”

Dalam sebuah kerumunan arisan ibu-ibu di suatu komplek perumahan, terdapat 2 orang dari total 18 orang ibu yang menggunakan BlackBerry. Selama arisan, gadget tersebut senantiasa diperlihatkan, sambil sibuk memperhatikan pesan di layar. Nada messenger khas BlackBerry pun terdengar menghiasi perckapan mereka. Spontan seluruh mata memelototi gadget kedua orang tersebut. Tidak lama berselang, sekitar 2 bulan kemudian, seluruh ibu-ibu yang kumpul kembali untuk arisan sudah menenteng BlackBerry dengan tipe yang berbeda-beda. Dua orang ibu tadi tidak lagi istimewa menjadi buah bibir, karena seluruh ibu-ibu dalam kelompok arisan tersebut telah menenteng BlackBerry.

Di suatu tempat kerja, seorang karyawan gelisah memandangi rekannya yang sibuk membalas pesan pada Facebook dan BBM. Kebanyakan rekan-rekannya mulai melontarkan pertanyaan, “Berapa nomor PIN punyamu?”. Pertanyaan inilah yang nampaknya menjadi kegelisahannya. Dalam pembicaraan telpon, rekan-rekannya selalu sibuk membalas pesan dan membicarakan status rekannya di BBM. Tidak berapa lama kemudian, akhirnya si karyawan tadi telah membeli BlackBerry dan kemudian terlihat sibuk menanyakan nomor PIN rekan-rekannya.

Sekitar 10 tahun yang lalu, gadget BlackBerry keluaran RIM merupakan ponsel yang paling unik. Dengan tombol khas jenis QWERTY yang ketika itu belum ada tersemat di ponsel manapun yang beredar di Indonesia. Harganya pun cukup mahal. Untuk seri BOLD dengan koneksi GPRS ketika itu masih seharga sekitar Rp 4 jutaan, bahkan bisa mencapai Rp 5 jutaan. Ponsel yang umumnya beredar di Indonesia hanya seharga di bawah Rp 3 juta, kecuali untuk jenis ponsel dengan fitur layar sentuh. Muncul anggapan, apabila hanya kalangan tertentu yang mampu membeli dan memiliki BlackBerry.

Cukup lama para pengecer di Indonesia membanderol BB dengan harga di atas Rp 4 juta. Harga ponsel pada masa itu justru sedang berlomba turun. Perang harga yang memakan korban di mana divisi telelkomunikasi Ericsson diakuisisi oleh Sony, kemudian Siemens diakuisisi oleh BenQ. Nokia ketika itu menjadi jawara atas perang harga. Sekalipun demikian, produk BlackBerry yang belum lama masuk ke Indonesia tidak terpengaruh perang harga. Seolah hendak menunjukkan apabila gadget tersebut memiliki kelas/segmen tersediri. Samsung dan Sony-Ericsson yang sudah menyematkan fitur 3G dengan harga di bawah Rp 3 juta tidak membuat gadget dari Kanada bergeming turut menurunkan harga.

Kesan ekslusif pun semakin lama kian melekat. Kalangan artis maupun politis beramai-ramai menenteng gadget impor yang dirakit di Amerika Latin maupun Kanada. Di setiap tayangan sinetron senantiasa diperlihatkan artis-artis yang beradegan sambil menenteng gadget BlackBerry. Demam sinetron menularkan gaya hidup di kalangan para pejabat dan keluarganya. Citra eksklusif yang diyakini menciptakan kelas sosial tersendiri mampu menyingkirkan gadget pesaingnya di kelas internet mobile phone. Sampai suatu ketika, di tahun 2004 ditemukan selundupan BB asal Kanada oleh Bea Cukai Indonesia yang berjumlah ratusan unit. Animo konsumen yang begitu tinggi, sehingga membuka peluang untuk celah penyelundupan, bahkan hingga saat ini.

Masih ingat dengan kasus Nazaruddin dan ‘nyanyiannya’ di BBM? BlackBerry seringkali mendapatkan promosi gratis dan cukup strategis. Mungkin termasuk pula tulisan saya di sini. Kasus Nazaruddin cukup menghebohkan dan menjadi perbincangan nasional bersama BlackBerry dan fitur BBM. Kemudian dihubungkan nilai korupsi yang dituduhkan kepada Nazaruddin yang mencapai triliunan Rupiah. Persepsi seseorang akan membentuk citra eksklusif pada gadget buatan RIM sebagai ponsel ‘kalangan tertentu’. Citra eksklusif tersebut kemudian akan membentuk persepsi tentang status sosial. Tidak mengherankan apabila dengan provokasi penjualan mampu mendorong sebagaian masyarakat rela mengantri demi mendapatkan keluaran terbaru Bellagio.

Dari uraian yang disampaikan di atas, saya mencoba untuk menggunakan pendekatan filosofi kebudayaan yang menjadi cara pandang masyarakat Indonesia. Faktor fundamental dari aspek sosial yang sesungguhnya menciptakan analog status sosial dan gaya hidup, terkait dengan kasus produk BlackBerry. Sejak lama, masyarakat Indonesia memang dikenal masyarakat yang mudah kaget (terkejut). Dalam ungkapan Jawa disebutkan ‘gumunan’ atau mudah terkagum-kagum atas sesuatu. Cara berpikir semacam ini tidak terlepas dari tatanan berpikir yang telah terbentuk di masa lalu. Sifat mudah kaget dan mudah kagum dikarenakan secara psikologis bangsa Indonesia mengalami semacam lompatan teknologi. Dalam bahasa sains dikenal dengan istilah psychological shock.

Ekses dari perilaku psychological shock menyebabkan seseorang melakukan sesuatu berdasarkan keyakinannya, bukan berdasarkan akal sehat dan logika. Ketika mulai menjamurnya ponsel di tahun 2000, harga kartu perdana bisa mencapai Rp 250.000. Tidak sedikit masyarakat yang rela mengantri untuk mendapati potongan harga yang semula dijual seharga Rp 400.000. Masyarakat bahkan rela untuk membayar uang muka pemesanan kartu perdana hingga Rp 150.000. Padahal, dalam satu hari belum tentu seseorang akan selalu tergantung dari ponsel. Mungkin ketika itu hanya ada 2 dari 10 orang yang tergantung (membutuhkan) dengan ponsel setiap harinya. Tarif telepon masih sangat mahal ketika itu di mana layanan SMS masih belum disediakan. Faktor alat telekomunikasi genggam dan bergerak itulah yang kemudian mendorong seseorang untuk memilikinya.

Analog yang sama bisa diterapkan pada kasus produk BlackBerry, terutama untuk menerangkan keputusan konsumen membeli perangkat telekomunikasi. Kesan eksklusif membuat seseorang menjadi kagum. Kemudian, fitur layanan yang khas pada BlackBerry (seperti BBM) membuat orang menjadi terkejut. Terciptalah yang disebut psychological shock yang selanjutnya mendorong seseorang untuk ingin memilikinya. Ada yang menyebutkan perilaku semcam ini dengan sebutan ‘using without utilization’ atau penggunaan tanpa memperdulikan fungsinya.

Referensi
Adnan, Ajie, 2010, “BlackBerry: Antara Kebutuhan dan Status Sosial”, dipublikasikan di Kompasiana, 29 September 2010, diakses tanggal 21 Desember 2011 (http://teknologi.kompasiana.com/gadget/2010/09/29/blackberry-antara-kebutuhan-dan-status-sosial/)
Hindarto, Dicky E., 2008, “Ojo Gumunan, Ojo Kagetan, Lan Ojo Dumeh”, diakses pada tanggal 22 Desember 2011, 01.15 (http://www.selamatkan-indonesia.net/index.php?option=com_content&task=view&id=347&Itemid=2)
Ja’far, Marwan, 2011, “Di Balik Demam BlackBerry”, Suara Pembaharuan, Tanggal 2 Desember 2011.
Mahendro, AM Anggoro Bayu, 2011, “Analisis Pengaruh Gaya Hidup Terhadap Keputusan Pembelian Handphone BlackBerry di Kalangan Mahasiswa Atma Jaya”, Thesis Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya, Jakarta (tidak dipublikasikan).
Soedjatmiko, Haryanto, 2008, Saya Berbelanja, Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup, Penerbit Jalasutra, Jakarta.
Sulistyawati, Vivi, 2011, “Analisis Atribut Produk Yang Dipertimbangkan Konsumen Dalam Pembelian BlackBerry”, Skripsi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
Sulistyono, 2011, “Analisis Pengaruh Kegunaan Produk, Kemudahan Penggunaan, dan Pergaulan Sosial Terhadap Minat Mereferensikan Pada Produk BlackBerry di Kota Semarang”, Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang (tidak dipublikasikan).